Kamis, 02 April 2009

URGENSI DAN MODEL SIMPAN PINJAM UNTUK MANDAILING
Abdul Rozak Tanjung


Kisah Sukses Seorang Muhammad Yunus

Microfinance (baca: Simpan Pinjam Mikro) semakin mendapatkan tempat utama dalam upaya memberantas kemiskinan dan menciptakan perdamaian yang utuh dan berkesinambungan di Negara-negara dunia ketiga. Tidak mengherankan jika komite juri Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia sepakat untuk memberikan penghargaan prestisius tersebut kepada pendiri, founding father sekaligus fasilitator Grameen Bank, Muhammad Yunus, seorang Bangladesh dan dosen bersahaja di Universitas Chitatong, Bangladesh.

Apa yang menjadi pelajaran dari suksesnya Yunus dan Grameen Bank-nya yang dapat kita jadikan teladan?. Pertama, emberio Grameen Bank yang diawali pada tahun 1974 berasal dari para kaum perempuan miskin, janda, melarat dan papa di desa-desa terpencil di Bangladesh. Alasan utama Yunus menjadikan kaum perempuan sebagai entry point dalam merancang microfinance hanya karena kaum inilah yang selalu terpinggirkan dalam setiap kebijakan sektor sosial, ekonomi dan politik.

Kedua, Yunus dengan berani menentang sistem perbankan konvensional yang menurutnya sarat dengan ketidak adilan dan menjadikan kelompok perempuan dan keluarga miskin sebagai nasabah yang menjadi beban bukan menjadi potensi. Ketiga, Grameen Bank dibangun dalam komunitas Muslim orthodox dengan hadirnya pemuka agama sebagai acuan dalam bertindak dan berperilaku di tengah masyarakat. Tak mengherankan jika penerimaan masyarakat terhadap Grameen Bank cenderung resisten dan jauh dari sikap persisten. Riba merupakan jargon utama yang dijadikan pemuka agama untuk mendepak Grameen Bank dari wilayahnya. Keempat, Pemerintah pada awalnya menganggap kelahiran Grameen Bank sebagai bentuk dan institusi keuangan yang memiskinkan.

Namun, dengan proses yang panjang dan beribu tantangan termasuk dari kalangan perguruan tinggi, profesional perbankan dan lembaga-lembaga PBB, akhirnya Grameen Bank menjadi institusi keuangan utama di Bangladesh dan cetak biru konsep dan sistem perbankannya telah diduplikasi pada berbagai Negara di Dunia. Tidak saja di Negara-negara Muslim seperti Malaysia, Indonesia dan Negara-Negara Africa, di Negara Mayoritas Katolik seperti Philipines duplikasi Grameen Bank di sana termasuk yang pertama di Asia Tenggara. Tambahan lagi, Presiden Bill Clinton sampai menunjuk Muhammad Yunus sebagai konsultan dan fasilitator pengembangan perbankan bagi kelompok masyarakat miskin di Amerika yang juga merupakan duplikasi Grameen Bank.

Model Microfinance: Dari Model Arisan, Perbankan Konvensional sampai Grameen Bank

Harus disadari bahwa microfinance memiliki beragam variasi yang kadang kala disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat setempat mengelola uang. Model yang paling sederhana adalah model yang kita kenal sebagai model arisan dimana setiap periode tertentu masing-masing anggota membayar simpanan pokok, wajib maupun sukarela. Karena jumlah anggotanya yang biasanya relatif kecil, uang yang akan dikelola juga akan semakin terbatas. Tidak mengherankan jika anggota yang membutuhkan uang harus rela antri menunggu giliran untu meminjam. Namun, model ini sangat efektif pada sebuah komunitas kecil yang sama sekali tidak mendapatkan pasokan modal dari pihak ketiga. Model yang seperti ini salah satunya diterapkan oleh Palang Merah Norwegia pada kelompok ibu-ibu penganyam tikar di Kabupaten Simeulue Aceh. Namun, model pencatatan, sistem pengelolaan dan pelaporan keuangan tidak jauh berbeda dengan perbankan konvensional.

Model selanjutnya adalah model perbankan konvensional dimana sistem pengelolaan keuangan, model pelaporan, penerapan feasibility studies untuk pengucuran kredit sampai pada penetapan agunan pinjaman persis sama dengan perbankan konvensional. Hal utama yang membuat institusi ini berbeda dengan bank konvensional hanya pada jumlah asset bank, fasilitas, cakupan wilayah dan keterbatasan jumlah dana yang dapat dikucurkan. Model microfinance seperti ini tetap menjadikan nasabah sebagai objek atau sumber dana dan tidak pernah menjadi subjek pengelola dana.

Model terakhir, Grameen Bank, adalah kombinasi dari dua model yang dijelaskan di atas. Institusi ini dikelola berdasarkan kultur perempuan desa, dijalankan secara professional, nasabah sebagai subjek pengelola uang serta menjadikan kaum perempuan sebagai asset berharga dalam menjaga keutuhan bank dan bank prudential base.
Mencari Model Microfinance Buat Indonesia

Pasca penganurehan Nobel buat Yunus dan Grameen Bank-nya, para professional perbankan, penggiat LSM dan bahkan pemerintah Indonesia sendiri mengundang dan mengajak bekerjasama dengan Yunus dan Grameen Bank untuk melakukan kegiatan yang sama di Indonesia. Alhasil, sejumlah lembaga simpan pinjam versi Grameen Bank telah menjamur di persada nusantara walaupun tidak semuanya bertahan lama. Minimnya pendampingan pada kelompok sasaran dan juga lemahnya kapasitas fasilitator menjadikan sebagian institusi itu jalan di tempat atau malah mati suri.

Jika dirunut mulai dari kultur dan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang mayoritas tinggal di daerah pedesaan, model microfinance yang paling layak diterapkan adalah model Grameen Bank dengan pengembangan sedikit variasi. Alasan utama pemilihan model ini didasarkan atas adanya keengganan masyarakat untuk berhubungan dengan bank konvensional ntuk menyimpan dan meminjam uang karena tertutupnya komunikasi intens antara warga desa dengan banker-bankir dan pegawai yang ada pada bank-bank konvensional. Akibatnya, tertutup kemungkinan masyarakat desa untuk memperoleh pinjaman potensial dari bank. Alasan lainnya adalah budaya menabung dalam institusi keuangan yang masih langka bagi masyarakat desa. Hal ini terjadi karena tidak adanya kemauan atau komitmen perbankan tradisional untuk menjemput bola ke tengah masyarakat desa untuk menggaet lebih banyak nasabah sehingga phobia untuk menabung atau meminjam di bank tetap ada.


Model Microfinance Pilihan Untuk Masyarakat Mandailing: Membangun Pertanian Berkelanjutan Melalui Institusi Simpan Pinjam

Budaya dan tifologi masyarakat Mandailing tidak jauh berbeda dengan budaya dan tifologi masyarakat Indonesia secara umum. Hidup dalam budaya yang partiarki, berusaha pada sektor pertanian dan luput dari sentuhan real pembuat kebijakan.
Masyarakat Mandailing hidup dan bergantung secara ekonomi pada sektor pertanian. Potensi ini akan tetap bertahan jika ada sinergi antara para petani, penyedia alat-alat pertanian, kaum pengusaha, otoritas lokal dan yang tak kalah pentingnya adalah akses perkreditan. Aspek terakhir, akses ke lembaga perkreditan, menjadi penting karena etos kerja yang tinggi, keinginan untuk sejahtera, mendapatkan pendidikan yang layak, memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai selalu terhambat karena masalah finansial dan akses tertutup untuk meminjam uang.

Sinergi antara kesemua unsur di atas sangat penting untuk memulai pembentukan lembaga simpan-pinjam di daerah ini. Petani merupakan asset berharga sebagai nasabah lembaga simpan-pinjam dimaksud sementara kaum pengusaha dapat berperan dalam menanamkan modalnya untuk digunakan sebagai modal simpan pinjam. Otoritas lokal diperlukan kehadirannya untuk memberikan legitimasi, perizinan dan komitmen untuk mensejahterakan warganya.

Berdasarkan deskripsi di atas, kehadiran lembaga simpan pinjam yang menerapkan kombinasi kultural dan perbankan konvensional di Kabupaten Mandailing dinilai sangat tepat untuk diimplementasikan sejak dini.