Sabtu, 18 April 2009

Masihkah Data BPS Valid dan Bisa Dipercaya?
(Kajian Kritis Tentang Sajian Data BPS Madina, 2007)

Abdul Rozak Tanjung

Kecamatan Tambangan dalam Angka 2007“ merupakan publikasi series tahunan yang menyajikan berbagai fakta statistik keadaan tahun 2006. Data statistik yang dihimpun dari berbagai sumber, baik yang dikumpulkan lewat mekanisme sensus, survei, maupun kompromin (kompilasi produk administrasi), meliputi data : geografis, penduduk, sosial, pertanian, Dengan kesyaratan informasi tersebut, para perencana, perumus kebijakan, peneliti, dan akademisi dapat menjadikannya sebagai salah satu sumber penting dalam penyediaan data statistik yang faktual, valid dan terpercaya” (Buku Kecamatan Tambangan Dalam Angka BPS Mandailing Natal: 2007)

Reputasi BPS sebagai ujung Tombang Penyedia Data Publik

Kutipan di atas sungguh ideal dan sempurna. Badan Pusat Statistika (BPS) tampil dengan penuh keyakinan dan menghadirkan data yang valid dan terpercaya yang potensial dijadikan sebagai informasi penting dalam perencanaan dan perumusan kebijakan serta bermanfaat bagi para peneliti dan akademisi juga. BPS memang sampai hari ini menjadi tumpuan pemerintah dalam memperoleh dan menyediakan data apa saja yang berhubungan dengan geografi, pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya. Malah BPS juga secara kontinu melakukan survey ekonomi, pertanian dan juga pendidikan yang dipublikasikan melalui buku atau dalam e-format lainnya seperti VCD. Situs online-nya pun kini telah tersedia walaupun masih lebih banyak kurangnya dari pada yang termutakhir.

Dalam sebuah kesempatan di Balitbang Sumatera Utara tahun 2006, penulis pernah melemparkan pernyataan pedas buat BPS dalam sebuah seminar tentang Evaluasi Pemekaran Wilayah di Sumatera Utara. Penulis masa itu sangat alergi menggunakan data BPS karena diskrepansinya terlalu jauh dari angka-angka yang valid dan penulis sampaikan bahwa penulis tidak percaya dengan data BPS. Ir. Syarifullah Harahap, MSi, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan melerai perdebatan dengan menyatakan bahwa : “sekalipun data BPS banyak kekurangannya, tetapi sampai hari ini data mereka yang dijadikan sebagai rujukan resmi pemerintah. Penulispun akhirnya mengikuti saran kepala tersebut.

Kini, sejumlah issue menjelang dan pasca pemilu 2009, isu tentang validitas data pemilih baik itu berdasarkan jumlah, syarat punya hak sebagai pemilih dan sebaginya kembali mencuat di permukaan. Karena tulisan ini tidak akan difokuskan pada masalah BPS dan Pemilu 2009, penulis menyimpan dulu topik tersebut. Hal yang menarik bagi penulis untuk dicermati saat ini adalah data BPS tentang Kecamatan Tambangan 2007, di mana pada kurun waktu tesebut desa penulis, Sibanggor Julu dan sembilan desa tetangganya yang saat ini telah menjadi kecamatan baru dengan nama Kecamatan Puncak Sorik Marapi. Data BPS 2008 untuk wilayah tersebut belum didapatkan penulis, atau kemungkinan juga belum naik cetak. Oleh karenanya, data 2007 merupakan data yang paling tepat untuk dijadikan penulis sebagai bahan untuk dicermati.

Mengkritisi Sajian Data BPS Mandailing Natal : Kecamatan Tambangan 2007

Kecamatan Tambangan Dalam Angka Tahun 2007, penulis dapatkan melalui internet ini, melalui software pencari data, google. Setelah membaca sajian-sajian data dalam buku tersebut penulis selanjutnya mempertanyakan validitas data yang ditulis dalam buku tersebut. Berikut ini penulis uraikan beberapa kejanggalan dalam laporan itu.


1. Luas Wilayah: Purbajulu Desa Terluas dan Hutatinggi Tersempit
Dalam data laporan di atas penulis tidak habis pikir mengapa Desa Purbajulu dinyatakan sebagai desa terluas di kawasan Sibanggor Tarlola padahal desa itu merupakan yang paling sedikit penduduknya di wilayah ini. Kalau luas yang dimaksud dalam laporan itu termasuk wilayah sawah dan perkebunan, seharusnya Sibanggor Jae akan lebih luas. Hutatinggi dinyatakan sebagai desa paling sempit wilayahnya walaupun menurut asumsi penulis baik luas wilayah pemukiman maupun wilayah sawah dan perkebunan harusnya desa inilah yang paling luas, bukan Purba Julu sebagaimana pada laporan tersebut.

2. Sarana Pendidikan: SLTP di Hutalombang Tidak Ada, SLTP di Sibanggor Jae Ada
Dalam laporan tersebut tertulis bahwa SLTP terdapat di desa Sibanggor Jae dan Hutanamale. Sepanjang pengetahuan penulis SLTP harusnya ada di Hutalombang, Sibanggor Julu dan Kampung Lama (ini merupakan melting pot, yang terkadang dibuat menjadi desa Hutanamale). Anehnya lagi bahwa SLTP yang negeri tidak ada di wilayah ini, padahal SLTP di Hutalombang dari awal tahun 1990-an sudah sedianya jadi SLTP negeri.

Berdasarkan laporan data itu juga, SD Inpres tidak ada di wilayah ini sekalipun kolom dalam format laporan tersedia. Sepanjang pengetahuan penulis, SD Sibanggor Tonga, SD Hutatinggi, SD Hutalombang dan SD Hutabaringin adalah SD Inpres.

3. Kesehatan: Pustu ada di Sibanggor Tonga, 97% anak bergizi baik.

Dalam laporan yang dimaksud di atas, dinyatakan bahwa terdapat Puskesmas Pembantu (Pustu) di Sibanggor Tonga, padahal sepengetahuan penulis yang ada justru Polindes seperti layaknya desa-desa yang lain.

Tentang anak kurang gizi dinyatakan bahwa 3% dari 1858 anak adalah mengalami gizi buruk sementara 97% lainnya mendapatkan gizi yang baik. Standar gizi yang baik seperti apa yang dimaksudkan oleh BPS, penulis juga tidak tahu, namun penulis dapat merasakan bahwa tetangga saya di rumah mayoritas tidak mendapatkan gizi yang cukup sebagaimana penulis ketahui waktu belajar di SD yaitu empat sehat lima sempurna.

4. Sarana Ibadah: Mesjid di Handel dan Hutabaringin Julu tidak Ada

Penulis menyoroti jumlah mesjid maupun langgar sebagaimana ditampilkan dari data di atas. Dalam laporannya disebutkan bahwa di Desa Handel dan Hutabaringin Julu tidak ada Mesjid. Saya selama dua tahun terakhir masih mengunjungi dua desa dimaksud dan mesjid terdapat di dua desa itu. Masalah langgar, penulis tidak berkomentar karena indikator langgar itu juga belum penulis ketahui defenisi pastinya.

5. Sektor Ekonomi : Kambing di Hutabaringin Maga Cuma 15 Ekor, Itik di Sibanggor Julu hanya 60 ekor.

Kambing merupakan sumber produk ternak utama di daerah ini. Namun angka yang menurut hemat penulis mencengangkan adalah bahwa di Desa Hutabaringin Maga hanya terdapat 15 ekor kambing. Penulis memang tidak mengetahui angka pastinya seperti apa, namun menurut hemat penulis, angka itu terlalu kecil. Penulis tidak tahu apakah jumlah itu merupakan jumlah kambing yang berkeliaran di desa pada saat sang mantra statistik mencacah data.

Kalau halnya dengan jumlah itik penulis menyangsikan validitas data tersebut. Yang pasti adalah di rumah orang tua penulis jumlah itik tidak kurang dari 20 ekor dan penulis yakin bukan hanya 3 rumah saia yang memiliki itik di Sibanggor Julu.

6. Demografi: Hutanamale Berpenduduk Palin g Padat

Hal lain yang menurut hemat penulis aneh adalah jumlah Rumah Tangga dan KK di setiap desa yang selanjutnya akan berdampak pada jumlah penduduk. Pada laporan itu dituliskan bahwa Hutanamale merupakan desa yang paling banyak RT-nya. Menurut hemat penulis data yang valid adalah bahwa Desa Hutatinggi yang paling banyak RT/KK-nya. Penulis tidak tahu apakah Desa Handel dan Hutabaru dimaksukkan sebagai bagian dari Desa Hutanamale dan kalau itu yang terjadi harus dicantumkan dalam laporan itu karena secara juridis kedua desa itu sudah defenitif sebelum tahun 2007.

Excuse Pegawai BPS atas Invaliditas Data

Mengapa tampilan data BPS seperti di atas masih muncul hingga kini?. Ada beberapa alasan (exuse) pegawai pencacah data untuk itu. Biasanya alasan ini juga yang menyebabkan mereka tidak merasa bersalah telah membohongi publik.

Keterbatasan Dana: Untuk melakukan pencacahan data yang valid, akurat dan terpercaya membutuhkan dana yang besar. Namun menurut hemat penulis alasan ini merupakan alasan klasik yang tidak perlu dikembangkan lagi. Bekerja sebagai mantra statistik tentunya punya gaji. Gaji itulah yang mengharuskan mereka untuk bekerja berdasarkan tufoksinya.

Gaji yang sedikit: Mantri statistik terkadang malas ke lapangan untuk mencacah data karena barangkali uang transportasi, SPPD tidak ada. Namun menerut hemat penulis gaji kecil tidak boleh menjadi alasan karena faktanya gaji mantri statistik pasti di atas UMR dan juga pendapatan rata-rata petani desa. Penulis yakin, jika BPS menenderkan proyek itu kepada mahasiswa gaji PNS bulanan tersebut melebihi cukup bagi mereka untuk melakukan penelitian seperti laporan statistik di atas.

Kemampuan akademis yang minim: Banyak mantra statistik yang menyatakan bahwa mereka tidak memahami metode penelitian karena kurang pembekalan dan capacity building. Alasan ini juga bagi penulis tidak dapat diterima karena dengan mempelajari buku metode survey seharga Ro. 50.000 mereka akan dapat memahami penelitian itu.

Mungkinkah data tahun 2008 yang akan segera keluar akan lebih baik?.Penulis mengharapkan seperti itu. Penulis sudah siap-siap menanti data tahun 2008 untuk memuji dan atau mengkritisi kembali BPS.

Kamis, 02 April 2009

Siala Tourism: A Bridge to Mandailing Hospitality
Abdul Rozak Tanjung

Lesson Learnt From Malaysia Hospitality

When I had a trip to an international seminar on livelihoods recovery in Negombo Srilanka, November 2008, I was confuse when the flight name written as MH 648 leaving from Polonia Airport for KLIA Kuala Lumpur and Colombo International Airport. Frankly, I had some international trips to Kuala Lumpur, Penang and some other cities within Thailand before, where I took ticket written so closed to the flight company name like Garuda Airlines (GA). I called back an administration officer in my office in Banda Aceh to clarify the flight company and I got the clearance that the flight company is Malaysia Airlines (MAS).

Reading some stuff provided for the passengers on my seat, I got a new little language that MH stands for Malaysia Hospitality. I just thought that MH refers to the way of Malaysian to welcome the passenger to the aircraft. After some observations I made through the trips for Colombo, I got a clear message that MH is trade mark of the Malaysian Airlines services.What is obviously the relation between Malaysia Airlines and Malaysian Hospitality? As I said earlier, the way of serving passengers with luxurious service and facilities as well as nice flight meal is the manifestation of Malaysia Hospitality.

Turning back to most of Indonesian flight companies, MAS services are quite different and much more civilized that Indonesian flight companies. The way the stewards and stewardess serve the passengers is so elegant like I was the nobleman in a royal country or prominent people in the government institution. I was actually nothing comparing to my flight mates coming for countries around the world. However, I learnt that MAS prioritize the services to the passengers regardless of nation, belief, background as well as the occupation of us.

Furthermore, I learnt from the tourism magazines provided on my seat that MH term already a big trade mark of Malaysian tourism as a whole. The “hospitality” of Malay has become a potential international tourist trade of Malaysia. How about the Indonesia hospitality?. As fact of matter, we have plenty of nations and tribes within our diverse country. However, most of the nations and tribes within our country have the same hospitality to what Malaysia has. The main problem was the failure of tourism business sector to say “internationalize” the Indonesian hospitality as well as with its jargon.

Mandailing Hospitality: A New Trade Mark on Exploring Mandailing Tourism

It is too early to say that Malaysian Hospitality closely the same to what Mandailing society has. However, there are some similarities between Malay (dominant resident of Malaysia) and Mandailing especially in religious and cultural sector. The similarity on religious sector is that most of Malay and Mandailiness are predominantly Moslem where they have current cultural ceremony mostly regard to Islam rule. On cultural sector, both tribes have strong kinship relation where they have mutual works in having ceremonial works or even in economic-based works as well as prioritize consensus in making policies.

Concurrent to the above description, it is already clear that Mandailing can explore their tourism potential like Malaysian way of thinking. The most potential challenges face Mandailing is about the capacity of government and the society to explore its potential in tourism sector as well as the human resource of Mandailingness to promote their potentials.

Mandailing does not merely refer to the area of administration but mostly refers to the cultural entity where now at least three district governments involved in which are Mandailing Natal itself, Kota Sidempuan and South Tapanuli Regency. Both regencies could start exploring their tourism potential by embedding Mandailing touch within. Let both local governments bring the Mandailing Hospitality as the common trade mark without any complain from each others.

Siala Tourism: A Bridge to Mandailing Hospitality

Siala stands for "Sibanggor Tarlola" which is the area covering ten villages around Sorik Marapi Mount and is now become one sub district government. The tourism potentials are vary within this area, ranging from Sibanggor Hot spring, Traditional Cemetery in Perkampungan Paddy field, Islam Pilgrimage in Kampung Lama, Flower and Butterfly parks in Hutanamale. These tourism potentials must explore by the society and government immediately.

Looking back to “Mandailing Hospitality” trade mark, Siala Sampagul Foundation will initiate the step in reaching the implementation of MH-based tourism in Mandailing. Will it be working appropriately? We do not have idea yet, but it we must do something to achieve the goal
URGENSI DAN MODEL SIMPAN PINJAM UNTUK MANDAILING
Abdul Rozak Tanjung


Kisah Sukses Seorang Muhammad Yunus

Microfinance (baca: Simpan Pinjam Mikro) semakin mendapatkan tempat utama dalam upaya memberantas kemiskinan dan menciptakan perdamaian yang utuh dan berkesinambungan di Negara-negara dunia ketiga. Tidak mengherankan jika komite juri Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia sepakat untuk memberikan penghargaan prestisius tersebut kepada pendiri, founding father sekaligus fasilitator Grameen Bank, Muhammad Yunus, seorang Bangladesh dan dosen bersahaja di Universitas Chitatong, Bangladesh.

Apa yang menjadi pelajaran dari suksesnya Yunus dan Grameen Bank-nya yang dapat kita jadikan teladan?. Pertama, emberio Grameen Bank yang diawali pada tahun 1974 berasal dari para kaum perempuan miskin, janda, melarat dan papa di desa-desa terpencil di Bangladesh. Alasan utama Yunus menjadikan kaum perempuan sebagai entry point dalam merancang microfinance hanya karena kaum inilah yang selalu terpinggirkan dalam setiap kebijakan sektor sosial, ekonomi dan politik.

Kedua, Yunus dengan berani menentang sistem perbankan konvensional yang menurutnya sarat dengan ketidak adilan dan menjadikan kelompok perempuan dan keluarga miskin sebagai nasabah yang menjadi beban bukan menjadi potensi. Ketiga, Grameen Bank dibangun dalam komunitas Muslim orthodox dengan hadirnya pemuka agama sebagai acuan dalam bertindak dan berperilaku di tengah masyarakat. Tak mengherankan jika penerimaan masyarakat terhadap Grameen Bank cenderung resisten dan jauh dari sikap persisten. Riba merupakan jargon utama yang dijadikan pemuka agama untuk mendepak Grameen Bank dari wilayahnya. Keempat, Pemerintah pada awalnya menganggap kelahiran Grameen Bank sebagai bentuk dan institusi keuangan yang memiskinkan.

Namun, dengan proses yang panjang dan beribu tantangan termasuk dari kalangan perguruan tinggi, profesional perbankan dan lembaga-lembaga PBB, akhirnya Grameen Bank menjadi institusi keuangan utama di Bangladesh dan cetak biru konsep dan sistem perbankannya telah diduplikasi pada berbagai Negara di Dunia. Tidak saja di Negara-negara Muslim seperti Malaysia, Indonesia dan Negara-Negara Africa, di Negara Mayoritas Katolik seperti Philipines duplikasi Grameen Bank di sana termasuk yang pertama di Asia Tenggara. Tambahan lagi, Presiden Bill Clinton sampai menunjuk Muhammad Yunus sebagai konsultan dan fasilitator pengembangan perbankan bagi kelompok masyarakat miskin di Amerika yang juga merupakan duplikasi Grameen Bank.

Model Microfinance: Dari Model Arisan, Perbankan Konvensional sampai Grameen Bank

Harus disadari bahwa microfinance memiliki beragam variasi yang kadang kala disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat setempat mengelola uang. Model yang paling sederhana adalah model yang kita kenal sebagai model arisan dimana setiap periode tertentu masing-masing anggota membayar simpanan pokok, wajib maupun sukarela. Karena jumlah anggotanya yang biasanya relatif kecil, uang yang akan dikelola juga akan semakin terbatas. Tidak mengherankan jika anggota yang membutuhkan uang harus rela antri menunggu giliran untu meminjam. Namun, model ini sangat efektif pada sebuah komunitas kecil yang sama sekali tidak mendapatkan pasokan modal dari pihak ketiga. Model yang seperti ini salah satunya diterapkan oleh Palang Merah Norwegia pada kelompok ibu-ibu penganyam tikar di Kabupaten Simeulue Aceh. Namun, model pencatatan, sistem pengelolaan dan pelaporan keuangan tidak jauh berbeda dengan perbankan konvensional.

Model selanjutnya adalah model perbankan konvensional dimana sistem pengelolaan keuangan, model pelaporan, penerapan feasibility studies untuk pengucuran kredit sampai pada penetapan agunan pinjaman persis sama dengan perbankan konvensional. Hal utama yang membuat institusi ini berbeda dengan bank konvensional hanya pada jumlah asset bank, fasilitas, cakupan wilayah dan keterbatasan jumlah dana yang dapat dikucurkan. Model microfinance seperti ini tetap menjadikan nasabah sebagai objek atau sumber dana dan tidak pernah menjadi subjek pengelola dana.

Model terakhir, Grameen Bank, adalah kombinasi dari dua model yang dijelaskan di atas. Institusi ini dikelola berdasarkan kultur perempuan desa, dijalankan secara professional, nasabah sebagai subjek pengelola uang serta menjadikan kaum perempuan sebagai asset berharga dalam menjaga keutuhan bank dan bank prudential base.
Mencari Model Microfinance Buat Indonesia

Pasca penganurehan Nobel buat Yunus dan Grameen Bank-nya, para professional perbankan, penggiat LSM dan bahkan pemerintah Indonesia sendiri mengundang dan mengajak bekerjasama dengan Yunus dan Grameen Bank untuk melakukan kegiatan yang sama di Indonesia. Alhasil, sejumlah lembaga simpan pinjam versi Grameen Bank telah menjamur di persada nusantara walaupun tidak semuanya bertahan lama. Minimnya pendampingan pada kelompok sasaran dan juga lemahnya kapasitas fasilitator menjadikan sebagian institusi itu jalan di tempat atau malah mati suri.

Jika dirunut mulai dari kultur dan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang mayoritas tinggal di daerah pedesaan, model microfinance yang paling layak diterapkan adalah model Grameen Bank dengan pengembangan sedikit variasi. Alasan utama pemilihan model ini didasarkan atas adanya keengganan masyarakat untuk berhubungan dengan bank konvensional ntuk menyimpan dan meminjam uang karena tertutupnya komunikasi intens antara warga desa dengan banker-bankir dan pegawai yang ada pada bank-bank konvensional. Akibatnya, tertutup kemungkinan masyarakat desa untuk memperoleh pinjaman potensial dari bank. Alasan lainnya adalah budaya menabung dalam institusi keuangan yang masih langka bagi masyarakat desa. Hal ini terjadi karena tidak adanya kemauan atau komitmen perbankan tradisional untuk menjemput bola ke tengah masyarakat desa untuk menggaet lebih banyak nasabah sehingga phobia untuk menabung atau meminjam di bank tetap ada.


Model Microfinance Pilihan Untuk Masyarakat Mandailing: Membangun Pertanian Berkelanjutan Melalui Institusi Simpan Pinjam

Budaya dan tifologi masyarakat Mandailing tidak jauh berbeda dengan budaya dan tifologi masyarakat Indonesia secara umum. Hidup dalam budaya yang partiarki, berusaha pada sektor pertanian dan luput dari sentuhan real pembuat kebijakan.
Masyarakat Mandailing hidup dan bergantung secara ekonomi pada sektor pertanian. Potensi ini akan tetap bertahan jika ada sinergi antara para petani, penyedia alat-alat pertanian, kaum pengusaha, otoritas lokal dan yang tak kalah pentingnya adalah akses perkreditan. Aspek terakhir, akses ke lembaga perkreditan, menjadi penting karena etos kerja yang tinggi, keinginan untuk sejahtera, mendapatkan pendidikan yang layak, memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai selalu terhambat karena masalah finansial dan akses tertutup untuk meminjam uang.

Sinergi antara kesemua unsur di atas sangat penting untuk memulai pembentukan lembaga simpan-pinjam di daerah ini. Petani merupakan asset berharga sebagai nasabah lembaga simpan-pinjam dimaksud sementara kaum pengusaha dapat berperan dalam menanamkan modalnya untuk digunakan sebagai modal simpan pinjam. Otoritas lokal diperlukan kehadirannya untuk memberikan legitimasi, perizinan dan komitmen untuk mensejahterakan warganya.

Berdasarkan deskripsi di atas, kehadiran lembaga simpan pinjam yang menerapkan kombinasi kultural dan perbankan konvensional di Kabupaten Mandailing dinilai sangat tepat untuk diimplementasikan sejak dini.
Sepucuk Surat Buat Bunda dan Kandaku Semua

Abdul Rozak Tanjung


Apa kabar Bunda? Apa kabar juga Saudara?. Dari kawasan nun jauh di tengah Samudera Indonesia, dari kawasan Pulau terluar Indonesia di wilayah Barat, ribuan mil dari tempatmu berada Ananda dan Adindamu mau berbagi dan temu kangen lewat dunia maya ini.


Buat Bunda: Kala Aku Kecil Bunda, Aku Teringat Almarhum Ayah

Kala azan Subuh berkumandang, kala sang muazzin mendengungkan suara merdunya mengabarkan kepada semua muslim-muslimah kalau kewajiban pagi mereka telah tiba, sejenak setelah kokok ayam jantan membangunkanmu dari tidurmu yang lelap, Bunda ambil air sholat nan dingin dan suci, membasuh mukamu yang lembut tanpa noda. Bunda bacakan ayat-ayat suci dalam sholat Bunda dan Bunda doakan keselamatan Ayahanda dan Ananda dalam doa penutup sholat Bunda. Jerit tangisku menjelang pagi itu, menjadi pekikan semangat bagimu untuk membesarkanku, Bunda membuai Ananda dengan tangan Bunda yang lembut dan tulus. Ananda temani Bunda di pagi itu menanak nasi, mengasap ikan asin dan menggiling cabai merah buat bekal Ayahanda menuju puncak bukit yang penuh harapan dan tantangan.

Pagi itu Bunda relakan Ayahanda mendaki bukit yang terjal dan berbatu menggapai asa meraih masa depan yang lebih gemilang dan mengangkat harkat, martabat dan taraf hidup keluarga dari lembah kemiskinan. Bunda lepaskan pagi itu Ayahanda dengan penuh cinta dan ketulusan. Bunda relakan beliau mengitari bukit berbahaya dan penuh tantangan itu demi mendapatkan bekal untuk kita tanak besok pagi. Bunda lepaskan ia berjuang demi kita semua.

Bunda, aku teringat ketika Bunda siapkan nasinya dalam bungkusan daun pisang yang Bunda ambil sendiri pagi itu di samping rumah mungil kita, Bunda siapkan pakaian lusuhnya yang akan ia kenakan mendaki bukit nan terjal itu dan Bunda masukkan plastik tipis buat payung kalau hujan menimpanya dalam perjalanan menuju dan pulang dari bukit itu. Waktu melepaskan kepergian Ayahanda ke bukit terjal itu, Ananda lihat mata Bunda berkaca-kaca sembari Bunda peluk dan cium Ananda melampiaskan kesedihan dan kegetiran hidup yang Bunda dan Ayahanda hadapi. Belum jelas terlihat jalan menuju bukit itu, Ayahanda telah melangkahkan kakinya dengan segunung harapan. Bunda pandangi ia sampai jejak dan badannya menghilang ditelan gelapnya pagi itu.

Selepas kepergian Ayahanda, Bunda mandikan Ananda dengan air hujan yang Bunda tampung dalam tempayan malam harinya. Jeritan tangis Ananda membuat Bunda menyanyikan lagu terindah yang Ananda pernah dengar. Bunda bisikkan syair-syair lembut ke telinga Ananda yang sontak membuat Ananda tersenyum dan tertawa. Bunda keringkan badan mungil Ananda dengan handuk Bunda. Pagi itu juga, Bunda suapi Ananda dengan nasi putih yang Bunda tanak sendiri pagi itu, Bunda bubuhi ia dengan garam untuk memberi dan penambah selera bagi Ananda.

Mentari pagi telah menampakkan sinarnya, Bunda-pun bergegas menuju sawah kita di ujung desa. Bunda ambil kerudung Bunda, Bunda bungkuskan nasi buat makan siang kita di tengah ladanga, Bunda ambil selendang dan menggendongku sepanjang jalan menuju ladang kita yang luasnya kurang dari sepelemparan batu itu. Tiba di ladang Bunda ikatkan selendang itu ke tiang pondok di tengah sawah. Bunda buai Ananda sampai Ananda benar-benar tertidur lelap. Bunda-pun mulai bekerja, mengais rumput yang bertebaran di samping padi, mengangkat kiambang yang bertebaran di tengah petak sawah. Kala azan Shuhur bergema dari desa, Bundapun menuju pondok karena Ananda juga sudah menangis memekikkan telinga saudara-saudara kita yang bekerja di ladang-ladang mereka.

Menjelang azan Magrib, Bundapun bergegas menuju desa, menggendongku sepanjang pematang sawah menuju desa. Sampai di Desa Bunda tanakkan nasi buat kita sembari menunggu Ayahanda menuruni bukit terjal itu. Sambil menanak nasi, Bunda mendongengkanku, bercerita tentang kancil yang cerdik sampai cerita tentang sang Nabi yang tangguh di medan perang. Terkadang Ananda tertawa mendengarnya dan terkadang Ananda menangis mendengarnya. Azan Magrib telah berkumandang dan Ayahanda belum juga pulang. Ananda lihat terkadang Bunda mengangkat tangan memanjatkan doa sambil menangis dari sajadah Bunda. Ananda tidak tahu apakah Bunda was-was dengan Ayahanda. Apalagi teman-teman Ayahanda sering kesasar di tengah hutan dan bahkan disergap binatang buas. Bunda hanya bilang kalau Ayahanda sebentar lagi akan sampai di rumah jika Ananda terus-terus bertanya pada Bunda.

Menjelang azan Isya, Ayahanda tiba di rumah. Bunda siapkan makanan malamnya sambil menemani dan menuangkan air minumnya. Selepas makan, Ayahanda ambil sebatang rokok kreteknya sambil mengepulkan asapnya ke atas, tampak terlihat wajah kusamnya dan memikirkan sesuatu. Bunda lebih banyak diam daripada bertanya apa yang terjadi. Ayahanda memulai ceritanya.

“Jauh betul perjalanan kami tadi ke arah hulu bukit, sudah jarang rotan di sekitar itu karena desa sebelah telah juga ke sana seminggu terakhir ini. Kami hanya dapat masing-masing sekitar sepuluh kilo, besok kami agak jauh lagi biar lebih banyak rotannya”.

Ananda tidak tahu apa makna sepuluh kilo itu bagi keluarga, tapi yang jelas mimik muka Ayahanda kurang senang mengungkapkannya. Tapi tiba-tiba Ayahanda mengambil beberapa buah merah yang didapatnya dari hutan. Disodorkannya dua-tiga biji ke tangan Ananda, Ananda-pun sudah senang tanpa banyak berpikir apakah sepuluh kilo itu sudah cukup menyenangkan Ayahanda. Ananda hanya tahu kalau Ayahanda tersenyum memberikan buah itu pada Ananda. Tapi, tiba-tiba Bunda berujar kepada Ayahanda: “Iya…..bersabarlah Ayah..baru itulah rezekinya, kita kan hanya berusaha…Bunda masih simpan uang hasil yang kemarin. Masih bisa buat beli minyak tanah dan dua-tiga biji kelapa buat besok pagi.

Begitulah Bunda cerita yang dapat Ananda rekam dari kejadian seperempat abad yang lalu. Bunda masih ingatkah?. Pasti Bunda lebih ingat dari Ananda.

Buat Kakanda: Pohon Rindang dan Sungai Kecil Tempat Kita Bermain
Kakanda semua, Dinda mau cerita tentang masa kecil kita di desa. Dinda mulai dari kisah sungai kecil ya?. Kanda, kala Dinda menginjak waktu sekolah Kanda sering membawa Dinda ke sungai kecil di pinggir desa. Tempat kita berenang dan bersiram dengan airnya yang jernih. Siulan burung dari pohon-pohon di tepi sungai itu mengingatkan Dinda betapa indahnya masa kecil kita. Kadang Kanda, jika kita sudah lelah dan haus habis mandi, kita langsung minum air sungai kecil itu tanpa berpikir panjang. Tapi kenapa ya Kanda, kita nggak sakit ya?. Kadang Kanda, kita ambil juga air dan kita taruh di dalam jerigen untuk air minum di rumah kita.


Sungai itu memang indah, melenggok berliku-berkilau dari hulu sampai ke hilir. Tenang mengalir di sela-sela perdu yang mengakar di pinggirnya. Kalau lagi musim buah dadap kita bisa mendurung udang dan langsung kita makan. Udang-udang itu bersembunyi dibalik akar-akar perdu yang menyebar di pinggir sungai. Kita merasa senang dengan itu semua dan tidak pernah terusik dengan pemilihan umum tahun 80-an itu, kita tidak terusik dengan kenaikan harga BBM yang terus melonjak dan kita tidak terusik siapapun yang jadi presiden, gubernur maupun bupati kita. Sepanjang masih bisa bermain di pinggir sungai kita tidak pernah acuh dengan itu semua.

Kanda, Dinda mau cerita lagi ini tentang pohon-pohon dan pokok buah yang banyak di pinggir desa. Masih ingatkan enaknya berteduh di bawah rerimbun pohon itu. Kita perang-perangan di bawahnya. Kanda ajari Dinda bagaimana cara sembunyi, cara bertiarap jika musuh mau menembak sampai Kanda ajari Dinda bagaimana memanjat pokok kayu itu dengan cepat. Aduh Kanda, jadi teringat semua ini. Masih ingat nggak buah merah kecil sebesar kelereng yang manis yang dapat kita petik seberapapun kita mau. Kadang sampai kita lupa pulang ke rumah untuk makan siang karena sudah kenyang dibuatnya.

Terkadang Kanda, karena asiknya kita tiba di rumah sudah menjelang Magrib. Terkadang Kanda kita-pun dapat vonis dari orangtua, mulai dari cubitan di perut sampai potongan kayu bakar mendarat di betis kita. Memang kita lumayan bandel ya Kanda, sudah kena vonis seperti itu, kita pun masih mengunjungi sungai, perang-perangan di bawah pokok-pokok kayu dan memanjat pohon mangga yang lagi berbuah. Itulah Kanda indahnya alam kita waktu kita masih muda belia sehingga vonis seberat apapun diberi Ayah-Bunda kita tidak akan sanggup untuk menangkal keinginan kita mengunjungi tempat-tempat itu semua.

Bunda Kanda: Mau Kemana Kita Sekarang?

Bunda, Kanda. Ananda/Adinda kini telah sarjana. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam pikiran kita kala belia. Ananda/Adinda sekarang sudah tahu yang namanya kemiskinan, ekonomi, hukum, hak asasi manusia sampai pada politik. Sayangnya Ayahanda tidak sempat melihat keangguanan Ananda/Adinda waktu memakai toga kehormatan saat diwisuda. Kalau ia tahu mungkin jerih payah dan tantangannya mengitari, mendaki dan menuruni bukit di pinggir desa sudah semuanya terobati atas prestasi Ananda/Adinda.

Tapi Bunda/Kanda ternyata capaian Adinda yang sudah begitu besar menurut kita ternyata belum ada gaungnya dibanding dengan saudara-saudara kita yang tinggal di kota atau bahkan di desa tetangga. Ternyata Bunda/Kanda mereka telah jauh melampaui nasib dan kesejahteraan kita. Mereka Bunda/Kanda telah bisa bekerja tanpa cangkul, tanpa pupuk, tanpa pestisida bahkan sekarang Bunda/Kanda mereka bekerja hanya dengan berbekal satu komputer jinjing dan duduk santai di rumah atau di hotel berbintang. Anehnya Bunda/Kanda, mereka tak punya sebidang tanahpun untuk diolah, tak punya rumah tetap untuk dihuni dan tak perlu kerabat untuk minta tolong bekerja. Tapi Bunda/Kanda mereka setiap minggu berlibur di Pulau Penang Malaysia, di Phuket Thailand, di Disneyland Amerika , di Sydned Australia dan kalau terlalu sibuk di akhir pekan mereka masih berkunjung ke Bali. Di kala kita terbata-bata menggunakan Bahasa Indonesia karena dominannya penggunaan bahasa Mandailing mereka justru terbata-bata berbahasa Indonesia karena dominannya menggunakan bahasa Inggiris. Dinda nggak tahu siapa yang paling benar diantara kita dan mereka.

Ada sebagian lagi Bunda mereka mendapatkan miliaran rupiah dalam hitungan jam saja, ada juga yang dapat ratusan juta rupiah hanya dengan mengandalkan tanda-tangan. Kata-kata kemiskinan, keterpurukan dan keterbelakangan sudah jauh mengusik telinga mereka.

Terus Bunda/Kanda bagaimana dong dengan kita?. Apa Bunda/Kanda setuju kalau Dinda bilang kalau kemiskinan, ketertinggalan ketertinggalan masih mengakar dalam kehidupan kita. Kalau Bunda/Kanda setuju mari kita pelan-pelan menghapus tiga kata-kata itu dari kehidupan kita. Kita nggak usah mempermasalahkan bagaimana sebagian dari mereka telah menjarah hutan kita, telah merusak sungai tempat kita bermain, mengambil uang PBB kita secara illegal maupun memperoleh miliaran rupiah dari menjual kondisi kemiskinan kita kepada pemberi dana. Kita maafkan saja mereka itu semua karena bagaimanapun mereka tidak pernah tersentuh oleh hukum. Daripada harus membuang energi menuntut mereka mengembalikan hak kita lebih baik kita mempersiapkan diri membekali anak cucu kita biar mereka dapat sederajat dengan orang-orang kota tadi, dan kita bekali mereka dengan pendidikan agama yang memungkinkan mereka terlepas dari godaan kerakusan dan ketamakan.

Dari mana kita mulai memperbaiki nasib kita dan mereka Bunda/Kanda?. Menurut Dinda marilah kita siapkan bekal pendidikan anak kita sejak dini dan kita tekun serta disiplin dalam bekerja. Marilah kita gerakkan budaya menabung dan bekerja dengan ulet. Bukankah kita punya cita-cita?. Marilah kita tinggalkan budaya menghabiskan waktu yang terlalu banyak di warung kopi dan bercerita panjang lebar yang tidak perlu. Sekalipun kita tidak duduk di bangku sekolah, perlulah kita belajar apa saja sepanjang menambah wawasan dan pengetahuan kita. Buat Kanda semua, Adinda siap berjuang bersama untuk mewujudkan cita-cita kita dan Buat Bunda, berikan kami nasehat dan kasih sayang dalam membimbing anak dan cucu-cucu kami nantinya.

Demikian saja dulu Bunda ya, demikian saja dulu ya Kanda. Adinda masih ada pekerjaan sekarang. Dari ribuan mil laut di Pantai Barat Sumatera Ananda/Adinda panjatkan doa semoga kita sehat selalu dan diberi kemudahan oleh Yang Maha Kuasa.
Mandailing Batang Gadis National Park (TNBG): Protecting Environment or Killing Villager’s Livelihood
Abdul Rozak Tanjung
Center for Strategic Governance and Development Studies.
Introduction

The Government of Mandailing Natal Regency has been campaigning Environment Awareness in its region since 2003 notably by establishing Batang Gadis National Park as well as by legalizing regulation concerning about Environment Awareness And Villagers Engagement in protecting environment. The policies follow the trend of several regencies and province throughout Indonesia. Furthermore, Saparuddin Siregar of Bitra Consortium--a local NGO that has been engagement on several agriculture, social and economic project and programmes in this area, claimed that as many as ten villages had been providing village regulation on environment issues in line with the regency policy (www, detik.com/ accessed on 14th June 2008).

Batang Gadis National Park (TNBG) is a national park lies in Mandailing Regency of North Sumatra Province, Indonesia. The park geographically lies on 99° 12’ 45" East Longitude to 99° 47’ 10" East Longitude and 0° 27’ 15" North Latitude to 1° 01’ 57" North Latitude. Up to 2005 the regency has 68 villages in 13 sub district. The name of the park is derived from a biggest river in this region namely Batang Gadis River. The park covers an area of 108.000 acres or approximately 26% of total area of the regency and lies at 300 to 2.145 meters above sea level. Sorik Marapi is a mountain in this park area which has plenty of flora and faunas.

Through Forestry Minister Regulation No.126/Menhut-II/2004, TNBG is legally stipulated as national park where the impact or budget consequences of the regulation must not only burdened to regency budget but also burdened to national budget. TNBG itself consist of reserved forest, limited productive forest and permanent productive forest. The governments also converted 101.500 Acre of reserved forest consisting of Register 4 Batang Gadis I, Register 5 Batang Gadis II komp I and II, Register 27 Batang Natal I, Register 28 Batang Natal II, Register 29 Bantahan Hulu and Register 30 Batang Parlampungan which have been legalized by The Dutch Government during colonial era in the beginning of 1920’s. However, as large as 5.500 acre of productive forest which was belongs to PT. Gruti and 1.000 Acre of PT. Aek Gadis Timber’s was converted to be reserved forest.

Forest and Villagers’ Blood of Economy

It has been generally known that natural resources mainly forest and fields are the “bloods” of villager’s economy in this area. It has come since they don’t have enough knowledge and capacity in searching other jobs like urban peoples who have plenty choices and preferences of finding jobs. The lack of knowledge or even experience makes them stuck living and keep trying to survive in this rural area. If they had enough education and experience, they would not live in this area but mostly would move to other regencies all over Indonesia.

The villagers mostly cultivate paddy field and kitchen garden and several extractive works ranging from making red sugar from sugar palm, making latex from rubber tree and finding rattan in the jungle. However, these activities have been reducing by time and decreasing the land and jungle potentials by uncontrolled illegal logging mostly undertaken by businessmen in 1990’s up to beginning of 2000’s. The villager’s jungle and forest have already destroyed by the capital owners where the villagers were able to witness the gigantic forest destruction only. These forests destruction contrarily have enriched the businessmen notably outsider and do not have right to own the forest.

What was the impact of forest destruction is not a difficult question to answer. Businessmen, government and villagers had known it but they had different interests when forest destruction through illegal logging happen. Businessmen needed capital accumulation in running their business; the government official took benefit by denying illegal logging and the villages need work and money to feed and clothe their children. It seems to be an imaginary circle beginning with starting point and ending without finishing point. However we obviously know that villagers are the only stakeholder without any choice.

After the forest has been damaged the villages are the only stakeholder having loss where they cannot take wood for building home, they cannot drink fresh water or they cannot catch fish for dinner meal, they cannot have enough paddy harvests to eat, they cannot have latex to sell. Aftermath, they will economically and politically be a vulnerable society. They will try to cheat the land owner when reporting their paddy harvests; they will try to steal their neighbors’ latex when collecting their latex and will easily brave to break the law. When the general elections come, they will sell their ballot for food; they will collect their identity card for taking political party T-shirt and will take away their independence by joining the richest leader candidate.

The businessmen will breed their money from illegal logging by buying assets and running financial game business. They obviously remain able to afford daily meal, to drink fresh water or buying luxuries goods. They will not absolutely influenced by the forest destructions. The government officials will wash their hand from this case. They will open a bulk of laws stipulating their innocents or even blame their leader instruction asking them to do so. Both businessmen and government officials are the winner in this game while the villagers are the looser.

TNBG and Villagers’ Livelihood

Who will be benefited by establishing TNBG National Park is the real question that easy to answer. The government bodies and officials as well as the businessmen are the parties having benefits from establishing the park. The government will be given so many projects and programme both from national government and international agencies. It’s not too difficult for them to just write proposal and asking fund from national and international agencies. Under green revolution and global warning project they can ask billion dollars for having several projects at this devastated area. The businessmen will be a contractor or implementer of the projects particularly in providing some space for ecotourism project.

It’s no wonder since right now the government prepares all regulation required in paving the way to make TNBG. As Saparuddin said above, ten villages have been making village regulations in implementing the regency regulation on the national park. Government elites at village level will be the liaison officers and implementer the regency policy at grass root level. The nothing villagers will be a victim of this policy where they don’t have luck to engage this new game. Their land and field area will be reduced by national park borders. They did not know how to register their land to public notary as well as don’t know how to search and digest land reform concept and theories to be issued in rally and demonstrations. The only things they know are the land owner were their grandfather and the forest belongs to the god. The government official will easily answer their complaints by saying: We just implement the government rules and witness us your land certificate to claim the land. If you prohibit us to put the borders points we can report you to the police.