Selasa, 24 Maret 2009


Tarlola Sibanggor dan Warung Kopi
Abdul Rozak Tanjung

Intermezzo

Sampai penulis menamatkan pendidikan SLTP, penulis hidup dan tinggal dalam cengkeraman budaya keluarga yang traditional paternalistic yang kuat dimana peran Ayah sebagai kepala keluarga dan sebagai fully decision maker pada semua sektor kehidupan. Ayah berperan sebagai kepala perusahaan keluarga (sawah dan kebun) dan sekaligus bertindak sebagai finance coordinator-nya. Aktifitasnya dimulai pasca sholat subuh dan akan berakhir menjelang pukul 11 tengah malam. Sebagai kepala keluarga yang super sibuk itu, kami anak-anaknya bisa saja tidak bertemu satu sampai dua hari walaupun makan pagi dan sore serta tidur di bawah atap rumah yang sama. Apa sebernya aktifitas yang sibuk dari sang “manager” itu sehingga waktunya dengan anak-anakpun hampir tiada?.

Aktifitas paginya dimulai sholat Subuh ketika gelap masih menyelimuti kampung halaman. Setelah selesai sholat Subih itu, ia akan menemui koleganya di warung kopi—membicarakan informasi terbaru dari Jakarta, Amerika maupun Irak, membicarakan harga komoditas pertanian semacam karet dan gula yang perlahan-lahan menanjak serta membicarakan perselisihan tetangga yang hampir mau berantam masalah penempatan batas tanah di sawah hulu. Sebagai intermezzo di forum maha terhormat ini, mereka membicarakan kekayaan orang tua calon isteri si Polan yang baru saja dipingit menjadi calon pengantin.

Belum terang betul hari itu, beliau berangkat ke perusahaan yang jarak tempuhnya sekitar 45 menit jalan kaki dari desa. Karena sudah sarapan dengan menu parmanen di warungi: kopi kental, setapak ketan dan sepotong pisang goreng, dia tidak sarapan lagi di rumah melainkan hanya membawa menu makan siangnya yang dibungkus dalam tas yang terbuat dari baren/semacam tas pandan yang disiapkan Ibunda.

Di tempat kerja, ia mengerjakan semua sektor dan unit usaha perusahaan tanpa asisten dan buruh. Dia menderes pokok karet dan ia kumpulkan sendiri hasilnya, demikian juga dia akan menyadap aren serta ia tuangkan niranya untuk selanjutnya ia tanak menjadi gula merah. Menjelang sholat Isya ia baru tiba di rumah dimana kami anak-anaknya telah berangkat belajar baca Alquran/mengaji ke rumah Ustads yang lumayan jauh dari rumah.


Pasca makan malam bersama ibunda, ia kembali menjumpai koleganya di forum “terhormat” warung kopi. Dia terkadang menjadi nara sumber walaiupun lebih sering menjadi pendengan dan peserta budiman. Karena waktunya forumnya lumayan panjang, mereka membahas beragam topik, tanpa moderator dan rekomendasi. Forum itu secara informal ditutup pukul 10 malam setelah beberapa kali tambah air putih yang dituangkan ke dalam gelas yang sebelumya telah diisi kopi.

Sampai ke rumah, kami anak-anaknya sudah mulai tertidur pulas dan kami tidak tahu kalau sang manager telah tiba di rumah. Demikian ketika paginya ia berangkat kerja, kami juga belum terbangun. Namun, Ibunda kami telah melakukan reimburse uang sekolah yang kami minta dua hari sebelumnya. Kami sebagai anak-anaknya akhirnya sedikit punya jarak komunikasi yang akrab dengan sang Ayah karena minimnya aktifitas pertemuan itu. Saya jamin, pasti kakak perempuan saya tidak pernah berdiskusi atau paling tidak Ayah tidak tahu siapa lelaki yang telah menjadi kekasihnya. Suatu hal sepele yang seharusnya orang tua perlu tahu.

Dari gambaran intermezzo itu, penulis yakin bahwa kondisi itu mayoritas berlaku pada keluarga yang bermukim di wilayah Tarlola Sibanggor—suatu budaya yang telah mengakar dan terpatri sampai kini. Sebelum menguraiakan sisi baik-buruk power dari warung kopi itu, dampak negatif dan solusi pemberantasannya penulis mengajak pembaca untuk sekedar mendengar dan membandingkan deskripsi budaya masyarakat dan keluarga di kawasan Jabodetabek.

Belajar dari Budaya Masyarakat Jabodetabek

Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) dari tahun 2001 sampai tahun 2006 merupakan kawasan di luar Medan yang paling banyak dikunjungi penulis. Ketika masih menuntut ilmu di Universitas, penulis selalu menghabiskan waktu libur panjang di kawasan ini. Dua dari tiga kakak penulis kebetulan mengais rezeki di sektor informal di kawasan sentra pemerintahan dan industri ini. Demi membantu kakak penulis yang lajang kala itu, penulis merelakan waktu liburnya di sini, sembari mengharap uluran tangan mereka untuk membiayai kuliah penulis pasca Ayahanda meninggalkan kami semua. Untuk wilayah Kabupaten dan Kota Bogor serta Kota Jakarta, penulis hampir telah menjajaki semua pelosok yang dapat dijangkau dengan sepeda motor.

Setelah penulis merampungkan kuliahnya, kawasan ini tetap secara rutin penulis kunjungi khususnya ketika bekerja untuk sebuah lembaga penelitian di kawasan Rawamangun, Jakarta. Di samping itu, penulis selalu menyisihkan dua-tiga hari waktu penulis jika melakukan kegiatan di sejumlah kota di Pulau Jawa. Tingginya frekuensi kunjungan penulis ke wilayah ini, secara perlahan mendapatkan informasi dan ilmu baru tentang budaya dan pola pikir masyarakatnya yang dengan sedikit filter sangat tepat untuk ditiru dan diamalkan. Dari sekian ilmu yang diperoleh itu, penulis tertarik untuk sedikit mengurai pola hubungan intra dan antar keluarga masyarakatnya. Untuk lebih mengerucutkan lingkup area yang akan diurai, penulis selanjutnya mengadopsi Kabupaten Bogor sebagai area sampling observasi.

Penulis mencoba untuk mengurai pola hubungan intra dan antar itu dengan sedikit meniru pendekatan Chambers dan kawan-kawan yang mereka beri judul sebagai Jurnal Harian (Daily Routines)—pendekatan efektif yang sering diadopsi dalam kegiatan PRA (Participatory Rural Appraisal)---sekalipun kultur dan bentang geografisnya lebih layak disebut kawasan urban.

Jurnal Harian Ayah (Kepala RT)

Kepala Rumah Tangga (KRT) memiliki peran paling utama dalam sektor ekonomi keluarga. Hampir mayoritas keluarga yang ada secara ekonomi tergantung kepada KRT yang berarti asap dapur terus mengepul banyak bergantung pada okupasi si KRT.

KRT ini memulai aktifitasnya dengan ibadah sholat subuh yang dilanjutkan dengan sarapan pagi dan persiapan berangkat ke tempat kerja. Sebelum surya menampakkan sinarnya, mereka telah raib dari rumah menuju tempat kerja. Karena aktifitas sholat siang hari dan makan siang sering dilakukan di lingkungan tempat kerja, mereka akan selalu absen untuk beribadah dan makan siang bersama dengan keluarganya di rumah.


Sebelum matahari terbenam mereka telah berlabuh kembali ke rumah dan keluarga masing-masing. Sembari menunggu waktu sholat Magrib, mereka menghabiskan waktu untuk mendengar berita melalui pesawat televisi. Mereka keluar rumah untuk melakukan sholat jamaah Magrib atau Isya atau juga melaksanakan sholat di rumah masing-masing.

Setelah selesai sholat Magrib mereka makan malam bersama dengan keluarga dan bercengkerama dengan anak-anak. Setelah selesai sholat Isya mereka duduk santai di depan televisi atau sambil mengawasi anak mereka yang sedang belajar dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Pukul 10 malam mereka akan istirahat.
Jurnal Harian Ibu

Ibu Rumah Tangga (IRT) berperan utama dalam urusan domestik. Mayoritas IRT ini tidak memiliki aktifitas ekonomi seperti layaknya KRT. Mereka bertindak sebagai bendahara rumah tangga dan pengambil keputusan utama dalam pengeluaran uang untuk sektor domestik dan pendidikan anak.

IRT ini memulai aktifitasnya dengan ibadah sholat subuh yang dilanjutkan dengan menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan anak-anak. Sarapan yang mereka siapkan biasanya minuman berupa teh manis atau jenis susu dan kopi yang dapat dibeli di warung dalam kemasan sachet-an. Menu utamanya biasanya berupa roti atau mie instant, bubur ayam, jenis nasi uduk —jarang sekali makan nasi putih dan lauk lengkap layaknya makan siang atau malam.

Setelah membantu suami menyiapkan perlengkapan menuju tempat kerja, mereka selanjutnya membantu anak-anak berangkat sekolah—mulai dari membantu memakaikan sepatu dan pakaian sampai mengantarkan mereka yang masih SD ke sekolahnya.
Menjelang tengah hari, mereka belanja untuk persiapan makan siang, mulai dari membeli bahan pokok dan bumbu masakan sampai menyajikan makanan lengkap di meja makan. Menonton sinetron atau sekedar mendengarkan musik yang disiarkan televisi merupakan hiburan ketika menyiapkan makanan siang untuk keluarga ini. Bercengkerama dengan tetangga, mengikuti arisan atau menghabiskan waktu menonton reality show dan infotainment seleberitis merupakan aktifitas rutin sore hari yang sering mereka habiskan.

Menjelang waktu Magrib, mereka kembali menyiapkan makanan malam buat keluarga dan menyiapkan secangkir teh manis hangat buat suami yang sebentar lagi akan tiba di rumah. Setelah Ibadah Sholat Magrib sampai Isya mereka menemani suami tercinta menghabiskan waktu menonton televisi atau turut mengawasi anak-anak yang sedang belajar. Menjelang jam 10 malam, mereka akan beristirahat dengan suami tercinta pada kamar yang terpisah dari anak-anak mereka.

Jurnal Harian Anak

Anak merupakan harta paling berharga bagi keluarga mereka. Jumlah anak dalam satu keluarga relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah anak dalam satu keluarga pada Masyarakat Mandailing. Mayoritas memiliki dua sampai empat anak saja. Fakta ini terjadi bukan karena potensi fertilitas yang kecil melainkan perencanaan keluarga yang cukup matang apalagi didukung oleh kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat setempat yang sudah menganggap bahwa keluarga berkualitas adalah sebuah tujuan bukan keluarga besar yang kaya momongan.

Peran ideal seorang anak dalam keluarga di kawasan ini sudah sejalan dengan konsep elitis yang dikeluarkan oleh UNICEF maupun rekomendasi Millennium Development Goals (MDGS): Belajar dan Bermain. Untuk memenuhi tujuan itu, keluarga tidak ragu-ragu untuk membeli dan membiaya peralatan sekolah anak-anak. Demikian juga alat-alat permainan anak-anak semuanya dilengkapi. Bahkan untuk keluarga yang sedikit lebih sejahtera, alat musik dan perangkat komputer telah disiapkan untuk anak-anak.Anak anak di kawasan ini mayoritas menempuh pendidikan. Keluarga miskin sekalipun paling tidak menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang SMA atau pesantren yang selevel dengannya.


Anak-anak memulai aktifitas paginya dengan mandi dan sholat Subuh bagi yang sudah mulai berusia 10 tahun. Mereka sarapan pagi dengan kedua orang tuanya yang juga akan segera melakukan aktifitasnya masing-masing pagi itu. Anak-anak yang masih TK dan SD biasanya diantar dan dijemput Ibundanya menuju dan pulang sekolah. Anak-anak SMP biasanya berjalan atau naik angkutan umum menuju sekolah. Demikian halnya dengan anak-anak yang menempuh pendidikan di SMA atau di Universitas—kecuali keluarga yang sedikit lebih sejahtera yang memberikan sepeda motor bagi anaknya yang sudah sampai pada level pendidikan seperti itu.

Setelah pulang sekolah mereka langsung makan siang bersama anggota keluarga lainnya kecuali kepala keluarga. Untuk anak-anak yang masih usia TK, SD dan SMP mereka mengalokasikan waktu tidur sore yang bisa mereka lakukan dalam satu atau dua jam. Selebihnya, waktu sore dihabiskan untuk bermain dengan anak-anak lainnya atau menghabiskan waktu menonton sajian animasi di televisi. Anak-anak yang berusia SMA dan Universitas biasanya lebih banyak menggunakan waktunya di sekolah atau kampus masing-masing untuk kegiatan ekstra kurikuler seperti Pramuka, seni maupun berorganisasi. Kebanyakan anak-anak usia SD akan belajar mengaji/agama dua sampai tiga jam sore hari pada TPA yang jaraknya tidak jauh dari rumah ---bisa di mesjid atau tempat khusus yang dipersiapkan untuk itu.

Sehabis mandi sore dan Sholat Magrib, mereka akan mulai sibuk dengan pekerjaan rumah yang diberikan guru dari sekolah. Orang tua yang tetap memantau mereka yang sedang belajar mereka jadikan sebagai asisten gurunya di sekolah untuk bertanya atau sampai pada meminta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru. Waktu ini merka jadikan juga sebagai tempat curhat buat kedua orang tua mereka, atau juga bermanja-manja kepada orang tua. Selepas belajar mereka berpamitan dengan orang tuanya untuk terlebih dahulu tidur sembari masuk ke kamar masing-masing.

Warung Kopi & Masyarakat Tarlola-Sibanggor: Budaya yang Sulit direformasi.

Kala kita memasuki desa Purba Julu, tepatnya di pinggir air panas di samping jembatan berdiri warung kopi yang melayani tamu-tamunya dari pukul 05.00 pagi sampai hampir pukul 24.00 malam. Tak pernah sepi dari pelanggan dan semuanya adalah kaum pemuda dan bapak. Tak jauh dari desa itu, Sibanggor Jae, kita akan memiliki pemandangan yang sama di tengah desa. Bedanya, warung di desa ini tidak seramai di Purba Julu. Beranjak ke Desa Sibanggor Tonga dan Sibanggor Julu, hampir setiap sudut pada jalan protokol berdiri warung kopi. Semua pelanggannya juga kaum pemuda dan bapak. Puncaknya, ketika kita menapaki Aek Milas Sibanggor, hampir 24 jam dua warung kopi yang berdiri di tempat wisata itu melayani pelanggannya.

Menapaki kaki ke Tarlola, mulai dari Hutalombang, Hutabaru, Handel, Hutatinggi, Hutanamale, Hutabaringin—kita akan mendapatkan pemandangan yang sama. Warung kopi sungguh berjaya dan menjadi bagian dari budaya masyarakat.

Seperti penulis utarakan sebelumnya, warung telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Tarlola Sibanggor khususnya bagi para kepala keluarga. Hampir dipastikan 90% dari kepala keluarga yang bermukim di wilayah ini, menjadikan warung kopi sebagai sarana atau wadah untuk mengeratkan persahabatan sesama, hiburan dan tempat bertukar informasi. Budaya ini juga berdampak pada banyaknya jumlah warung kopi yang berdiri pada setiap desa.

Para kepala keluarga tidak akan betah berlama-lama di dalam rumah dan bergabung bersama keluarga besar. “Magnet” warung kopi mengalahkan keinginan mereka untuk bergabung dengan keluarga besarnya. Hal ini juga didukung oleh kebiasaan keluarga yang tidak selalu menyiapkan gula, kopi maupun teh di dalam rumah sehingga mereka memilih cara instant, minum di warung kopi.

Alasan lain adalah bahwa budaya dalam rumah yang hampir tidak pernah sarapan bersama sebagaimana layaknya kita kenal pada masyarakat perkotaan. Masyarakatnya lebih nyaman dengan makan pagi dengan main course nya nasi, lauk dan pauk. Alasan utama yang selalu dikedepankan mereka adalah: kadar gizi sarapan seperti yang kita kenal tidak akan mencukupi kalori yang dibutuhkan untuk bekerja keras seperti mereka. Bagi penulis asumsi ini masih debatable, apakah kandungan gizi sepiring nasi plus seekor ikan asin ditambah setapak daun ubi tumbuk rebus akan lebih besar dari kalori yang dihasilkan segelas susu, tiga potong roti bakar dan sepotong pisang makan; atau segelas susu, sepiring nasi lontong, dua potong tahu dan sepotong tempe.

Minimnya kehadiran kepala keluarga untuk berkumpul dengan keluarga menyebabkan minimnya kesempatan anak-anak untuk bersosialisasi dengan orang tuanya, khususnya untuk sang ayah. Jarang sekali orang tua ini memperhatikan perkembangan anak-anak mereka dan juga mengawasi anak-anak ini untuk belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah. Dampaknya adalah terjadinya interaksi yang kaku antara orang tua (kepala keluarga) dengan anak, juvenile delinquence seperti berbohong, korupsi pembelian buku tulis, korupsi penjualan cabe ke toke sampai pada merokok sembunyi-sembunyi. Yang tidak kalah penting adalah, apatisme orang tua terhadap perkembangan pendidikan anak, ke sektor mana kemampuan dan ketertarikan si anak untuk sekolah lebih lanjut. Hal ini akan selalu nihil karena kurangnya interaksi antara kepala keluarga dan anak tadi.

Apakah solusi yang akan dikedepankan untuk mempererat interaksi antara kepala keluarga dengan anak-anak?. Meminta kepala desa untuk menutup semua warung yang diperuntukkan untuk minum kopi dan sejenisnya, tentunya merupakan tindakan yang tidak bijaksana dan melanggar hak-hak orang untuk berbisnis. Hal yang paling efektif untuk dilakukan adalah merubah pola perilaku individu-individu yang dimulai dari masing-masing keluarga.

Penulis masih mengikuti budaya “masuk-keluar-masuk” warung ini sampai tahun 2005, dimana penulis bisa menyampaikan sedikit ide serta menghilangkan asumsi warga kalau penulis pelit untuk membagi rezekinya buat semua orang yang ada di warung kopi—karena penulis adalah perantau --- serta menghilangkan asumsi masyarakat kalau penulis sombong.

Sejak tahun 2006, penulis mencoba untuk meniru budaya saudara-saudara yang bermukim di Jabotabek. Penulis stop masuk warung kopi, lebih banyak di rumah dan di kelompok tani. Penulis sarapan di rumah pagi hari dan satu-dua teman, rekan dan saudara telah mengetahui itu kalau saya selalu di rumah pada waktu itu. Mereka biasanya datang pada jam ini, walaupun sekedar menanya kabar. Selepas sholat magrib penulis juga tidak akan keluar rumah sekalipun ada undangan “mangido doah” selepas Magrib itu. Tapi setelah sholat Isya penulis bersilaturrahmi ke guru-guru penulis, pengurus kelompok tani, sampai sekedar mengecek apakah anak tetangga semuanya sehat-sehat. Dengan interaksi yang intens ini, penulis tahu perkembangan sawah orang tua, penulis langsung tahu apa yang sedang mereka keluhkan tentang economic turbulence yang mencekik mereka, penulis juga dapat memantau perkembangun studi anak-anak mereka dengan sekedar bertanya berapa hasil bagi seperempat dengan dua.

Saya melihat beberapa anggota kelompok Siala Sampagul sudah mengurangi dan bahkan ada yang telah menghentikan kegiatan masuk-keluar warung kopi dan lebih banyak menghabiskan waktu istirahat di rumah. Jika perilaku ini terakumulasi lebih luas tentunya bisnis warung kopi pun bisa tumbang dengan sendirinya dan kita tidak perlu harus memaksa mereka menutup dengan regulasi yang tidak bijaksana seperti diutarakan sebelumnya.

Selasa, 10 Maret 2009

Pelajaran Berharga Dari Negeri Seberang
(Ditulis Dalam Rangka Launching Kursus Bahasa Inggris di Kelompok Tani Siala Sampagul

Abdul Rozak Tanjung


Pengantar
Malaysia bagi penulis adalah semacam kampung halaman ketiga setelah Sibanggor Julu dan Kota Medan। Saudara semarga penulis, keturunan-keturunan dari moyang banyak bermukim dan telah menjadi warga Negara itu pasca kemerdekaan Malaysia tahun 1957. Mereka memperlakukan penulis sebagai saudara dekat dan kita sepertinya tidak hidup dalam dua negara yang berbeda. Penulis lebih beruntung dari saudara-saudara semarga penulis di kampung halaman karena penulis telah menginjakkan kaki di Negara itu sebanyak empat kali sampai Januari 2009. Untungnya lagi, ketika menyelesaikan skripsi S-1 di Universitas Sumatera Utara, penulis telah meneliti sistem pemerintahan lokal negara itu sehingga dalam ranah akademis sekalipun penulis telah bersentuhan dan menorehkan sesuatu yang berharga buat sudara-sudara yang ada di sana. Konsul Malaysia di Medan ketika itu langsung menjadikan skripsi penulis sebagai bahan bacaan di perpustakaan konsulat Malaysia di Jalan Diponegoro, Medan.


Sebelum menginjakkan kaki di ranah Melayu itu, saudara-saudara penulis telah rutin berkunjung ke kampung halaman dan telah membuat sesuatu yang berharga bagi warga dan umat Islam yang bermukin di sana। Sepertinya, orang Mandailing tidak akan protes kalau penulis nyatakan bahwa mesjid terbesar dan termegah dari sisi bangunan dan arsitekturnya di Kabupaten Mandailing ada di kampung penulis. Lebih dari itu, mereka sedang membangun gedung Madrasah di kampung halaman penulis yang nantinya akan dilanjutkan dengan pembukaan sentra-sentra akademika. Rutinitas mereka mengunjungi kampung halaman, membuat penulis punya kesempatan banyak untuk berkomunikasi dan belajar dari perilaku dan pola pikir mereka. Untungnya lagi, karena hanya penulis satu-satunya anggota keluarga besar yang sarjana, penulis kerap dijadikan referensi untuk mendapatkan informasi dan perkembangan daerah untuk mereka.


Pertualangan penulis ke negara itu pada tahun 2007 telah menambah cakrawala baru bagi penulis dan menjadi motivasi yang sangat berharga untuk lebih banyak belajar dari mereka। Mereka telah menunjukkan sentra-sentra industri, akademika, pemerintahan dan bahkan sentra wisata di sana kepada penulis ketika berkunjung ke sana.


Ketika pertama menginap di rumah mereka di Klang, penulis rasanya bagai orang kampung yang baru melihat megahnya kota Jakarta, semuanya serba aneh dan membuat kita salah tingkah, malu dan berkecil hati। Apa yang membuat penulis berlagak seperti itu?. Pertama, bahwa mereka berbahasa Melayu lima menit pertama dan akan berbahasa Inggris sampai minit terakhir perbincangan itu. Mereka bertanya pada penulis dalam bahasa Melayu dan mendiskusikan jawaban penulis dalam bahasa Inggris. Penulis juga melihat bahwa tidak satu halamanpun surat kabar berbahasa Melayu di atas meja keluarga dan tamu—yang menunjukkan kalau bahasa Inggris sudah menjadi bahasa resmi di dalam rumah. Kakek dan nenek penulis yang sudah mencapai umur 80 tahunpun sudah lebih senang menggunakan bahasa internasional itu dalam perbincangan apapun di rumah—mulai dari urusan tadi sore di kantor, urusan memperbaiki mobil, memotong rumput taman sampai jumlah kiloan bawang yang akan dibeli besok pagi.


Kedua, mereka membawa penulis ke beberapa mall di sekitar Kuala Lumpur dan juga ke menara kembar Petronas dan menara KL yang dikunjungi berbagai bangsa dari seantero dunia। Tak satupun penulis dengar para pelayan toko dan restoran yang menggunakan bahasa Melayu melayani pengunjungnya. Malah tukang parkiran sekalipun lebih suka menggunakan bahasa itu dari pada bahasa aslinya sendiri. Ketiga, mereka membawa penulis ke klinik milik mereka yang mempekerjakan tiga suku bangsa utama sekaligus di Malaysia yakni Melayu, China dan India. Mereka juga secara konsiten berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Semua brosus, papan absen, profil perusahaan sampai surat-surat formal ditulis dalam bahasa inggris yang baku dan apik.


Keempat, mereka membawa penulis ke rumah saudara lainnya yang tinggal di wilayah pedesaan di daerah Hulu Langat। Mereka sebenarnya menggunakan bahasa Melayu di kampung ini yang bunyi dan pelafalannya tidak jauh berbeda dengan pelafalan bahasa Melayu di daerah Batubara, Tanjung Titam di Kabupaten Asahan. Namun demikian, mereka sepenuhnya menguasai Bahasa Inggris dan bisa larut dengan cerita Pak Cik penulis yang baru berkunjung ke Negara asing dan menceritakannya dalam bahasa Inggris yang anggun.


Dari sekelumit kisah perjalanan itu penulis menyimpulkan sendiri dalam hati bahwa bahasa Inggris telah menjadi lingua franca kontemporer di negara itu, menggantikan originalitas bahasa tradsional Melayu-nya। Bahkan penulis melihat bahwa tidak ada semacam preventive action lagi untuk menjaga bahasa Melayu Malaysia dari kepunahan. Malah Pak Cik Nazif Jaafar, yang alumni Master of Architecture dari Oxford University, UK berujar seperti ini sama penulis.

“Bang Razak harus kuasai Bahasa Inggris itu kalau mau menjadi international community member. Sekarang Malaysia mau menerapkan revitalisasi bahasa Melayu sebagai lingua franca di Negara ini. Tapi ini tentunya kebijakan seperti ini cukup disesalkan karena, mengurangi kurikulum bahasa Inggris saja di sekolah saat ini telah menuai hasil yang tidak menggembirakan. Tidak banyak lagi pelajar Malaysia yang langsung diterima kuliah di English speaking countries karena lemahnya penguasaan bahasa itu. Bahasa itu bisa diproteksi, dilindungi dan dikembangkan kalau dia bisa mengikuti perkembangan zaman atau paling tidak Negara itu bisa mandiri tanpa terlalu banyak adopsi bahasa asing internasional seperti Jepang”.
Satu sisi penulis setuju dengan pandangan Pak Cik ini, bahwa bahasa Inggris itu harus dikuasai dan dikembangkan। Namun penulis tidak sependapat dengan pernyataan beliau yang menyatakan bahwa bahasa lokal itu tidak perlu dikembangkan kalau dia tidak bisa mengikuti perkembangan zaman। Penulis masih berpikir tentang yang namanya politik bahasa dimana jika teknologi, teori ilmiah dan inovasi yang bisa menyumbangkan kesejahteraan Negara dihasilkan anak-anak bangsa perlu dibuat dalam bahasa originalitas Negara itu sendiri sehingga bangsa asing banyak belajar dan bergantung pada bahasa Negara produsennya। Tentunya akan banyak manfaat ekonomi dan turunannya yang akan diraih dikemudian hari dengan menerapkan politik bahasa seperti ini. Alangkah bagusnya tentunya jika bahasa tersebut diikuti dengan aksara khusus seperti banyak kita kenal ketika belajar tentang asal muasal aksara dan angka. Indonesia termasuk Negara yang kaya aksara yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah suku bangsa utama di negeri ini. Sayangnya, penulis secara pribadi tak menguasai satupun diantara banyak aksara itu.


Output SDM Malaysia di Kancah Pertarungan Kehidupan Regional dan Internasional.
Kita wajib berbangga sekaligus menyesal merenungi capaian bangsa kita pada semua sektor dan lini kehidupan dalam persahabatan kita dengan mereka dalam wadah Negara dan bangsa serumpun. Gelar saudara tua masih melekat sampai hari ini dengan mereka dan kedua Negara selalu hati-hati dalam menjaga hubungan baik antara saudara tua dan saudara muda itu. Kita bangga bahwa generasi pemimpin sekarang di Malaysia adalah “sedikit-banyak” didikan guru-guru kita; bahwa perusahaan lumbung Negara itu, Petronas, belajar dahulu ke Pertamina; dan banyak lagi tentunya. Tapi saudara tuanya sekarang sudah harus mengakui kebolehan adindanya dan tidak sembarangan lagi memperlakukan adindanya itu. Sang adinda sudah terlalu jauh melampaui kemampuan sang kakanda.

Secara pribadi, penulis hanya bisa menyatakan bahwa saat ini saudara tua tetap tiga kali lebih maju dari saudara muda dalam bidang implementasi politik makro-mikro dan kreasi dunia musik dan entertainment। Selainnya saudara tua telah sangat jauh dalam ketertinggalan.


SDM Malaysia saat ini telah menjadi SDM yang paling bisa diandalkan oleh Negara mayoritas muslim yang ada di dunia. Kita tentunya masih ingat yang namanya Tan Razali Ismail, mantan ketua majelis umum PBB yang piawai dalam berdiplomasi dan sekian lama menjadi special envoy Sekjen PBB untuk demokrasi di Myanmar. Kita juga kenal mantan dan incumbent perdana menterinya, Dr. Mahathir dan Tuan Badawi, yang menjadi rujukan dunia internasional untuk kasus-kasus HAM, kemiskinan dan pembangunan di Negara-negara muslim. World Economic Forum yang setiap tahunnya diadakan di Davos, Switzerland selalu menampilkan mereka sebai panelis utam. Hal yang langka untuk dilakukan pemimpin tertinggi dari Negara kita.


Dalam dunia pendidikan mereka telah jauh melampaui kita। Dahulu mereka mendatagkan guru dari Indonesia dan sekarang kita berguru pada mereka. Kita tentunya tahu bagaimana kiprah IIU (International Islamic University) di Kuala Lumpur yang saat ini telah menjadi rujukan Timur Tengah untuk menimba ilmu atau sekedar mengambil short course. Teman skype penulis dari Bosnia Hersegovina, Miss Jasna memberitahu kepada penulis bahwa Negara-negara Almarhum Yugoslavia menjadikan Malaysia sebagai tempat pendidikan berskala internasional pertama.


Dalam dunia ekonomi mereka juga telah jauh melampaui kita। Dengan capaian produksi minyak sawitnya mereka telah menjadi produsen nomor satu di dunia. Demikian halnya dengan produki karet dan kokoa. Jika dibandingkan dengan luas areal wilayahnya yang tidak sampai 1/3 dari wilayah kita seharusnya kita mampu melampaui capaian mereka. Untuk sektor pertambangan dan mineral walaupun mereka tidak memproduksi minyak atau barang tambang lainnya sehebat Indonesia, namun mereka jauh mendapatkan keuntungan ekonomi yang jauh lebih besar dari kita.


Dalam dunia pariwisa dan komponen penunjang usahanya mereka telah menata dengan bagus dan capaian prestasinya lagi-lagi jauh dari negara kita। Dengan program MH (Malaysia Hospitality) mereka telah membuat dunia terbelabak mata untuk segera mengunjungi Negara mereka। Dukungan transportasi udaranya melalui Malaysia Airlines (MAS) telah menjadi nilai tambah pendukung sektor tersebut. Waktu mengunjungi Colombo, Sri Lanka November 2008, penulis tidak melihat Garuda Indonesia ada dalam rute Kuala Lumpur-Male-Colombo, namun Malaysia Airlines rutin setiap hari menghadirkan penerbangannya di rute tersebut. Sama halnya dengan teman penulis, Februati Tambunan yang pulang dari Wellington, New Zealand menuju kota Medan. Belia harus menaiki MAS dari Wellington ke Kuala Lumpur dan kemudian mendarat di Polonia Medan. Penguasaan rute-rute penerbangan internasional inilah yang membuahkan banyaknya pelancong yang hadir di Malaysia.


Dalam dunia profesi internasional dan global mereka jauh melampaui kita juga। Jika kita cacah jumlah tenaga professional di lembaga-lembaga internasional mereka sudah terlalu banyak untuk kita saingi. Mereka berpencar di organisasi PBB, Kemanusiaan Internasional dan tentunya bisnis internasional. Ketika beranjak dari Colombo menuju Kuala Lumpur, penulis berkenalan dengan seorang gadis Malaysia yang bekerja untuk UNDP di Sri Lanka. Alumni Amerika ini kurang lebih sama usianya dengan penulis. Karena sama-sama bekerja untuk organisasi kemanusiaan, cerita dan obrolan kami ketemu dan kami habiskan waktu tunggu boarding yang hampir satu jam tersebut di Airport. Gadis ini bercerita pada penulis---seperti biasa lima menit pertama bahasa Melayu dan sampai menit terakhir menjelang obrolan selesai pakai bahasa Inggris—bahwa beliau telah melakukan perjalanan misi kemanusiaan ke Afrika dan sebagian Timur Tengah. Beliau sekarang putar-balik pada poros Kuala Lumpur-Bangkok-Sri Lanka dan Washington. Penulis termenung, pastinya income beliau tidak kurang dari angka IDR. 100 juta. Terus penulis bayangkan kalau ada sepuluh orang dari desa penulis yang bekerja seperti beliau, akan sangat banyak yang bisa dibuat untuk kampung halaman.


Dalam dunia profesi penulis, yang bekerja untuk Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, mereka menjadi sangat penting artinya bagi kawasan Asia Tenggara। Walaupun Bulan Sabit Merah Malaysia jauh lebih muda dari Palang Merah Indonesia, faktanya pusat logistic federasi ada di Negara tersebut. Kepercayaan dunia internasional akan keamanan, keselamatan dan juga kemampuan untuk mengelola logistik korban bencana, perang dan konflik serta kesehatan berada di Negara itu.



Benang Merah Dari Suksesnya Saudara Muda
Kalau dirunut dari potensi alam dan budaya kerja Negara itu tentunya salah besar kita menilainya, apalagi kalau kita kaitkan dengan tingkat inteligensi warganya। Fakta mencatat bahwa melalaui TOFI-nya Johannes Surya anak-anak Indonesia bisa mengukir prestasi bergengsi di tingkat dunia. Penulis belum mendengar kalau wakil Negara itu pernah menorehkan prestasi yang sama dengan anak bangsa. Namun semua kesuksesan tersebut hanyalah kemampuan menguasai bahasa internasional, bahasa Inggris tersebut, yang memberikan akses yang sangat luas bagi mereka untuk studi dan bekerja di Negara maju.

Sekedar informasi bagi kita bahwa alumni universitas di Malaysia tidak susah-susah perbaiki TOEFL maupun IELTS untuk mendapatkan beasiswa Erasmus Mundus, Norway Scholarship dan tentunya beasiswa commonwealth lainnya। Pak Cik Najib, hanya perlu waktu satu jam wawancara untuk memasuki kuliahnya di Master Arsitektur di Oxford University UK demikian juga dengan abangnya yang kuliah di Universitas yang sama serta kedua adindanya yang kuliah dahulunya di Amerika dan di Australia.


Penulis mengintip kurikulum di sekolah dasar di Malaysia। Adalah Diana, teman skype penulis datu Batu Feringghi, Penang menjelaskan kalau sejak masuk sekolah mereka telah memiliki subject bahasa Inggris. Didukung dengan, academic environment-nya mereka sudah menguasai bahasa itu sebelum memasuki universitas. Akhirnya, penulis juga tidak heran jika Anwar Ibrahim--produk universitas lokal--bisa mengajar sebagai visiting lecturer di salah satu universitas papan atas di Amerika.


Selanjutnya, menjelang tidur di tempat penulis bekerja, ribuan mil laut dari kampung halaman penulis, penulis tanamkan niat untuk mengawali kursus bahasa Inggris sejak dini untuk para generasi junior penulis di kampung halaman. Penulis mengharapkan mereka-mereka nantinya akan bisa seperti teman Malaysia penulis yang bekerja untuk UNDP atau Pak Cik penulis yang melanglang buana studi di Eropa. Penulis hanya bisa berharap kalau nantinya mereka tetap memperhatikan kampung halaman di manapun mereka berada. Karena penulis juga sudah berumur, langkah juga mulai dibatasi, variabel-variabel pengganggu bermunculan, penulis hanya bisa menambah kapasitas penulis menguasai bahasa tersebut kalau ada biaya yang harus ditinggalkan buat keluarga. Namun, generasi junior penulis harus bermandi keringat untuk belajar bahasa itu sejak dini dan tidak ada kata untuk menunda atau lebih parah lagi mengabaikan. Akhirnya tulisan ini penulis tutup dengan doa dan harapan sederhana: berikan Tuhan rezeki untuk biaya kursus mereka di kampung halaman melalui tangan penulis atau tangan sahabat dan orang kami yang perduli dengan kemajuan anak bangsa.