Selasa, 10 November 2009

BERITA KAMPUNG HALAMAN TERKINI (SIALA POST): 1. AWALUDDIN NASUTION TERPILIH MENJADI KEPALA DESA SIBANGGOR JULU UNTUK PERIODE BERIKUTNYA 2. KELOMPOK SIALA SAMPAGUL TELAH MELAKUKAN MUSYAWARAH TAHUNAN KE DUA DI DESA SIBANGGOR JULU MENJELANG IDUL FITRI 1429 H 3. KELOMPOK TANI SIALA SAMPAGUL BERTINDAK SEBAGAI PANITIA DAN SPONSOR ACARA HALAL BIL HALAL YANG DILAKUKAN DI SIBANGGOR JULU 7 SYAWAL 1429 H. PARA ALUMNI UNIVERSITAS ASAL TARLOLA SIBANGGOR SEPAKAT UNTUK MEMBENTUK THE PUNCAK SORIK MARAPI CENTER YANG AKAN DIFUNGSIKAN SEBAGAI FLATFORM BERSAMA MEMBANGUN TARLOLA SIBANGGOR.


YEEHAWWW!!!KELOMPOK TANI SIALA SAMPAGUL MENGUCAPKAN SELAMAT MENYAMBUT IDUL ADHA 1429 H YEEHAWWW!!!



Placing Arabic as Medium of Instruction at Islamic School
in Mandailing Natal

Abdul Rozak Tanjung
Siala Sampagul Agricultural Group

Arabic has been a main language yet has not been medium of instruction within a lot of Islamic Schools in Mandailing Natal,--a regency in North Sumatra Province, Indonesia which is the region always associated and called as little Mecca. All literatures as well as its scripts are in Arabic, except for some subjects at the first year where were written in Malay Arabic meaning that the scripts is Arabic and the sentences is in Malay. It is quite interesting that there are plenty Islamic scholars within the region who master Arabic grammatically much better than Arabian themselves.

However, most of them failure in practicing daily conversation in Arabic since the medium instruction is bilingual that are Mandailing language and Malay. Mustafawiyah Islamic school for instance has produced a lot of Islamic clerics who master Arabic pretty well. It has been the biggest Islamic school within the region or even one of the biggest Islamic schools in the country. The foundation of the school was also based on Islamic school curricula from Saudi which was brought by its founding father Mustafa Husein before 1912.

Mustafawiyah Islamic school has been the main school and educational institution within the region for about one hundred years. Most of local folks in the very beginning spent their time to take up Islamic courses in the school and this situation is kept maintained nowadays. It is quite common that most of Islamic clerics in villages within the region graduated from the school and they are always the Islamic law counselors in their own village. Since most of their theoretical books written and passed in Arabic, They are master the language grammatically and are able to translate word-by-word of Koran as the holy book and main reference for Islamic law.

Does the use of Arabic within Islamic schools in Mandailing Natal work effectively? It is an interesting question to be answered. It is for some extends very effective where they can catch up all subjects in its original language. However, the failure of placing Arabic as the medium of instruction made them impossible to be part of such bigger seminaries conducted overseas. As I said earlier, they obviously master Arabic grammatically but being a speaker in a seminar overseas particularly in Arabic speaking countries requires them to master Arabic conversation.


What is else the missing opportunity of them by this situation?. It is like most of Indonesians knowing English grammatically yet failure to communicate with the language. The most important part which is missing is their chance to start making and building networks which enable them to join into bigger international communities. They will not be part of international seminars conducted in Arabic though they must be able to be speakers or at least be participants.

To prepare the school's disciples to be able to be part of such academic and counseling forums in the future, the school management along with the government permission must start placing Arabic as medium of instruction in the school though must be firstly implemented in the second or third year of their course in the school. This is the idea of this article writer to make much profits can be gained by the school disciples in the future.


Senin, 09 November 2009



Sekelumit Pesan Buat Pemilih Bupati Madina Periode 2010-2015
Abdul Rozak Tanjung
(Anggota Kelompok Tani Siala Sampagul)

Pesta demokrasi; mulai dari pemilihan Legislatif, Bupati, Gubernur sampai Presiden, bukan menjadi hal baru bagi warga Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Malah mereka sudah terbiasa dengan aturan teknis pencoblosan dan penconterengan nama atau gambar pilihan mereka pada setiap pelaksanaan pemilihan. Tambahan lagi, tidak sedikit diantara mereka yang telah sekian lama menjadi pengurus partai politik atau organisasi underbow calon yang mereka usung buat suatu pemilihan.

Apa sebenarnya dampak positif dari realitas itu semua?. Hal yang pertama dan utama adalah bahwa mereka telah melek (minded) dengan semua jenis pemilihan umum dan telah biasa membaca permainan politik menjelang pemilihan. Hal yang kedua adalah, bahwa mereka saat ini sudah menjadi subjek penentu dalam setiap pemilihan dan bukan semata menjadi objek lagi seperti pemilihan umum yang dilangsungkan semasa pemerintahan Orde Baru. Hal yang ketiga adalah, bahwa mereka telah memiliki posisi tawar yang cukup penting untuk dipertimbangkan para calon yang ingin bertanding dalam kontes politik tersebut.

Menjelang pemilihan Bupati (Pilkada) kali ini (2010), situasi politik dan proses awal (preliminary process) menjelang pesta demokrasi di tingkat kabupaten ini tidak jauh berbeda dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya. Sejumlah bakal calon (balon) telah mulai tebar pesona dan distribusi pamphlet yang nadanya “saya merupakan orang yang tepat menjadi Bupati Madina periode berikutnya”. Sekalipun kampanye formal dan penetapan para calon belum diumumkan oleh institusi pelaksana pemilu (KPU), tidak sedikit tim sukses di tingkat desa telah terbentuk sekalipun secara formal belum juga mendapatkan keputusan resmi dari calon yang akan diusung.

Tentunya semua hal tersebut berjalan seiring dengan dinamika demokrasi Indonesia yang berjalan dengan progressive serta partisipasi politik warga yang makin menguat. Adanya akses yang luas bagi publik melakukan evaluasi dan keterlibatan dalam proses-proses politik turut mematangkan kapasitas politik warga. Untuk Pilkada Madina kali ini, ada beberapa hal yang harus dicermati oleh para pemilih sehingga mereka tidak salah menggunakan hak pilihnya. Penulis merangkumnya dalam diskripsi paragraph berikut.

Madina saat ini masih merupakan kabupaten terbelakang dalam pengembangan sumber daya manusia diantara kabupaten lain di Propinsi Sumatera Utara. Beberapa indikator atau benchmarking bisa kita tentukan untuk menilainya. Salah satunya adalah tingkat partisipasi warga yang terlembaga dalam mengawal proses-proses pemerintahan. Kita bisa menyaksikan bagaimana minimnya kehadiran Civil Society Institution (CSI) yang berperan menjadi organisasi pengontrol efektif bagi pengembangan daerah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kapasitas sumberdaya manusia masih relative rendah. Hampir semua CSI efektif di kabupaten ini merupakan institusi sub ordinate dari level yang lebih tinggi. Ini membuktikan juga bahwa daerah masih gagal untuk memberdayakan warganya untuk membentuk sendiri lembaga CSI yang dapat membangun kabupaten bersama pemerintahnya. Kita barangkali pernah mendengar adanya The Madina Center, namun penulis belum melihat bukti kinerja real dari lembaga ini. Malah website lembaga sebesar itupun belum berhasil penulis temukan dalam situs pencari dalam internet.

Madina masih merupakan kabupaten terbelakang dalam manajemen pendidikan. Kita belum bisa melihat ada sekolah menengah umum yang dapat bersaing dengan sekolah menengah sejenis di kabupaten lain di propinsi ini. Kita belum juga bisa melihat dengan bangga bahwa alumni sekolah menengah di daerah ini masuk melalui testing ke lima universitas bergengsi di nusantara semisal UI, ITB, UGM, ITS maupun UNDIP. Dalam dunia pengajaran, kita juga mendengar bagaimana para guru di daerah ini mulai berorientasi untuk menjadi pejabat publik di lingkungan dinas untuk sekedar mengejar eselonering dan pendapatan yang lebih tinggi.

Madina masih belum bisa melakukan manajemen kepegawaian yang efektif dan efesien. Kita bisa menyaksikan bagaimana mutu pelayanan publik pada kantor-kantor pemerintahan dan bergelimpangnya alumni sekolah menengah yang bertindak sebagai honorer pada berbagai kantor. Kuantitas ini tentunya tidak korelatif dengan mutu dan output pelayan di daerah ini . Penulis dengan kasat mata bisa melihat bagaimana sebuah kantor dihuni oleh para pegawai yang “useless” yang tentunya membebankan anggaran bagi daerah secara khusus dan Negara secara umum. Kantor Camat Puncak Sorik Marapi sebagai contoh, dihuni oleh tidak kurang dari 20 pegawai yang pada dasarnya volume kerja pada kantor tersebut dapat diselesaikan 5-6 orang pegawai.

Madina ternyata masih gagal mengembangkan ekonomi daerah. Dari sudut pandang statistik ekonomi, bisa saja daerah ini menyatakan terjadi peningkatan statistik pada sektor mikro dan makro. Namun, pemerintah daerah masih gagal menjembatani terciptanya komoditas ekonomi local yang dapat bersaing secara nasional maupun regional sebagaimana daerah lain telah melangkah jauh ke depan.

Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan money politic belum pernah terungkap secara luas di daerah ini. Apakah ini terjadi karena benar-benar kondisi itu nihil di daerah ini?. Jawaban penulis sangat sederhana, ini terjadi karena belum ada CSI yang berani melakukan evaluasi komprehensif tentang penyerapan anggaran daerah serta para calon pemilih belum bisa berbicara jujur bagaimana pengalaman mereka menjelang pilkada. Demikian juga para pegawai honorer yang tidak mau bercerita dengan jujur apakah proses recruitment-nya telah dilakukan secara terbuka, jujur dan transparent.

Tentunya beberapa poin tersebut hanya merupakan issu utama yang dapat penulis gambarkan melalui artikel singkat ini. Perlu melakukan kajian yang lebih dalam untuk mengevalusi pengembangan kabupaten dalam sepuluh tahun terakhir dan menyajikannya lebih detail, transparent dan ilmiah. Disamping itu, para akademisi, peneliti dan stakeholders yang peduli dengan pengembangan daerah ini.

Melalui artikel singkat ini, penulis ingin menyampaikan beberapa pesan kepada para pemilih untuk sekedar mengingatkan pentingnya membangun kabupaten ini dan mensejajarkannya dengan kabupaten lain. Pertama, tentunya bagaimana memanfaatkan momen pemilihan ke depan untuk menjadi milestone untuk merubah kabupaten ini menjadi kabupaten yang dapat bersaing pada semua sektor dengan kabupaten lainnya di Provinsi Sumatera Utara. Kedua, bagaimana para pemilih sadar bahwa perubahan besar kabupaten ini ada di tangan mereka dan bukan ada pada pemimpin maupun para cendiakan Madina yang tersebar di persada nusantara dan dunia. Ketiga, para pemilih juga harus sadar bahwa perubahan real itu sendiri akan menentukan nasib mereka dan penerus mereka ke depan.

Persaingan global akan terus mengalir dari semua sektor ke kabupaten ini tanpa diundang dan tidak bisa ditolak. Sejumlah franchise besar akan mulai masuk ke daerah ini, yang biasanya umum akan secara perlahan mematikan potensi masyarakat lokal. Perusahaan multinational yang bergerak di sektor pertambangan akan segera mencacah kemungkinan beroperasi di wilayah ini, dimana pemerintah daerah selalu kalah dalam negosiasi semacam ini. Lembaga jejaring pasar berlevel (MLM) mulai beroperasi di daerah ini dan punya potensi mematikan pemasaran konvensional yang sekian lama telah digeluti warga. Kesempatan kerja pada okupasi-okupasi bergengsi akan diisi oleh orang luar yang memiliki skill dan back up pendidikan yang lebih tinggi dari warga lokal.

Untuk merealisasikan ini semua, harapan penulis tentunya bagaimana para pemilih ini lebih mengedepankan hati nurani dalam Pilkada kali ini dan bukan mengedepankan rasionalitas dan pragmnatis politik semata. Membentuk pemerintahan yang kuat, bermartabat dan stabil diperlukan adanya sinergitas antara komponen civil society dimana masing-masing pihak berada pada level kapasitas yang sama. Pilihan anda tentunya menentukan masa depan kabupaten dan menentukan apakah jargon ideal “Madina yang Madani” akan dapat tercapai, bukan menjadikan kabupaten ini menjadi “Madina yang Jahili”.

Madina’s Election Countdown: Who Should Be the Next Leader?
Abdul Rozak Tanjung
Siala Sampagul Agricultural Group


Mandailing Natal (Madina) Regent Election Day will be held soon next year. The election will mark the end of the current regent’s mission who has been in power since the establishment of the region in 1998. He will not be legally allowed to go to the contest anymore since the latest regulation on local election stipulated that regent, governor and major must not continue their term when they have been in power for maximally two consecutive terms. The term itself is counted by the frequency of the election they have passed in at the same governmental level.

The legal regulation of establishing the district was the Law No 5 1974 and Law No 18 1998 and its commemoration was held in Panyabungan in 1998. Amru H Daulay was the first regent of the district when he assigned by former governor of the province in 1998 where he was serving as governor assistant for North Sumatra Province at Governance Area 1. The new region was solely ruled by him at the very beginning since ever he remains stand for a regent up to right now. There were obviously several regent elections occurred in the district within the last ten years. However, his political supporters and political machines always work properly so that he has been serving as the region within the last ten years as well. The main benefit of his standing in the region is the fact that the region has been staying in calm without any potential and crucial conflicts visible spreading to the public and national communities.

Madina was obviously among the first new districts within the North Sumatera Province within last ten years. The main reason of forming the area as the new district were the fact that its original district were quite big in geographical size compared to the rest districts within the province, its regional economic statistics which was sensible to be separated from its original region as well as the demands of its society and social elements to manage the region independently.
What has been obviously done by the regent? It is the next question to be honestly answered. I am interested in figuring out some achievements have been addressed by the regent and his apparatus within last ten years.

I left the region since the year of 1999; a year after the district was formally established. Some improvements have been made up particularly in the field of infrastructure development. I still remember that I couldn’t get my own village straight from the district’s capital city around the year at the time and there were no any luxurious governmental offices by the river in Panyabungan, the capital city of the district. Everything nowadays are getting much better where for instance we can easily reach governmental offices, public places as well as entertainment facilities. I must say that these kinds of stuff are the main things have been made by the regent through his efforts and his main counterpart in the legislative.

What has not been done by the regent? It is another question to be carefully answered. I am, firstly, interested in paying attention to educational sector development in which I used to focus my view in the region. I am amused that Madinians are rarely studying in the famous and prestigious universities within the country. There are actually some Madinians studying at such universities, yet to be honest, they graduated their high school education beyond the region. It is quite interesting to see also that most of Madinians studying at such universities hold a “special tickets” to enter into. I must say that this condition is actually the total failure of the regent to develop education, providing qualified schools and human resources within the region.

Education and human resources development is something must be set up by the next regent of the district immediately once he held the power. Providing new offices and education infrastructures are not enough to improve the education and human resources within the region. There must be appropriate and comprehensive steps to be taken by the new regent. Again, the regent itself must have academic honesty to start developing both sectors within the region. Is the regent must be coming from academic institution? It is not a guarantee in sense there are plenty teachers and university lecturers do not have academic honesty and they are not a techie, as the main requirement for being a future leaders.

I don’t have idea about the capacity of regent candidates spreading their vision and mission throughout the region last holiday in September 2009. But it is very important to probe them about their vision on both sectors if they win the election or hold the power. Madina have been left behind other districts within the province since the last ten years. It is a necessary that Madinian should re-think about the power succession within the region as well as the need of their engagement to be part of the region educational and human resources advocacy.

What should be done by the voters for coming election, particularly to select the new leaders who are able to help bring Madina to be a better region? There are some efforts need to be undertaken by insider and outsider who pay much their attention to the region. First of all, the first one must be conducted by academicians to start spreading their idea to the voters. The second one must be done by civil society organizations where they can do some political awareness campaign to their community. The third one must be done by political parties where they can use their political function and influence to born a best Madina Regent.



Senin, 17 Agustus 2009


Banua Bank: Looking For Space to Establish Microfinance Institution

Abdul Rozak Tanjung
Founder and Member of the Siala Sampagul Agricultural Group

Community Based Microfinance Institution

It has been generally known that community based microfinance plays magnificent roles on bringing help the community economical lives. There have been obliviously stories on the microfinance institutions successful all over the world. One of the most known institutions is Grameen Bank in Bangladesh where its founder, Muhammad Yunus, has been awarded a prestigious award so called Peace Nobel Prize in Oslo of Norway in 2006. His efforts and meaningful works delay the possibility of Indonesian President, Susilo Bambang Yudoyono, and former prime minister of Finland Marty Athisari to hold such a prestigious award in the year of 2006.

Award is not only a piece of medal and some cash but the most important thing also the public recognition on his commitment and voluntary actions to bring help the villagers or even plenty of beggars economical lives. There was pessimistic the smooth running of Yunus’ concepts in the very beginning since the country was on independence fighting as well as on the worst economical lives throughout the country. However, Muhammad Yunus was a smart professor and had a fighting spirit to empower his own country community through microfinance institution. We must confess our deeply hearth salutation to your fruitful result to him. Congratulation Mr. Professor!
Banua Bank : A Dream of My Group

I must confess that I don’t have capacity as Yunus had it in the year of 1974. However, I have a fighting spirit to ensure the availability of microfinance institutions within several villages in my homeland in Mandailing of North Sumatra, Indonesia. I learnt a bit from his successful story and read some books written by him. Tracing back to the first step of his action, I see the space to conduct the same things at least within the ten villages in my homeland. The seeds of the institution have been nurturing through the Siala Sampagul Agriculture Group in my home village. They have been practicing microfinance process since the year of 2007 in which they can save their own money and ask loans for productive capitals. Up to now, every single member holds a saving-loans book which is closely the same to bank book. Establishing a stronger microfinance institution such a small bank has been their dream since the very beginning.

Tracing back again to the fruitful result of Yunus, there is space to conduct the same things in ten villages in Tarlola Sibanggor region where its community closely the same to the Bangladesh community in term of its cultural, livelihoods and religious life. I assumed that BANUA BANK is the most appropriate name which is the local translation of Village Bank.

The “on dream bank” will be situated in the traditional market compound in Kampung Lamo Village where the place is the melting pot of local traders and business man to do selling-buying transaction and one of educational sites within the region. Since the traditional market is just opened weekly, it is possible to the bank management opening saving and loans transaction without totally denying their main works as farmers.

How Do We Should Start?

As I said early, the Siala Sampagul is just a small group made up of less than 40 members. It is a requirement to enlarge the group members or establishing more groups in neighboring villages. It is also needed to look for voluntary facilitators to start it in their own villages. The groups will be organized under one umbrella or an association where each group placing their own representative to the association. The association will formulate a strong and acceptable regulation by which they could run saving and loans transaction, reporting and evaluation properly.

Another thing to be ensured is the needs of collaterals for the outsider or for those who isn’t registered to the group yet. For the group members will not be implemented collaterals since they are group members and having social collaterals since they registered to village groups. A regular monitoring and evaluation must be conducted on all sectors in the Bank and its environments. Should we start it now?. I am looking for volunteers to achieve the villagers dream.









Sabtu, 18 April 2009

Masihkah Data BPS Valid dan Bisa Dipercaya?
(Kajian Kritis Tentang Sajian Data BPS Madina, 2007)

Abdul Rozak Tanjung

Kecamatan Tambangan dalam Angka 2007“ merupakan publikasi series tahunan yang menyajikan berbagai fakta statistik keadaan tahun 2006. Data statistik yang dihimpun dari berbagai sumber, baik yang dikumpulkan lewat mekanisme sensus, survei, maupun kompromin (kompilasi produk administrasi), meliputi data : geografis, penduduk, sosial, pertanian, Dengan kesyaratan informasi tersebut, para perencana, perumus kebijakan, peneliti, dan akademisi dapat menjadikannya sebagai salah satu sumber penting dalam penyediaan data statistik yang faktual, valid dan terpercaya” (Buku Kecamatan Tambangan Dalam Angka BPS Mandailing Natal: 2007)

Reputasi BPS sebagai ujung Tombang Penyedia Data Publik

Kutipan di atas sungguh ideal dan sempurna. Badan Pusat Statistika (BPS) tampil dengan penuh keyakinan dan menghadirkan data yang valid dan terpercaya yang potensial dijadikan sebagai informasi penting dalam perencanaan dan perumusan kebijakan serta bermanfaat bagi para peneliti dan akademisi juga. BPS memang sampai hari ini menjadi tumpuan pemerintah dalam memperoleh dan menyediakan data apa saja yang berhubungan dengan geografi, pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya. Malah BPS juga secara kontinu melakukan survey ekonomi, pertanian dan juga pendidikan yang dipublikasikan melalui buku atau dalam e-format lainnya seperti VCD. Situs online-nya pun kini telah tersedia walaupun masih lebih banyak kurangnya dari pada yang termutakhir.

Dalam sebuah kesempatan di Balitbang Sumatera Utara tahun 2006, penulis pernah melemparkan pernyataan pedas buat BPS dalam sebuah seminar tentang Evaluasi Pemekaran Wilayah di Sumatera Utara. Penulis masa itu sangat alergi menggunakan data BPS karena diskrepansinya terlalu jauh dari angka-angka yang valid dan penulis sampaikan bahwa penulis tidak percaya dengan data BPS. Ir. Syarifullah Harahap, MSi, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan melerai perdebatan dengan menyatakan bahwa : “sekalipun data BPS banyak kekurangannya, tetapi sampai hari ini data mereka yang dijadikan sebagai rujukan resmi pemerintah. Penulispun akhirnya mengikuti saran kepala tersebut.

Kini, sejumlah issue menjelang dan pasca pemilu 2009, isu tentang validitas data pemilih baik itu berdasarkan jumlah, syarat punya hak sebagai pemilih dan sebaginya kembali mencuat di permukaan. Karena tulisan ini tidak akan difokuskan pada masalah BPS dan Pemilu 2009, penulis menyimpan dulu topik tersebut. Hal yang menarik bagi penulis untuk dicermati saat ini adalah data BPS tentang Kecamatan Tambangan 2007, di mana pada kurun waktu tesebut desa penulis, Sibanggor Julu dan sembilan desa tetangganya yang saat ini telah menjadi kecamatan baru dengan nama Kecamatan Puncak Sorik Marapi. Data BPS 2008 untuk wilayah tersebut belum didapatkan penulis, atau kemungkinan juga belum naik cetak. Oleh karenanya, data 2007 merupakan data yang paling tepat untuk dijadikan penulis sebagai bahan untuk dicermati.

Mengkritisi Sajian Data BPS Mandailing Natal : Kecamatan Tambangan 2007

Kecamatan Tambangan Dalam Angka Tahun 2007, penulis dapatkan melalui internet ini, melalui software pencari data, google. Setelah membaca sajian-sajian data dalam buku tersebut penulis selanjutnya mempertanyakan validitas data yang ditulis dalam buku tersebut. Berikut ini penulis uraikan beberapa kejanggalan dalam laporan itu.


1. Luas Wilayah: Purbajulu Desa Terluas dan Hutatinggi Tersempit
Dalam data laporan di atas penulis tidak habis pikir mengapa Desa Purbajulu dinyatakan sebagai desa terluas di kawasan Sibanggor Tarlola padahal desa itu merupakan yang paling sedikit penduduknya di wilayah ini. Kalau luas yang dimaksud dalam laporan itu termasuk wilayah sawah dan perkebunan, seharusnya Sibanggor Jae akan lebih luas. Hutatinggi dinyatakan sebagai desa paling sempit wilayahnya walaupun menurut asumsi penulis baik luas wilayah pemukiman maupun wilayah sawah dan perkebunan harusnya desa inilah yang paling luas, bukan Purba Julu sebagaimana pada laporan tersebut.

2. Sarana Pendidikan: SLTP di Hutalombang Tidak Ada, SLTP di Sibanggor Jae Ada
Dalam laporan tersebut tertulis bahwa SLTP terdapat di desa Sibanggor Jae dan Hutanamale. Sepanjang pengetahuan penulis SLTP harusnya ada di Hutalombang, Sibanggor Julu dan Kampung Lama (ini merupakan melting pot, yang terkadang dibuat menjadi desa Hutanamale). Anehnya lagi bahwa SLTP yang negeri tidak ada di wilayah ini, padahal SLTP di Hutalombang dari awal tahun 1990-an sudah sedianya jadi SLTP negeri.

Berdasarkan laporan data itu juga, SD Inpres tidak ada di wilayah ini sekalipun kolom dalam format laporan tersedia. Sepanjang pengetahuan penulis, SD Sibanggor Tonga, SD Hutatinggi, SD Hutalombang dan SD Hutabaringin adalah SD Inpres.

3. Kesehatan: Pustu ada di Sibanggor Tonga, 97% anak bergizi baik.

Dalam laporan yang dimaksud di atas, dinyatakan bahwa terdapat Puskesmas Pembantu (Pustu) di Sibanggor Tonga, padahal sepengetahuan penulis yang ada justru Polindes seperti layaknya desa-desa yang lain.

Tentang anak kurang gizi dinyatakan bahwa 3% dari 1858 anak adalah mengalami gizi buruk sementara 97% lainnya mendapatkan gizi yang baik. Standar gizi yang baik seperti apa yang dimaksudkan oleh BPS, penulis juga tidak tahu, namun penulis dapat merasakan bahwa tetangga saya di rumah mayoritas tidak mendapatkan gizi yang cukup sebagaimana penulis ketahui waktu belajar di SD yaitu empat sehat lima sempurna.

4. Sarana Ibadah: Mesjid di Handel dan Hutabaringin Julu tidak Ada

Penulis menyoroti jumlah mesjid maupun langgar sebagaimana ditampilkan dari data di atas. Dalam laporannya disebutkan bahwa di Desa Handel dan Hutabaringin Julu tidak ada Mesjid. Saya selama dua tahun terakhir masih mengunjungi dua desa dimaksud dan mesjid terdapat di dua desa itu. Masalah langgar, penulis tidak berkomentar karena indikator langgar itu juga belum penulis ketahui defenisi pastinya.

5. Sektor Ekonomi : Kambing di Hutabaringin Maga Cuma 15 Ekor, Itik di Sibanggor Julu hanya 60 ekor.

Kambing merupakan sumber produk ternak utama di daerah ini. Namun angka yang menurut hemat penulis mencengangkan adalah bahwa di Desa Hutabaringin Maga hanya terdapat 15 ekor kambing. Penulis memang tidak mengetahui angka pastinya seperti apa, namun menurut hemat penulis, angka itu terlalu kecil. Penulis tidak tahu apakah jumlah itu merupakan jumlah kambing yang berkeliaran di desa pada saat sang mantra statistik mencacah data.

Kalau halnya dengan jumlah itik penulis menyangsikan validitas data tersebut. Yang pasti adalah di rumah orang tua penulis jumlah itik tidak kurang dari 20 ekor dan penulis yakin bukan hanya 3 rumah saia yang memiliki itik di Sibanggor Julu.

6. Demografi: Hutanamale Berpenduduk Palin g Padat

Hal lain yang menurut hemat penulis aneh adalah jumlah Rumah Tangga dan KK di setiap desa yang selanjutnya akan berdampak pada jumlah penduduk. Pada laporan itu dituliskan bahwa Hutanamale merupakan desa yang paling banyak RT-nya. Menurut hemat penulis data yang valid adalah bahwa Desa Hutatinggi yang paling banyak RT/KK-nya. Penulis tidak tahu apakah Desa Handel dan Hutabaru dimaksukkan sebagai bagian dari Desa Hutanamale dan kalau itu yang terjadi harus dicantumkan dalam laporan itu karena secara juridis kedua desa itu sudah defenitif sebelum tahun 2007.

Excuse Pegawai BPS atas Invaliditas Data

Mengapa tampilan data BPS seperti di atas masih muncul hingga kini?. Ada beberapa alasan (exuse) pegawai pencacah data untuk itu. Biasanya alasan ini juga yang menyebabkan mereka tidak merasa bersalah telah membohongi publik.

Keterbatasan Dana: Untuk melakukan pencacahan data yang valid, akurat dan terpercaya membutuhkan dana yang besar. Namun menurut hemat penulis alasan ini merupakan alasan klasik yang tidak perlu dikembangkan lagi. Bekerja sebagai mantra statistik tentunya punya gaji. Gaji itulah yang mengharuskan mereka untuk bekerja berdasarkan tufoksinya.

Gaji yang sedikit: Mantri statistik terkadang malas ke lapangan untuk mencacah data karena barangkali uang transportasi, SPPD tidak ada. Namun menerut hemat penulis gaji kecil tidak boleh menjadi alasan karena faktanya gaji mantri statistik pasti di atas UMR dan juga pendapatan rata-rata petani desa. Penulis yakin, jika BPS menenderkan proyek itu kepada mahasiswa gaji PNS bulanan tersebut melebihi cukup bagi mereka untuk melakukan penelitian seperti laporan statistik di atas.

Kemampuan akademis yang minim: Banyak mantra statistik yang menyatakan bahwa mereka tidak memahami metode penelitian karena kurang pembekalan dan capacity building. Alasan ini juga bagi penulis tidak dapat diterima karena dengan mempelajari buku metode survey seharga Ro. 50.000 mereka akan dapat memahami penelitian itu.

Mungkinkah data tahun 2008 yang akan segera keluar akan lebih baik?.Penulis mengharapkan seperti itu. Penulis sudah siap-siap menanti data tahun 2008 untuk memuji dan atau mengkritisi kembali BPS.

Kamis, 02 April 2009

Siala Tourism: A Bridge to Mandailing Hospitality
Abdul Rozak Tanjung

Lesson Learnt From Malaysia Hospitality

When I had a trip to an international seminar on livelihoods recovery in Negombo Srilanka, November 2008, I was confuse when the flight name written as MH 648 leaving from Polonia Airport for KLIA Kuala Lumpur and Colombo International Airport. Frankly, I had some international trips to Kuala Lumpur, Penang and some other cities within Thailand before, where I took ticket written so closed to the flight company name like Garuda Airlines (GA). I called back an administration officer in my office in Banda Aceh to clarify the flight company and I got the clearance that the flight company is Malaysia Airlines (MAS).

Reading some stuff provided for the passengers on my seat, I got a new little language that MH stands for Malaysia Hospitality. I just thought that MH refers to the way of Malaysian to welcome the passenger to the aircraft. After some observations I made through the trips for Colombo, I got a clear message that MH is trade mark of the Malaysian Airlines services.What is obviously the relation between Malaysia Airlines and Malaysian Hospitality? As I said earlier, the way of serving passengers with luxurious service and facilities as well as nice flight meal is the manifestation of Malaysia Hospitality.

Turning back to most of Indonesian flight companies, MAS services are quite different and much more civilized that Indonesian flight companies. The way the stewards and stewardess serve the passengers is so elegant like I was the nobleman in a royal country or prominent people in the government institution. I was actually nothing comparing to my flight mates coming for countries around the world. However, I learnt that MAS prioritize the services to the passengers regardless of nation, belief, background as well as the occupation of us.

Furthermore, I learnt from the tourism magazines provided on my seat that MH term already a big trade mark of Malaysian tourism as a whole. The “hospitality” of Malay has become a potential international tourist trade of Malaysia. How about the Indonesia hospitality?. As fact of matter, we have plenty of nations and tribes within our diverse country. However, most of the nations and tribes within our country have the same hospitality to what Malaysia has. The main problem was the failure of tourism business sector to say “internationalize” the Indonesian hospitality as well as with its jargon.

Mandailing Hospitality: A New Trade Mark on Exploring Mandailing Tourism

It is too early to say that Malaysian Hospitality closely the same to what Mandailing society has. However, there are some similarities between Malay (dominant resident of Malaysia) and Mandailing especially in religious and cultural sector. The similarity on religious sector is that most of Malay and Mandailiness are predominantly Moslem where they have current cultural ceremony mostly regard to Islam rule. On cultural sector, both tribes have strong kinship relation where they have mutual works in having ceremonial works or even in economic-based works as well as prioritize consensus in making policies.

Concurrent to the above description, it is already clear that Mandailing can explore their tourism potential like Malaysian way of thinking. The most potential challenges face Mandailing is about the capacity of government and the society to explore its potential in tourism sector as well as the human resource of Mandailingness to promote their potentials.

Mandailing does not merely refer to the area of administration but mostly refers to the cultural entity where now at least three district governments involved in which are Mandailing Natal itself, Kota Sidempuan and South Tapanuli Regency. Both regencies could start exploring their tourism potential by embedding Mandailing touch within. Let both local governments bring the Mandailing Hospitality as the common trade mark without any complain from each others.

Siala Tourism: A Bridge to Mandailing Hospitality

Siala stands for "Sibanggor Tarlola" which is the area covering ten villages around Sorik Marapi Mount and is now become one sub district government. The tourism potentials are vary within this area, ranging from Sibanggor Hot spring, Traditional Cemetery in Perkampungan Paddy field, Islam Pilgrimage in Kampung Lama, Flower and Butterfly parks in Hutanamale. These tourism potentials must explore by the society and government immediately.

Looking back to “Mandailing Hospitality” trade mark, Siala Sampagul Foundation will initiate the step in reaching the implementation of MH-based tourism in Mandailing. Will it be working appropriately? We do not have idea yet, but it we must do something to achieve the goal
URGENSI DAN MODEL SIMPAN PINJAM UNTUK MANDAILING
Abdul Rozak Tanjung


Kisah Sukses Seorang Muhammad Yunus

Microfinance (baca: Simpan Pinjam Mikro) semakin mendapatkan tempat utama dalam upaya memberantas kemiskinan dan menciptakan perdamaian yang utuh dan berkesinambungan di Negara-negara dunia ketiga. Tidak mengherankan jika komite juri Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia sepakat untuk memberikan penghargaan prestisius tersebut kepada pendiri, founding father sekaligus fasilitator Grameen Bank, Muhammad Yunus, seorang Bangladesh dan dosen bersahaja di Universitas Chitatong, Bangladesh.

Apa yang menjadi pelajaran dari suksesnya Yunus dan Grameen Bank-nya yang dapat kita jadikan teladan?. Pertama, emberio Grameen Bank yang diawali pada tahun 1974 berasal dari para kaum perempuan miskin, janda, melarat dan papa di desa-desa terpencil di Bangladesh. Alasan utama Yunus menjadikan kaum perempuan sebagai entry point dalam merancang microfinance hanya karena kaum inilah yang selalu terpinggirkan dalam setiap kebijakan sektor sosial, ekonomi dan politik.

Kedua, Yunus dengan berani menentang sistem perbankan konvensional yang menurutnya sarat dengan ketidak adilan dan menjadikan kelompok perempuan dan keluarga miskin sebagai nasabah yang menjadi beban bukan menjadi potensi. Ketiga, Grameen Bank dibangun dalam komunitas Muslim orthodox dengan hadirnya pemuka agama sebagai acuan dalam bertindak dan berperilaku di tengah masyarakat. Tak mengherankan jika penerimaan masyarakat terhadap Grameen Bank cenderung resisten dan jauh dari sikap persisten. Riba merupakan jargon utama yang dijadikan pemuka agama untuk mendepak Grameen Bank dari wilayahnya. Keempat, Pemerintah pada awalnya menganggap kelahiran Grameen Bank sebagai bentuk dan institusi keuangan yang memiskinkan.

Namun, dengan proses yang panjang dan beribu tantangan termasuk dari kalangan perguruan tinggi, profesional perbankan dan lembaga-lembaga PBB, akhirnya Grameen Bank menjadi institusi keuangan utama di Bangladesh dan cetak biru konsep dan sistem perbankannya telah diduplikasi pada berbagai Negara di Dunia. Tidak saja di Negara-negara Muslim seperti Malaysia, Indonesia dan Negara-Negara Africa, di Negara Mayoritas Katolik seperti Philipines duplikasi Grameen Bank di sana termasuk yang pertama di Asia Tenggara. Tambahan lagi, Presiden Bill Clinton sampai menunjuk Muhammad Yunus sebagai konsultan dan fasilitator pengembangan perbankan bagi kelompok masyarakat miskin di Amerika yang juga merupakan duplikasi Grameen Bank.

Model Microfinance: Dari Model Arisan, Perbankan Konvensional sampai Grameen Bank

Harus disadari bahwa microfinance memiliki beragam variasi yang kadang kala disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat setempat mengelola uang. Model yang paling sederhana adalah model yang kita kenal sebagai model arisan dimana setiap periode tertentu masing-masing anggota membayar simpanan pokok, wajib maupun sukarela. Karena jumlah anggotanya yang biasanya relatif kecil, uang yang akan dikelola juga akan semakin terbatas. Tidak mengherankan jika anggota yang membutuhkan uang harus rela antri menunggu giliran untu meminjam. Namun, model ini sangat efektif pada sebuah komunitas kecil yang sama sekali tidak mendapatkan pasokan modal dari pihak ketiga. Model yang seperti ini salah satunya diterapkan oleh Palang Merah Norwegia pada kelompok ibu-ibu penganyam tikar di Kabupaten Simeulue Aceh. Namun, model pencatatan, sistem pengelolaan dan pelaporan keuangan tidak jauh berbeda dengan perbankan konvensional.

Model selanjutnya adalah model perbankan konvensional dimana sistem pengelolaan keuangan, model pelaporan, penerapan feasibility studies untuk pengucuran kredit sampai pada penetapan agunan pinjaman persis sama dengan perbankan konvensional. Hal utama yang membuat institusi ini berbeda dengan bank konvensional hanya pada jumlah asset bank, fasilitas, cakupan wilayah dan keterbatasan jumlah dana yang dapat dikucurkan. Model microfinance seperti ini tetap menjadikan nasabah sebagai objek atau sumber dana dan tidak pernah menjadi subjek pengelola dana.

Model terakhir, Grameen Bank, adalah kombinasi dari dua model yang dijelaskan di atas. Institusi ini dikelola berdasarkan kultur perempuan desa, dijalankan secara professional, nasabah sebagai subjek pengelola uang serta menjadikan kaum perempuan sebagai asset berharga dalam menjaga keutuhan bank dan bank prudential base.
Mencari Model Microfinance Buat Indonesia

Pasca penganurehan Nobel buat Yunus dan Grameen Bank-nya, para professional perbankan, penggiat LSM dan bahkan pemerintah Indonesia sendiri mengundang dan mengajak bekerjasama dengan Yunus dan Grameen Bank untuk melakukan kegiatan yang sama di Indonesia. Alhasil, sejumlah lembaga simpan pinjam versi Grameen Bank telah menjamur di persada nusantara walaupun tidak semuanya bertahan lama. Minimnya pendampingan pada kelompok sasaran dan juga lemahnya kapasitas fasilitator menjadikan sebagian institusi itu jalan di tempat atau malah mati suri.

Jika dirunut mulai dari kultur dan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang mayoritas tinggal di daerah pedesaan, model microfinance yang paling layak diterapkan adalah model Grameen Bank dengan pengembangan sedikit variasi. Alasan utama pemilihan model ini didasarkan atas adanya keengganan masyarakat untuk berhubungan dengan bank konvensional ntuk menyimpan dan meminjam uang karena tertutupnya komunikasi intens antara warga desa dengan banker-bankir dan pegawai yang ada pada bank-bank konvensional. Akibatnya, tertutup kemungkinan masyarakat desa untuk memperoleh pinjaman potensial dari bank. Alasan lainnya adalah budaya menabung dalam institusi keuangan yang masih langka bagi masyarakat desa. Hal ini terjadi karena tidak adanya kemauan atau komitmen perbankan tradisional untuk menjemput bola ke tengah masyarakat desa untuk menggaet lebih banyak nasabah sehingga phobia untuk menabung atau meminjam di bank tetap ada.


Model Microfinance Pilihan Untuk Masyarakat Mandailing: Membangun Pertanian Berkelanjutan Melalui Institusi Simpan Pinjam

Budaya dan tifologi masyarakat Mandailing tidak jauh berbeda dengan budaya dan tifologi masyarakat Indonesia secara umum. Hidup dalam budaya yang partiarki, berusaha pada sektor pertanian dan luput dari sentuhan real pembuat kebijakan.
Masyarakat Mandailing hidup dan bergantung secara ekonomi pada sektor pertanian. Potensi ini akan tetap bertahan jika ada sinergi antara para petani, penyedia alat-alat pertanian, kaum pengusaha, otoritas lokal dan yang tak kalah pentingnya adalah akses perkreditan. Aspek terakhir, akses ke lembaga perkreditan, menjadi penting karena etos kerja yang tinggi, keinginan untuk sejahtera, mendapatkan pendidikan yang layak, memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai selalu terhambat karena masalah finansial dan akses tertutup untuk meminjam uang.

Sinergi antara kesemua unsur di atas sangat penting untuk memulai pembentukan lembaga simpan-pinjam di daerah ini. Petani merupakan asset berharga sebagai nasabah lembaga simpan-pinjam dimaksud sementara kaum pengusaha dapat berperan dalam menanamkan modalnya untuk digunakan sebagai modal simpan pinjam. Otoritas lokal diperlukan kehadirannya untuk memberikan legitimasi, perizinan dan komitmen untuk mensejahterakan warganya.

Berdasarkan deskripsi di atas, kehadiran lembaga simpan pinjam yang menerapkan kombinasi kultural dan perbankan konvensional di Kabupaten Mandailing dinilai sangat tepat untuk diimplementasikan sejak dini.
Sepucuk Surat Buat Bunda dan Kandaku Semua

Abdul Rozak Tanjung


Apa kabar Bunda? Apa kabar juga Saudara?. Dari kawasan nun jauh di tengah Samudera Indonesia, dari kawasan Pulau terluar Indonesia di wilayah Barat, ribuan mil dari tempatmu berada Ananda dan Adindamu mau berbagi dan temu kangen lewat dunia maya ini.


Buat Bunda: Kala Aku Kecil Bunda, Aku Teringat Almarhum Ayah

Kala azan Subuh berkumandang, kala sang muazzin mendengungkan suara merdunya mengabarkan kepada semua muslim-muslimah kalau kewajiban pagi mereka telah tiba, sejenak setelah kokok ayam jantan membangunkanmu dari tidurmu yang lelap, Bunda ambil air sholat nan dingin dan suci, membasuh mukamu yang lembut tanpa noda. Bunda bacakan ayat-ayat suci dalam sholat Bunda dan Bunda doakan keselamatan Ayahanda dan Ananda dalam doa penutup sholat Bunda. Jerit tangisku menjelang pagi itu, menjadi pekikan semangat bagimu untuk membesarkanku, Bunda membuai Ananda dengan tangan Bunda yang lembut dan tulus. Ananda temani Bunda di pagi itu menanak nasi, mengasap ikan asin dan menggiling cabai merah buat bekal Ayahanda menuju puncak bukit yang penuh harapan dan tantangan.

Pagi itu Bunda relakan Ayahanda mendaki bukit yang terjal dan berbatu menggapai asa meraih masa depan yang lebih gemilang dan mengangkat harkat, martabat dan taraf hidup keluarga dari lembah kemiskinan. Bunda lepaskan pagi itu Ayahanda dengan penuh cinta dan ketulusan. Bunda relakan beliau mengitari bukit berbahaya dan penuh tantangan itu demi mendapatkan bekal untuk kita tanak besok pagi. Bunda lepaskan ia berjuang demi kita semua.

Bunda, aku teringat ketika Bunda siapkan nasinya dalam bungkusan daun pisang yang Bunda ambil sendiri pagi itu di samping rumah mungil kita, Bunda siapkan pakaian lusuhnya yang akan ia kenakan mendaki bukit nan terjal itu dan Bunda masukkan plastik tipis buat payung kalau hujan menimpanya dalam perjalanan menuju dan pulang dari bukit itu. Waktu melepaskan kepergian Ayahanda ke bukit terjal itu, Ananda lihat mata Bunda berkaca-kaca sembari Bunda peluk dan cium Ananda melampiaskan kesedihan dan kegetiran hidup yang Bunda dan Ayahanda hadapi. Belum jelas terlihat jalan menuju bukit itu, Ayahanda telah melangkahkan kakinya dengan segunung harapan. Bunda pandangi ia sampai jejak dan badannya menghilang ditelan gelapnya pagi itu.

Selepas kepergian Ayahanda, Bunda mandikan Ananda dengan air hujan yang Bunda tampung dalam tempayan malam harinya. Jeritan tangis Ananda membuat Bunda menyanyikan lagu terindah yang Ananda pernah dengar. Bunda bisikkan syair-syair lembut ke telinga Ananda yang sontak membuat Ananda tersenyum dan tertawa. Bunda keringkan badan mungil Ananda dengan handuk Bunda. Pagi itu juga, Bunda suapi Ananda dengan nasi putih yang Bunda tanak sendiri pagi itu, Bunda bubuhi ia dengan garam untuk memberi dan penambah selera bagi Ananda.

Mentari pagi telah menampakkan sinarnya, Bunda-pun bergegas menuju sawah kita di ujung desa. Bunda ambil kerudung Bunda, Bunda bungkuskan nasi buat makan siang kita di tengah ladanga, Bunda ambil selendang dan menggendongku sepanjang jalan menuju ladang kita yang luasnya kurang dari sepelemparan batu itu. Tiba di ladang Bunda ikatkan selendang itu ke tiang pondok di tengah sawah. Bunda buai Ananda sampai Ananda benar-benar tertidur lelap. Bunda-pun mulai bekerja, mengais rumput yang bertebaran di samping padi, mengangkat kiambang yang bertebaran di tengah petak sawah. Kala azan Shuhur bergema dari desa, Bundapun menuju pondok karena Ananda juga sudah menangis memekikkan telinga saudara-saudara kita yang bekerja di ladang-ladang mereka.

Menjelang azan Magrib, Bundapun bergegas menuju desa, menggendongku sepanjang pematang sawah menuju desa. Sampai di Desa Bunda tanakkan nasi buat kita sembari menunggu Ayahanda menuruni bukit terjal itu. Sambil menanak nasi, Bunda mendongengkanku, bercerita tentang kancil yang cerdik sampai cerita tentang sang Nabi yang tangguh di medan perang. Terkadang Ananda tertawa mendengarnya dan terkadang Ananda menangis mendengarnya. Azan Magrib telah berkumandang dan Ayahanda belum juga pulang. Ananda lihat terkadang Bunda mengangkat tangan memanjatkan doa sambil menangis dari sajadah Bunda. Ananda tidak tahu apakah Bunda was-was dengan Ayahanda. Apalagi teman-teman Ayahanda sering kesasar di tengah hutan dan bahkan disergap binatang buas. Bunda hanya bilang kalau Ayahanda sebentar lagi akan sampai di rumah jika Ananda terus-terus bertanya pada Bunda.

Menjelang azan Isya, Ayahanda tiba di rumah. Bunda siapkan makanan malamnya sambil menemani dan menuangkan air minumnya. Selepas makan, Ayahanda ambil sebatang rokok kreteknya sambil mengepulkan asapnya ke atas, tampak terlihat wajah kusamnya dan memikirkan sesuatu. Bunda lebih banyak diam daripada bertanya apa yang terjadi. Ayahanda memulai ceritanya.

“Jauh betul perjalanan kami tadi ke arah hulu bukit, sudah jarang rotan di sekitar itu karena desa sebelah telah juga ke sana seminggu terakhir ini. Kami hanya dapat masing-masing sekitar sepuluh kilo, besok kami agak jauh lagi biar lebih banyak rotannya”.

Ananda tidak tahu apa makna sepuluh kilo itu bagi keluarga, tapi yang jelas mimik muka Ayahanda kurang senang mengungkapkannya. Tapi tiba-tiba Ayahanda mengambil beberapa buah merah yang didapatnya dari hutan. Disodorkannya dua-tiga biji ke tangan Ananda, Ananda-pun sudah senang tanpa banyak berpikir apakah sepuluh kilo itu sudah cukup menyenangkan Ayahanda. Ananda hanya tahu kalau Ayahanda tersenyum memberikan buah itu pada Ananda. Tapi, tiba-tiba Bunda berujar kepada Ayahanda: “Iya…..bersabarlah Ayah..baru itulah rezekinya, kita kan hanya berusaha…Bunda masih simpan uang hasil yang kemarin. Masih bisa buat beli minyak tanah dan dua-tiga biji kelapa buat besok pagi.

Begitulah Bunda cerita yang dapat Ananda rekam dari kejadian seperempat abad yang lalu. Bunda masih ingatkah?. Pasti Bunda lebih ingat dari Ananda.

Buat Kakanda: Pohon Rindang dan Sungai Kecil Tempat Kita Bermain
Kakanda semua, Dinda mau cerita tentang masa kecil kita di desa. Dinda mulai dari kisah sungai kecil ya?. Kanda, kala Dinda menginjak waktu sekolah Kanda sering membawa Dinda ke sungai kecil di pinggir desa. Tempat kita berenang dan bersiram dengan airnya yang jernih. Siulan burung dari pohon-pohon di tepi sungai itu mengingatkan Dinda betapa indahnya masa kecil kita. Kadang Kanda, jika kita sudah lelah dan haus habis mandi, kita langsung minum air sungai kecil itu tanpa berpikir panjang. Tapi kenapa ya Kanda, kita nggak sakit ya?. Kadang Kanda, kita ambil juga air dan kita taruh di dalam jerigen untuk air minum di rumah kita.


Sungai itu memang indah, melenggok berliku-berkilau dari hulu sampai ke hilir. Tenang mengalir di sela-sela perdu yang mengakar di pinggirnya. Kalau lagi musim buah dadap kita bisa mendurung udang dan langsung kita makan. Udang-udang itu bersembunyi dibalik akar-akar perdu yang menyebar di pinggir sungai. Kita merasa senang dengan itu semua dan tidak pernah terusik dengan pemilihan umum tahun 80-an itu, kita tidak terusik dengan kenaikan harga BBM yang terus melonjak dan kita tidak terusik siapapun yang jadi presiden, gubernur maupun bupati kita. Sepanjang masih bisa bermain di pinggir sungai kita tidak pernah acuh dengan itu semua.

Kanda, Dinda mau cerita lagi ini tentang pohon-pohon dan pokok buah yang banyak di pinggir desa. Masih ingatkan enaknya berteduh di bawah rerimbun pohon itu. Kita perang-perangan di bawahnya. Kanda ajari Dinda bagaimana cara sembunyi, cara bertiarap jika musuh mau menembak sampai Kanda ajari Dinda bagaimana memanjat pokok kayu itu dengan cepat. Aduh Kanda, jadi teringat semua ini. Masih ingat nggak buah merah kecil sebesar kelereng yang manis yang dapat kita petik seberapapun kita mau. Kadang sampai kita lupa pulang ke rumah untuk makan siang karena sudah kenyang dibuatnya.

Terkadang Kanda, karena asiknya kita tiba di rumah sudah menjelang Magrib. Terkadang Kanda kita-pun dapat vonis dari orangtua, mulai dari cubitan di perut sampai potongan kayu bakar mendarat di betis kita. Memang kita lumayan bandel ya Kanda, sudah kena vonis seperti itu, kita pun masih mengunjungi sungai, perang-perangan di bawah pokok-pokok kayu dan memanjat pohon mangga yang lagi berbuah. Itulah Kanda indahnya alam kita waktu kita masih muda belia sehingga vonis seberat apapun diberi Ayah-Bunda kita tidak akan sanggup untuk menangkal keinginan kita mengunjungi tempat-tempat itu semua.

Bunda Kanda: Mau Kemana Kita Sekarang?

Bunda, Kanda. Ananda/Adinda kini telah sarjana. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam pikiran kita kala belia. Ananda/Adinda sekarang sudah tahu yang namanya kemiskinan, ekonomi, hukum, hak asasi manusia sampai pada politik. Sayangnya Ayahanda tidak sempat melihat keangguanan Ananda/Adinda waktu memakai toga kehormatan saat diwisuda. Kalau ia tahu mungkin jerih payah dan tantangannya mengitari, mendaki dan menuruni bukit di pinggir desa sudah semuanya terobati atas prestasi Ananda/Adinda.

Tapi Bunda/Kanda ternyata capaian Adinda yang sudah begitu besar menurut kita ternyata belum ada gaungnya dibanding dengan saudara-saudara kita yang tinggal di kota atau bahkan di desa tetangga. Ternyata Bunda/Kanda mereka telah jauh melampaui nasib dan kesejahteraan kita. Mereka Bunda/Kanda telah bisa bekerja tanpa cangkul, tanpa pupuk, tanpa pestisida bahkan sekarang Bunda/Kanda mereka bekerja hanya dengan berbekal satu komputer jinjing dan duduk santai di rumah atau di hotel berbintang. Anehnya Bunda/Kanda, mereka tak punya sebidang tanahpun untuk diolah, tak punya rumah tetap untuk dihuni dan tak perlu kerabat untuk minta tolong bekerja. Tapi Bunda/Kanda mereka setiap minggu berlibur di Pulau Penang Malaysia, di Phuket Thailand, di Disneyland Amerika , di Sydned Australia dan kalau terlalu sibuk di akhir pekan mereka masih berkunjung ke Bali. Di kala kita terbata-bata menggunakan Bahasa Indonesia karena dominannya penggunaan bahasa Mandailing mereka justru terbata-bata berbahasa Indonesia karena dominannya menggunakan bahasa Inggiris. Dinda nggak tahu siapa yang paling benar diantara kita dan mereka.

Ada sebagian lagi Bunda mereka mendapatkan miliaran rupiah dalam hitungan jam saja, ada juga yang dapat ratusan juta rupiah hanya dengan mengandalkan tanda-tangan. Kata-kata kemiskinan, keterpurukan dan keterbelakangan sudah jauh mengusik telinga mereka.

Terus Bunda/Kanda bagaimana dong dengan kita?. Apa Bunda/Kanda setuju kalau Dinda bilang kalau kemiskinan, ketertinggalan ketertinggalan masih mengakar dalam kehidupan kita. Kalau Bunda/Kanda setuju mari kita pelan-pelan menghapus tiga kata-kata itu dari kehidupan kita. Kita nggak usah mempermasalahkan bagaimana sebagian dari mereka telah menjarah hutan kita, telah merusak sungai tempat kita bermain, mengambil uang PBB kita secara illegal maupun memperoleh miliaran rupiah dari menjual kondisi kemiskinan kita kepada pemberi dana. Kita maafkan saja mereka itu semua karena bagaimanapun mereka tidak pernah tersentuh oleh hukum. Daripada harus membuang energi menuntut mereka mengembalikan hak kita lebih baik kita mempersiapkan diri membekali anak cucu kita biar mereka dapat sederajat dengan orang-orang kota tadi, dan kita bekali mereka dengan pendidikan agama yang memungkinkan mereka terlepas dari godaan kerakusan dan ketamakan.

Dari mana kita mulai memperbaiki nasib kita dan mereka Bunda/Kanda?. Menurut Dinda marilah kita siapkan bekal pendidikan anak kita sejak dini dan kita tekun serta disiplin dalam bekerja. Marilah kita gerakkan budaya menabung dan bekerja dengan ulet. Bukankah kita punya cita-cita?. Marilah kita tinggalkan budaya menghabiskan waktu yang terlalu banyak di warung kopi dan bercerita panjang lebar yang tidak perlu. Sekalipun kita tidak duduk di bangku sekolah, perlulah kita belajar apa saja sepanjang menambah wawasan dan pengetahuan kita. Buat Kanda semua, Adinda siap berjuang bersama untuk mewujudkan cita-cita kita dan Buat Bunda, berikan kami nasehat dan kasih sayang dalam membimbing anak dan cucu-cucu kami nantinya.

Demikian saja dulu Bunda ya, demikian saja dulu ya Kanda. Adinda masih ada pekerjaan sekarang. Dari ribuan mil laut di Pantai Barat Sumatera Ananda/Adinda panjatkan doa semoga kita sehat selalu dan diberi kemudahan oleh Yang Maha Kuasa.
Mandailing Batang Gadis National Park (TNBG): Protecting Environment or Killing Villager’s Livelihood
Abdul Rozak Tanjung
Center for Strategic Governance and Development Studies.
Introduction

The Government of Mandailing Natal Regency has been campaigning Environment Awareness in its region since 2003 notably by establishing Batang Gadis National Park as well as by legalizing regulation concerning about Environment Awareness And Villagers Engagement in protecting environment. The policies follow the trend of several regencies and province throughout Indonesia. Furthermore, Saparuddin Siregar of Bitra Consortium--a local NGO that has been engagement on several agriculture, social and economic project and programmes in this area, claimed that as many as ten villages had been providing village regulation on environment issues in line with the regency policy (www, detik.com/ accessed on 14th June 2008).

Batang Gadis National Park (TNBG) is a national park lies in Mandailing Regency of North Sumatra Province, Indonesia. The park geographically lies on 99° 12’ 45" East Longitude to 99° 47’ 10" East Longitude and 0° 27’ 15" North Latitude to 1° 01’ 57" North Latitude. Up to 2005 the regency has 68 villages in 13 sub district. The name of the park is derived from a biggest river in this region namely Batang Gadis River. The park covers an area of 108.000 acres or approximately 26% of total area of the regency and lies at 300 to 2.145 meters above sea level. Sorik Marapi is a mountain in this park area which has plenty of flora and faunas.

Through Forestry Minister Regulation No.126/Menhut-II/2004, TNBG is legally stipulated as national park where the impact or budget consequences of the regulation must not only burdened to regency budget but also burdened to national budget. TNBG itself consist of reserved forest, limited productive forest and permanent productive forest. The governments also converted 101.500 Acre of reserved forest consisting of Register 4 Batang Gadis I, Register 5 Batang Gadis II komp I and II, Register 27 Batang Natal I, Register 28 Batang Natal II, Register 29 Bantahan Hulu and Register 30 Batang Parlampungan which have been legalized by The Dutch Government during colonial era in the beginning of 1920’s. However, as large as 5.500 acre of productive forest which was belongs to PT. Gruti and 1.000 Acre of PT. Aek Gadis Timber’s was converted to be reserved forest.

Forest and Villagers’ Blood of Economy

It has been generally known that natural resources mainly forest and fields are the “bloods” of villager’s economy in this area. It has come since they don’t have enough knowledge and capacity in searching other jobs like urban peoples who have plenty choices and preferences of finding jobs. The lack of knowledge or even experience makes them stuck living and keep trying to survive in this rural area. If they had enough education and experience, they would not live in this area but mostly would move to other regencies all over Indonesia.

The villagers mostly cultivate paddy field and kitchen garden and several extractive works ranging from making red sugar from sugar palm, making latex from rubber tree and finding rattan in the jungle. However, these activities have been reducing by time and decreasing the land and jungle potentials by uncontrolled illegal logging mostly undertaken by businessmen in 1990’s up to beginning of 2000’s. The villager’s jungle and forest have already destroyed by the capital owners where the villagers were able to witness the gigantic forest destruction only. These forests destruction contrarily have enriched the businessmen notably outsider and do not have right to own the forest.

What was the impact of forest destruction is not a difficult question to answer. Businessmen, government and villagers had known it but they had different interests when forest destruction through illegal logging happen. Businessmen needed capital accumulation in running their business; the government official took benefit by denying illegal logging and the villages need work and money to feed and clothe their children. It seems to be an imaginary circle beginning with starting point and ending without finishing point. However we obviously know that villagers are the only stakeholder without any choice.

After the forest has been damaged the villages are the only stakeholder having loss where they cannot take wood for building home, they cannot drink fresh water or they cannot catch fish for dinner meal, they cannot have enough paddy harvests to eat, they cannot have latex to sell. Aftermath, they will economically and politically be a vulnerable society. They will try to cheat the land owner when reporting their paddy harvests; they will try to steal their neighbors’ latex when collecting their latex and will easily brave to break the law. When the general elections come, they will sell their ballot for food; they will collect their identity card for taking political party T-shirt and will take away their independence by joining the richest leader candidate.

The businessmen will breed their money from illegal logging by buying assets and running financial game business. They obviously remain able to afford daily meal, to drink fresh water or buying luxuries goods. They will not absolutely influenced by the forest destructions. The government officials will wash their hand from this case. They will open a bulk of laws stipulating their innocents or even blame their leader instruction asking them to do so. Both businessmen and government officials are the winner in this game while the villagers are the looser.

TNBG and Villagers’ Livelihood

Who will be benefited by establishing TNBG National Park is the real question that easy to answer. The government bodies and officials as well as the businessmen are the parties having benefits from establishing the park. The government will be given so many projects and programme both from national government and international agencies. It’s not too difficult for them to just write proposal and asking fund from national and international agencies. Under green revolution and global warning project they can ask billion dollars for having several projects at this devastated area. The businessmen will be a contractor or implementer of the projects particularly in providing some space for ecotourism project.

It’s no wonder since right now the government prepares all regulation required in paving the way to make TNBG. As Saparuddin said above, ten villages have been making village regulations in implementing the regency regulation on the national park. Government elites at village level will be the liaison officers and implementer the regency policy at grass root level. The nothing villagers will be a victim of this policy where they don’t have luck to engage this new game. Their land and field area will be reduced by national park borders. They did not know how to register their land to public notary as well as don’t know how to search and digest land reform concept and theories to be issued in rally and demonstrations. The only things they know are the land owner were their grandfather and the forest belongs to the god. The government official will easily answer their complaints by saying: We just implement the government rules and witness us your land certificate to claim the land. If you prohibit us to put the borders points we can report you to the police.

Selasa, 24 Maret 2009


Tarlola Sibanggor dan Warung Kopi
Abdul Rozak Tanjung

Intermezzo

Sampai penulis menamatkan pendidikan SLTP, penulis hidup dan tinggal dalam cengkeraman budaya keluarga yang traditional paternalistic yang kuat dimana peran Ayah sebagai kepala keluarga dan sebagai fully decision maker pada semua sektor kehidupan. Ayah berperan sebagai kepala perusahaan keluarga (sawah dan kebun) dan sekaligus bertindak sebagai finance coordinator-nya. Aktifitasnya dimulai pasca sholat subuh dan akan berakhir menjelang pukul 11 tengah malam. Sebagai kepala keluarga yang super sibuk itu, kami anak-anaknya bisa saja tidak bertemu satu sampai dua hari walaupun makan pagi dan sore serta tidur di bawah atap rumah yang sama. Apa sebernya aktifitas yang sibuk dari sang “manager” itu sehingga waktunya dengan anak-anakpun hampir tiada?.

Aktifitas paginya dimulai sholat Subuh ketika gelap masih menyelimuti kampung halaman. Setelah selesai sholat Subih itu, ia akan menemui koleganya di warung kopi—membicarakan informasi terbaru dari Jakarta, Amerika maupun Irak, membicarakan harga komoditas pertanian semacam karet dan gula yang perlahan-lahan menanjak serta membicarakan perselisihan tetangga yang hampir mau berantam masalah penempatan batas tanah di sawah hulu. Sebagai intermezzo di forum maha terhormat ini, mereka membicarakan kekayaan orang tua calon isteri si Polan yang baru saja dipingit menjadi calon pengantin.

Belum terang betul hari itu, beliau berangkat ke perusahaan yang jarak tempuhnya sekitar 45 menit jalan kaki dari desa. Karena sudah sarapan dengan menu parmanen di warungi: kopi kental, setapak ketan dan sepotong pisang goreng, dia tidak sarapan lagi di rumah melainkan hanya membawa menu makan siangnya yang dibungkus dalam tas yang terbuat dari baren/semacam tas pandan yang disiapkan Ibunda.

Di tempat kerja, ia mengerjakan semua sektor dan unit usaha perusahaan tanpa asisten dan buruh. Dia menderes pokok karet dan ia kumpulkan sendiri hasilnya, demikian juga dia akan menyadap aren serta ia tuangkan niranya untuk selanjutnya ia tanak menjadi gula merah. Menjelang sholat Isya ia baru tiba di rumah dimana kami anak-anaknya telah berangkat belajar baca Alquran/mengaji ke rumah Ustads yang lumayan jauh dari rumah.


Pasca makan malam bersama ibunda, ia kembali menjumpai koleganya di forum “terhormat” warung kopi. Dia terkadang menjadi nara sumber walaiupun lebih sering menjadi pendengan dan peserta budiman. Karena waktunya forumnya lumayan panjang, mereka membahas beragam topik, tanpa moderator dan rekomendasi. Forum itu secara informal ditutup pukul 10 malam setelah beberapa kali tambah air putih yang dituangkan ke dalam gelas yang sebelumya telah diisi kopi.

Sampai ke rumah, kami anak-anaknya sudah mulai tertidur pulas dan kami tidak tahu kalau sang manager telah tiba di rumah. Demikian ketika paginya ia berangkat kerja, kami juga belum terbangun. Namun, Ibunda kami telah melakukan reimburse uang sekolah yang kami minta dua hari sebelumnya. Kami sebagai anak-anaknya akhirnya sedikit punya jarak komunikasi yang akrab dengan sang Ayah karena minimnya aktifitas pertemuan itu. Saya jamin, pasti kakak perempuan saya tidak pernah berdiskusi atau paling tidak Ayah tidak tahu siapa lelaki yang telah menjadi kekasihnya. Suatu hal sepele yang seharusnya orang tua perlu tahu.

Dari gambaran intermezzo itu, penulis yakin bahwa kondisi itu mayoritas berlaku pada keluarga yang bermukim di wilayah Tarlola Sibanggor—suatu budaya yang telah mengakar dan terpatri sampai kini. Sebelum menguraiakan sisi baik-buruk power dari warung kopi itu, dampak negatif dan solusi pemberantasannya penulis mengajak pembaca untuk sekedar mendengar dan membandingkan deskripsi budaya masyarakat dan keluarga di kawasan Jabodetabek.

Belajar dari Budaya Masyarakat Jabodetabek

Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) dari tahun 2001 sampai tahun 2006 merupakan kawasan di luar Medan yang paling banyak dikunjungi penulis. Ketika masih menuntut ilmu di Universitas, penulis selalu menghabiskan waktu libur panjang di kawasan ini. Dua dari tiga kakak penulis kebetulan mengais rezeki di sektor informal di kawasan sentra pemerintahan dan industri ini. Demi membantu kakak penulis yang lajang kala itu, penulis merelakan waktu liburnya di sini, sembari mengharap uluran tangan mereka untuk membiayai kuliah penulis pasca Ayahanda meninggalkan kami semua. Untuk wilayah Kabupaten dan Kota Bogor serta Kota Jakarta, penulis hampir telah menjajaki semua pelosok yang dapat dijangkau dengan sepeda motor.

Setelah penulis merampungkan kuliahnya, kawasan ini tetap secara rutin penulis kunjungi khususnya ketika bekerja untuk sebuah lembaga penelitian di kawasan Rawamangun, Jakarta. Di samping itu, penulis selalu menyisihkan dua-tiga hari waktu penulis jika melakukan kegiatan di sejumlah kota di Pulau Jawa. Tingginya frekuensi kunjungan penulis ke wilayah ini, secara perlahan mendapatkan informasi dan ilmu baru tentang budaya dan pola pikir masyarakatnya yang dengan sedikit filter sangat tepat untuk ditiru dan diamalkan. Dari sekian ilmu yang diperoleh itu, penulis tertarik untuk sedikit mengurai pola hubungan intra dan antar keluarga masyarakatnya. Untuk lebih mengerucutkan lingkup area yang akan diurai, penulis selanjutnya mengadopsi Kabupaten Bogor sebagai area sampling observasi.

Penulis mencoba untuk mengurai pola hubungan intra dan antar itu dengan sedikit meniru pendekatan Chambers dan kawan-kawan yang mereka beri judul sebagai Jurnal Harian (Daily Routines)—pendekatan efektif yang sering diadopsi dalam kegiatan PRA (Participatory Rural Appraisal)---sekalipun kultur dan bentang geografisnya lebih layak disebut kawasan urban.

Jurnal Harian Ayah (Kepala RT)

Kepala Rumah Tangga (KRT) memiliki peran paling utama dalam sektor ekonomi keluarga. Hampir mayoritas keluarga yang ada secara ekonomi tergantung kepada KRT yang berarti asap dapur terus mengepul banyak bergantung pada okupasi si KRT.

KRT ini memulai aktifitasnya dengan ibadah sholat subuh yang dilanjutkan dengan sarapan pagi dan persiapan berangkat ke tempat kerja. Sebelum surya menampakkan sinarnya, mereka telah raib dari rumah menuju tempat kerja. Karena aktifitas sholat siang hari dan makan siang sering dilakukan di lingkungan tempat kerja, mereka akan selalu absen untuk beribadah dan makan siang bersama dengan keluarganya di rumah.


Sebelum matahari terbenam mereka telah berlabuh kembali ke rumah dan keluarga masing-masing. Sembari menunggu waktu sholat Magrib, mereka menghabiskan waktu untuk mendengar berita melalui pesawat televisi. Mereka keluar rumah untuk melakukan sholat jamaah Magrib atau Isya atau juga melaksanakan sholat di rumah masing-masing.

Setelah selesai sholat Magrib mereka makan malam bersama dengan keluarga dan bercengkerama dengan anak-anak. Setelah selesai sholat Isya mereka duduk santai di depan televisi atau sambil mengawasi anak mereka yang sedang belajar dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Pukul 10 malam mereka akan istirahat.
Jurnal Harian Ibu

Ibu Rumah Tangga (IRT) berperan utama dalam urusan domestik. Mayoritas IRT ini tidak memiliki aktifitas ekonomi seperti layaknya KRT. Mereka bertindak sebagai bendahara rumah tangga dan pengambil keputusan utama dalam pengeluaran uang untuk sektor domestik dan pendidikan anak.

IRT ini memulai aktifitasnya dengan ibadah sholat subuh yang dilanjutkan dengan menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan anak-anak. Sarapan yang mereka siapkan biasanya minuman berupa teh manis atau jenis susu dan kopi yang dapat dibeli di warung dalam kemasan sachet-an. Menu utamanya biasanya berupa roti atau mie instant, bubur ayam, jenis nasi uduk —jarang sekali makan nasi putih dan lauk lengkap layaknya makan siang atau malam.

Setelah membantu suami menyiapkan perlengkapan menuju tempat kerja, mereka selanjutnya membantu anak-anak berangkat sekolah—mulai dari membantu memakaikan sepatu dan pakaian sampai mengantarkan mereka yang masih SD ke sekolahnya.
Menjelang tengah hari, mereka belanja untuk persiapan makan siang, mulai dari membeli bahan pokok dan bumbu masakan sampai menyajikan makanan lengkap di meja makan. Menonton sinetron atau sekedar mendengarkan musik yang disiarkan televisi merupakan hiburan ketika menyiapkan makanan siang untuk keluarga ini. Bercengkerama dengan tetangga, mengikuti arisan atau menghabiskan waktu menonton reality show dan infotainment seleberitis merupakan aktifitas rutin sore hari yang sering mereka habiskan.

Menjelang waktu Magrib, mereka kembali menyiapkan makanan malam buat keluarga dan menyiapkan secangkir teh manis hangat buat suami yang sebentar lagi akan tiba di rumah. Setelah Ibadah Sholat Magrib sampai Isya mereka menemani suami tercinta menghabiskan waktu menonton televisi atau turut mengawasi anak-anak yang sedang belajar. Menjelang jam 10 malam, mereka akan beristirahat dengan suami tercinta pada kamar yang terpisah dari anak-anak mereka.

Jurnal Harian Anak

Anak merupakan harta paling berharga bagi keluarga mereka. Jumlah anak dalam satu keluarga relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah anak dalam satu keluarga pada Masyarakat Mandailing. Mayoritas memiliki dua sampai empat anak saja. Fakta ini terjadi bukan karena potensi fertilitas yang kecil melainkan perencanaan keluarga yang cukup matang apalagi didukung oleh kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat setempat yang sudah menganggap bahwa keluarga berkualitas adalah sebuah tujuan bukan keluarga besar yang kaya momongan.

Peran ideal seorang anak dalam keluarga di kawasan ini sudah sejalan dengan konsep elitis yang dikeluarkan oleh UNICEF maupun rekomendasi Millennium Development Goals (MDGS): Belajar dan Bermain. Untuk memenuhi tujuan itu, keluarga tidak ragu-ragu untuk membeli dan membiaya peralatan sekolah anak-anak. Demikian juga alat-alat permainan anak-anak semuanya dilengkapi. Bahkan untuk keluarga yang sedikit lebih sejahtera, alat musik dan perangkat komputer telah disiapkan untuk anak-anak.Anak anak di kawasan ini mayoritas menempuh pendidikan. Keluarga miskin sekalipun paling tidak menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang SMA atau pesantren yang selevel dengannya.


Anak-anak memulai aktifitas paginya dengan mandi dan sholat Subuh bagi yang sudah mulai berusia 10 tahun. Mereka sarapan pagi dengan kedua orang tuanya yang juga akan segera melakukan aktifitasnya masing-masing pagi itu. Anak-anak yang masih TK dan SD biasanya diantar dan dijemput Ibundanya menuju dan pulang sekolah. Anak-anak SMP biasanya berjalan atau naik angkutan umum menuju sekolah. Demikian halnya dengan anak-anak yang menempuh pendidikan di SMA atau di Universitas—kecuali keluarga yang sedikit lebih sejahtera yang memberikan sepeda motor bagi anaknya yang sudah sampai pada level pendidikan seperti itu.

Setelah pulang sekolah mereka langsung makan siang bersama anggota keluarga lainnya kecuali kepala keluarga. Untuk anak-anak yang masih usia TK, SD dan SMP mereka mengalokasikan waktu tidur sore yang bisa mereka lakukan dalam satu atau dua jam. Selebihnya, waktu sore dihabiskan untuk bermain dengan anak-anak lainnya atau menghabiskan waktu menonton sajian animasi di televisi. Anak-anak yang berusia SMA dan Universitas biasanya lebih banyak menggunakan waktunya di sekolah atau kampus masing-masing untuk kegiatan ekstra kurikuler seperti Pramuka, seni maupun berorganisasi. Kebanyakan anak-anak usia SD akan belajar mengaji/agama dua sampai tiga jam sore hari pada TPA yang jaraknya tidak jauh dari rumah ---bisa di mesjid atau tempat khusus yang dipersiapkan untuk itu.

Sehabis mandi sore dan Sholat Magrib, mereka akan mulai sibuk dengan pekerjaan rumah yang diberikan guru dari sekolah. Orang tua yang tetap memantau mereka yang sedang belajar mereka jadikan sebagai asisten gurunya di sekolah untuk bertanya atau sampai pada meminta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru. Waktu ini merka jadikan juga sebagai tempat curhat buat kedua orang tua mereka, atau juga bermanja-manja kepada orang tua. Selepas belajar mereka berpamitan dengan orang tuanya untuk terlebih dahulu tidur sembari masuk ke kamar masing-masing.

Warung Kopi & Masyarakat Tarlola-Sibanggor: Budaya yang Sulit direformasi.

Kala kita memasuki desa Purba Julu, tepatnya di pinggir air panas di samping jembatan berdiri warung kopi yang melayani tamu-tamunya dari pukul 05.00 pagi sampai hampir pukul 24.00 malam. Tak pernah sepi dari pelanggan dan semuanya adalah kaum pemuda dan bapak. Tak jauh dari desa itu, Sibanggor Jae, kita akan memiliki pemandangan yang sama di tengah desa. Bedanya, warung di desa ini tidak seramai di Purba Julu. Beranjak ke Desa Sibanggor Tonga dan Sibanggor Julu, hampir setiap sudut pada jalan protokol berdiri warung kopi. Semua pelanggannya juga kaum pemuda dan bapak. Puncaknya, ketika kita menapaki Aek Milas Sibanggor, hampir 24 jam dua warung kopi yang berdiri di tempat wisata itu melayani pelanggannya.

Menapaki kaki ke Tarlola, mulai dari Hutalombang, Hutabaru, Handel, Hutatinggi, Hutanamale, Hutabaringin—kita akan mendapatkan pemandangan yang sama. Warung kopi sungguh berjaya dan menjadi bagian dari budaya masyarakat.

Seperti penulis utarakan sebelumnya, warung telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Tarlola Sibanggor khususnya bagi para kepala keluarga. Hampir dipastikan 90% dari kepala keluarga yang bermukim di wilayah ini, menjadikan warung kopi sebagai sarana atau wadah untuk mengeratkan persahabatan sesama, hiburan dan tempat bertukar informasi. Budaya ini juga berdampak pada banyaknya jumlah warung kopi yang berdiri pada setiap desa.

Para kepala keluarga tidak akan betah berlama-lama di dalam rumah dan bergabung bersama keluarga besar. “Magnet” warung kopi mengalahkan keinginan mereka untuk bergabung dengan keluarga besarnya. Hal ini juga didukung oleh kebiasaan keluarga yang tidak selalu menyiapkan gula, kopi maupun teh di dalam rumah sehingga mereka memilih cara instant, minum di warung kopi.

Alasan lain adalah bahwa budaya dalam rumah yang hampir tidak pernah sarapan bersama sebagaimana layaknya kita kenal pada masyarakat perkotaan. Masyarakatnya lebih nyaman dengan makan pagi dengan main course nya nasi, lauk dan pauk. Alasan utama yang selalu dikedepankan mereka adalah: kadar gizi sarapan seperti yang kita kenal tidak akan mencukupi kalori yang dibutuhkan untuk bekerja keras seperti mereka. Bagi penulis asumsi ini masih debatable, apakah kandungan gizi sepiring nasi plus seekor ikan asin ditambah setapak daun ubi tumbuk rebus akan lebih besar dari kalori yang dihasilkan segelas susu, tiga potong roti bakar dan sepotong pisang makan; atau segelas susu, sepiring nasi lontong, dua potong tahu dan sepotong tempe.

Minimnya kehadiran kepala keluarga untuk berkumpul dengan keluarga menyebabkan minimnya kesempatan anak-anak untuk bersosialisasi dengan orang tuanya, khususnya untuk sang ayah. Jarang sekali orang tua ini memperhatikan perkembangan anak-anak mereka dan juga mengawasi anak-anak ini untuk belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah. Dampaknya adalah terjadinya interaksi yang kaku antara orang tua (kepala keluarga) dengan anak, juvenile delinquence seperti berbohong, korupsi pembelian buku tulis, korupsi penjualan cabe ke toke sampai pada merokok sembunyi-sembunyi. Yang tidak kalah penting adalah, apatisme orang tua terhadap perkembangan pendidikan anak, ke sektor mana kemampuan dan ketertarikan si anak untuk sekolah lebih lanjut. Hal ini akan selalu nihil karena kurangnya interaksi antara kepala keluarga dan anak tadi.

Apakah solusi yang akan dikedepankan untuk mempererat interaksi antara kepala keluarga dengan anak-anak?. Meminta kepala desa untuk menutup semua warung yang diperuntukkan untuk minum kopi dan sejenisnya, tentunya merupakan tindakan yang tidak bijaksana dan melanggar hak-hak orang untuk berbisnis. Hal yang paling efektif untuk dilakukan adalah merubah pola perilaku individu-individu yang dimulai dari masing-masing keluarga.

Penulis masih mengikuti budaya “masuk-keluar-masuk” warung ini sampai tahun 2005, dimana penulis bisa menyampaikan sedikit ide serta menghilangkan asumsi warga kalau penulis pelit untuk membagi rezekinya buat semua orang yang ada di warung kopi—karena penulis adalah perantau --- serta menghilangkan asumsi masyarakat kalau penulis sombong.

Sejak tahun 2006, penulis mencoba untuk meniru budaya saudara-saudara yang bermukim di Jabotabek. Penulis stop masuk warung kopi, lebih banyak di rumah dan di kelompok tani. Penulis sarapan di rumah pagi hari dan satu-dua teman, rekan dan saudara telah mengetahui itu kalau saya selalu di rumah pada waktu itu. Mereka biasanya datang pada jam ini, walaupun sekedar menanya kabar. Selepas sholat magrib penulis juga tidak akan keluar rumah sekalipun ada undangan “mangido doah” selepas Magrib itu. Tapi setelah sholat Isya penulis bersilaturrahmi ke guru-guru penulis, pengurus kelompok tani, sampai sekedar mengecek apakah anak tetangga semuanya sehat-sehat. Dengan interaksi yang intens ini, penulis tahu perkembangan sawah orang tua, penulis langsung tahu apa yang sedang mereka keluhkan tentang economic turbulence yang mencekik mereka, penulis juga dapat memantau perkembangun studi anak-anak mereka dengan sekedar bertanya berapa hasil bagi seperempat dengan dua.

Saya melihat beberapa anggota kelompok Siala Sampagul sudah mengurangi dan bahkan ada yang telah menghentikan kegiatan masuk-keluar warung kopi dan lebih banyak menghabiskan waktu istirahat di rumah. Jika perilaku ini terakumulasi lebih luas tentunya bisnis warung kopi pun bisa tumbang dengan sendirinya dan kita tidak perlu harus memaksa mereka menutup dengan regulasi yang tidak bijaksana seperti diutarakan sebelumnya.

Selasa, 10 Maret 2009

Pelajaran Berharga Dari Negeri Seberang
(Ditulis Dalam Rangka Launching Kursus Bahasa Inggris di Kelompok Tani Siala Sampagul

Abdul Rozak Tanjung


Pengantar
Malaysia bagi penulis adalah semacam kampung halaman ketiga setelah Sibanggor Julu dan Kota Medan। Saudara semarga penulis, keturunan-keturunan dari moyang banyak bermukim dan telah menjadi warga Negara itu pasca kemerdekaan Malaysia tahun 1957. Mereka memperlakukan penulis sebagai saudara dekat dan kita sepertinya tidak hidup dalam dua negara yang berbeda. Penulis lebih beruntung dari saudara-saudara semarga penulis di kampung halaman karena penulis telah menginjakkan kaki di Negara itu sebanyak empat kali sampai Januari 2009. Untungnya lagi, ketika menyelesaikan skripsi S-1 di Universitas Sumatera Utara, penulis telah meneliti sistem pemerintahan lokal negara itu sehingga dalam ranah akademis sekalipun penulis telah bersentuhan dan menorehkan sesuatu yang berharga buat sudara-sudara yang ada di sana. Konsul Malaysia di Medan ketika itu langsung menjadikan skripsi penulis sebagai bahan bacaan di perpustakaan konsulat Malaysia di Jalan Diponegoro, Medan.


Sebelum menginjakkan kaki di ranah Melayu itu, saudara-saudara penulis telah rutin berkunjung ke kampung halaman dan telah membuat sesuatu yang berharga bagi warga dan umat Islam yang bermukin di sana। Sepertinya, orang Mandailing tidak akan protes kalau penulis nyatakan bahwa mesjid terbesar dan termegah dari sisi bangunan dan arsitekturnya di Kabupaten Mandailing ada di kampung penulis. Lebih dari itu, mereka sedang membangun gedung Madrasah di kampung halaman penulis yang nantinya akan dilanjutkan dengan pembukaan sentra-sentra akademika. Rutinitas mereka mengunjungi kampung halaman, membuat penulis punya kesempatan banyak untuk berkomunikasi dan belajar dari perilaku dan pola pikir mereka. Untungnya lagi, karena hanya penulis satu-satunya anggota keluarga besar yang sarjana, penulis kerap dijadikan referensi untuk mendapatkan informasi dan perkembangan daerah untuk mereka.


Pertualangan penulis ke negara itu pada tahun 2007 telah menambah cakrawala baru bagi penulis dan menjadi motivasi yang sangat berharga untuk lebih banyak belajar dari mereka। Mereka telah menunjukkan sentra-sentra industri, akademika, pemerintahan dan bahkan sentra wisata di sana kepada penulis ketika berkunjung ke sana.


Ketika pertama menginap di rumah mereka di Klang, penulis rasanya bagai orang kampung yang baru melihat megahnya kota Jakarta, semuanya serba aneh dan membuat kita salah tingkah, malu dan berkecil hati। Apa yang membuat penulis berlagak seperti itu?. Pertama, bahwa mereka berbahasa Melayu lima menit pertama dan akan berbahasa Inggris sampai minit terakhir perbincangan itu. Mereka bertanya pada penulis dalam bahasa Melayu dan mendiskusikan jawaban penulis dalam bahasa Inggris. Penulis juga melihat bahwa tidak satu halamanpun surat kabar berbahasa Melayu di atas meja keluarga dan tamu—yang menunjukkan kalau bahasa Inggris sudah menjadi bahasa resmi di dalam rumah. Kakek dan nenek penulis yang sudah mencapai umur 80 tahunpun sudah lebih senang menggunakan bahasa internasional itu dalam perbincangan apapun di rumah—mulai dari urusan tadi sore di kantor, urusan memperbaiki mobil, memotong rumput taman sampai jumlah kiloan bawang yang akan dibeli besok pagi.


Kedua, mereka membawa penulis ke beberapa mall di sekitar Kuala Lumpur dan juga ke menara kembar Petronas dan menara KL yang dikunjungi berbagai bangsa dari seantero dunia। Tak satupun penulis dengar para pelayan toko dan restoran yang menggunakan bahasa Melayu melayani pengunjungnya. Malah tukang parkiran sekalipun lebih suka menggunakan bahasa itu dari pada bahasa aslinya sendiri. Ketiga, mereka membawa penulis ke klinik milik mereka yang mempekerjakan tiga suku bangsa utama sekaligus di Malaysia yakni Melayu, China dan India. Mereka juga secara konsiten berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Semua brosus, papan absen, profil perusahaan sampai surat-surat formal ditulis dalam bahasa inggris yang baku dan apik.


Keempat, mereka membawa penulis ke rumah saudara lainnya yang tinggal di wilayah pedesaan di daerah Hulu Langat। Mereka sebenarnya menggunakan bahasa Melayu di kampung ini yang bunyi dan pelafalannya tidak jauh berbeda dengan pelafalan bahasa Melayu di daerah Batubara, Tanjung Titam di Kabupaten Asahan. Namun demikian, mereka sepenuhnya menguasai Bahasa Inggris dan bisa larut dengan cerita Pak Cik penulis yang baru berkunjung ke Negara asing dan menceritakannya dalam bahasa Inggris yang anggun.


Dari sekelumit kisah perjalanan itu penulis menyimpulkan sendiri dalam hati bahwa bahasa Inggris telah menjadi lingua franca kontemporer di negara itu, menggantikan originalitas bahasa tradsional Melayu-nya। Bahkan penulis melihat bahwa tidak ada semacam preventive action lagi untuk menjaga bahasa Melayu Malaysia dari kepunahan. Malah Pak Cik Nazif Jaafar, yang alumni Master of Architecture dari Oxford University, UK berujar seperti ini sama penulis.

“Bang Razak harus kuasai Bahasa Inggris itu kalau mau menjadi international community member. Sekarang Malaysia mau menerapkan revitalisasi bahasa Melayu sebagai lingua franca di Negara ini. Tapi ini tentunya kebijakan seperti ini cukup disesalkan karena, mengurangi kurikulum bahasa Inggris saja di sekolah saat ini telah menuai hasil yang tidak menggembirakan. Tidak banyak lagi pelajar Malaysia yang langsung diterima kuliah di English speaking countries karena lemahnya penguasaan bahasa itu. Bahasa itu bisa diproteksi, dilindungi dan dikembangkan kalau dia bisa mengikuti perkembangan zaman atau paling tidak Negara itu bisa mandiri tanpa terlalu banyak adopsi bahasa asing internasional seperti Jepang”.
Satu sisi penulis setuju dengan pandangan Pak Cik ini, bahwa bahasa Inggris itu harus dikuasai dan dikembangkan। Namun penulis tidak sependapat dengan pernyataan beliau yang menyatakan bahwa bahasa lokal itu tidak perlu dikembangkan kalau dia tidak bisa mengikuti perkembangan zaman। Penulis masih berpikir tentang yang namanya politik bahasa dimana jika teknologi, teori ilmiah dan inovasi yang bisa menyumbangkan kesejahteraan Negara dihasilkan anak-anak bangsa perlu dibuat dalam bahasa originalitas Negara itu sendiri sehingga bangsa asing banyak belajar dan bergantung pada bahasa Negara produsennya। Tentunya akan banyak manfaat ekonomi dan turunannya yang akan diraih dikemudian hari dengan menerapkan politik bahasa seperti ini. Alangkah bagusnya tentunya jika bahasa tersebut diikuti dengan aksara khusus seperti banyak kita kenal ketika belajar tentang asal muasal aksara dan angka. Indonesia termasuk Negara yang kaya aksara yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah suku bangsa utama di negeri ini. Sayangnya, penulis secara pribadi tak menguasai satupun diantara banyak aksara itu.


Output SDM Malaysia di Kancah Pertarungan Kehidupan Regional dan Internasional.
Kita wajib berbangga sekaligus menyesal merenungi capaian bangsa kita pada semua sektor dan lini kehidupan dalam persahabatan kita dengan mereka dalam wadah Negara dan bangsa serumpun. Gelar saudara tua masih melekat sampai hari ini dengan mereka dan kedua Negara selalu hati-hati dalam menjaga hubungan baik antara saudara tua dan saudara muda itu. Kita bangga bahwa generasi pemimpin sekarang di Malaysia adalah “sedikit-banyak” didikan guru-guru kita; bahwa perusahaan lumbung Negara itu, Petronas, belajar dahulu ke Pertamina; dan banyak lagi tentunya. Tapi saudara tuanya sekarang sudah harus mengakui kebolehan adindanya dan tidak sembarangan lagi memperlakukan adindanya itu. Sang adinda sudah terlalu jauh melampaui kemampuan sang kakanda.

Secara pribadi, penulis hanya bisa menyatakan bahwa saat ini saudara tua tetap tiga kali lebih maju dari saudara muda dalam bidang implementasi politik makro-mikro dan kreasi dunia musik dan entertainment। Selainnya saudara tua telah sangat jauh dalam ketertinggalan.


SDM Malaysia saat ini telah menjadi SDM yang paling bisa diandalkan oleh Negara mayoritas muslim yang ada di dunia. Kita tentunya masih ingat yang namanya Tan Razali Ismail, mantan ketua majelis umum PBB yang piawai dalam berdiplomasi dan sekian lama menjadi special envoy Sekjen PBB untuk demokrasi di Myanmar. Kita juga kenal mantan dan incumbent perdana menterinya, Dr. Mahathir dan Tuan Badawi, yang menjadi rujukan dunia internasional untuk kasus-kasus HAM, kemiskinan dan pembangunan di Negara-negara muslim. World Economic Forum yang setiap tahunnya diadakan di Davos, Switzerland selalu menampilkan mereka sebai panelis utam. Hal yang langka untuk dilakukan pemimpin tertinggi dari Negara kita.


Dalam dunia pendidikan mereka telah jauh melampaui kita। Dahulu mereka mendatagkan guru dari Indonesia dan sekarang kita berguru pada mereka. Kita tentunya tahu bagaimana kiprah IIU (International Islamic University) di Kuala Lumpur yang saat ini telah menjadi rujukan Timur Tengah untuk menimba ilmu atau sekedar mengambil short course. Teman skype penulis dari Bosnia Hersegovina, Miss Jasna memberitahu kepada penulis bahwa Negara-negara Almarhum Yugoslavia menjadikan Malaysia sebagai tempat pendidikan berskala internasional pertama.


Dalam dunia ekonomi mereka juga telah jauh melampaui kita। Dengan capaian produksi minyak sawitnya mereka telah menjadi produsen nomor satu di dunia. Demikian halnya dengan produki karet dan kokoa. Jika dibandingkan dengan luas areal wilayahnya yang tidak sampai 1/3 dari wilayah kita seharusnya kita mampu melampaui capaian mereka. Untuk sektor pertambangan dan mineral walaupun mereka tidak memproduksi minyak atau barang tambang lainnya sehebat Indonesia, namun mereka jauh mendapatkan keuntungan ekonomi yang jauh lebih besar dari kita.


Dalam dunia pariwisa dan komponen penunjang usahanya mereka telah menata dengan bagus dan capaian prestasinya lagi-lagi jauh dari negara kita। Dengan program MH (Malaysia Hospitality) mereka telah membuat dunia terbelabak mata untuk segera mengunjungi Negara mereka। Dukungan transportasi udaranya melalui Malaysia Airlines (MAS) telah menjadi nilai tambah pendukung sektor tersebut. Waktu mengunjungi Colombo, Sri Lanka November 2008, penulis tidak melihat Garuda Indonesia ada dalam rute Kuala Lumpur-Male-Colombo, namun Malaysia Airlines rutin setiap hari menghadirkan penerbangannya di rute tersebut. Sama halnya dengan teman penulis, Februati Tambunan yang pulang dari Wellington, New Zealand menuju kota Medan. Belia harus menaiki MAS dari Wellington ke Kuala Lumpur dan kemudian mendarat di Polonia Medan. Penguasaan rute-rute penerbangan internasional inilah yang membuahkan banyaknya pelancong yang hadir di Malaysia.


Dalam dunia profesi internasional dan global mereka jauh melampaui kita juga। Jika kita cacah jumlah tenaga professional di lembaga-lembaga internasional mereka sudah terlalu banyak untuk kita saingi. Mereka berpencar di organisasi PBB, Kemanusiaan Internasional dan tentunya bisnis internasional. Ketika beranjak dari Colombo menuju Kuala Lumpur, penulis berkenalan dengan seorang gadis Malaysia yang bekerja untuk UNDP di Sri Lanka. Alumni Amerika ini kurang lebih sama usianya dengan penulis. Karena sama-sama bekerja untuk organisasi kemanusiaan, cerita dan obrolan kami ketemu dan kami habiskan waktu tunggu boarding yang hampir satu jam tersebut di Airport. Gadis ini bercerita pada penulis---seperti biasa lima menit pertama bahasa Melayu dan sampai menit terakhir menjelang obrolan selesai pakai bahasa Inggris—bahwa beliau telah melakukan perjalanan misi kemanusiaan ke Afrika dan sebagian Timur Tengah. Beliau sekarang putar-balik pada poros Kuala Lumpur-Bangkok-Sri Lanka dan Washington. Penulis termenung, pastinya income beliau tidak kurang dari angka IDR. 100 juta. Terus penulis bayangkan kalau ada sepuluh orang dari desa penulis yang bekerja seperti beliau, akan sangat banyak yang bisa dibuat untuk kampung halaman.


Dalam dunia profesi penulis, yang bekerja untuk Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, mereka menjadi sangat penting artinya bagi kawasan Asia Tenggara। Walaupun Bulan Sabit Merah Malaysia jauh lebih muda dari Palang Merah Indonesia, faktanya pusat logistic federasi ada di Negara tersebut. Kepercayaan dunia internasional akan keamanan, keselamatan dan juga kemampuan untuk mengelola logistik korban bencana, perang dan konflik serta kesehatan berada di Negara itu.



Benang Merah Dari Suksesnya Saudara Muda
Kalau dirunut dari potensi alam dan budaya kerja Negara itu tentunya salah besar kita menilainya, apalagi kalau kita kaitkan dengan tingkat inteligensi warganya। Fakta mencatat bahwa melalaui TOFI-nya Johannes Surya anak-anak Indonesia bisa mengukir prestasi bergengsi di tingkat dunia. Penulis belum mendengar kalau wakil Negara itu pernah menorehkan prestasi yang sama dengan anak bangsa. Namun semua kesuksesan tersebut hanyalah kemampuan menguasai bahasa internasional, bahasa Inggris tersebut, yang memberikan akses yang sangat luas bagi mereka untuk studi dan bekerja di Negara maju.

Sekedar informasi bagi kita bahwa alumni universitas di Malaysia tidak susah-susah perbaiki TOEFL maupun IELTS untuk mendapatkan beasiswa Erasmus Mundus, Norway Scholarship dan tentunya beasiswa commonwealth lainnya। Pak Cik Najib, hanya perlu waktu satu jam wawancara untuk memasuki kuliahnya di Master Arsitektur di Oxford University UK demikian juga dengan abangnya yang kuliah di Universitas yang sama serta kedua adindanya yang kuliah dahulunya di Amerika dan di Australia.


Penulis mengintip kurikulum di sekolah dasar di Malaysia। Adalah Diana, teman skype penulis datu Batu Feringghi, Penang menjelaskan kalau sejak masuk sekolah mereka telah memiliki subject bahasa Inggris. Didukung dengan, academic environment-nya mereka sudah menguasai bahasa itu sebelum memasuki universitas. Akhirnya, penulis juga tidak heran jika Anwar Ibrahim--produk universitas lokal--bisa mengajar sebagai visiting lecturer di salah satu universitas papan atas di Amerika.


Selanjutnya, menjelang tidur di tempat penulis bekerja, ribuan mil laut dari kampung halaman penulis, penulis tanamkan niat untuk mengawali kursus bahasa Inggris sejak dini untuk para generasi junior penulis di kampung halaman. Penulis mengharapkan mereka-mereka nantinya akan bisa seperti teman Malaysia penulis yang bekerja untuk UNDP atau Pak Cik penulis yang melanglang buana studi di Eropa. Penulis hanya bisa berharap kalau nantinya mereka tetap memperhatikan kampung halaman di manapun mereka berada. Karena penulis juga sudah berumur, langkah juga mulai dibatasi, variabel-variabel pengganggu bermunculan, penulis hanya bisa menambah kapasitas penulis menguasai bahasa tersebut kalau ada biaya yang harus ditinggalkan buat keluarga. Namun, generasi junior penulis harus bermandi keringat untuk belajar bahasa itu sejak dini dan tidak ada kata untuk menunda atau lebih parah lagi mengabaikan. Akhirnya tulisan ini penulis tutup dengan doa dan harapan sederhana: berikan Tuhan rezeki untuk biaya kursus mereka di kampung halaman melalui tangan penulis atau tangan sahabat dan orang kami yang perduli dengan kemajuan anak bangsa.