Sabtu, 18 April 2009

Masihkah Data BPS Valid dan Bisa Dipercaya?
(Kajian Kritis Tentang Sajian Data BPS Madina, 2007)

Abdul Rozak Tanjung

Kecamatan Tambangan dalam Angka 2007“ merupakan publikasi series tahunan yang menyajikan berbagai fakta statistik keadaan tahun 2006. Data statistik yang dihimpun dari berbagai sumber, baik yang dikumpulkan lewat mekanisme sensus, survei, maupun kompromin (kompilasi produk administrasi), meliputi data : geografis, penduduk, sosial, pertanian, Dengan kesyaratan informasi tersebut, para perencana, perumus kebijakan, peneliti, dan akademisi dapat menjadikannya sebagai salah satu sumber penting dalam penyediaan data statistik yang faktual, valid dan terpercaya” (Buku Kecamatan Tambangan Dalam Angka BPS Mandailing Natal: 2007)

Reputasi BPS sebagai ujung Tombang Penyedia Data Publik

Kutipan di atas sungguh ideal dan sempurna. Badan Pusat Statistika (BPS) tampil dengan penuh keyakinan dan menghadirkan data yang valid dan terpercaya yang potensial dijadikan sebagai informasi penting dalam perencanaan dan perumusan kebijakan serta bermanfaat bagi para peneliti dan akademisi juga. BPS memang sampai hari ini menjadi tumpuan pemerintah dalam memperoleh dan menyediakan data apa saja yang berhubungan dengan geografi, pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya. Malah BPS juga secara kontinu melakukan survey ekonomi, pertanian dan juga pendidikan yang dipublikasikan melalui buku atau dalam e-format lainnya seperti VCD. Situs online-nya pun kini telah tersedia walaupun masih lebih banyak kurangnya dari pada yang termutakhir.

Dalam sebuah kesempatan di Balitbang Sumatera Utara tahun 2006, penulis pernah melemparkan pernyataan pedas buat BPS dalam sebuah seminar tentang Evaluasi Pemekaran Wilayah di Sumatera Utara. Penulis masa itu sangat alergi menggunakan data BPS karena diskrepansinya terlalu jauh dari angka-angka yang valid dan penulis sampaikan bahwa penulis tidak percaya dengan data BPS. Ir. Syarifullah Harahap, MSi, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan melerai perdebatan dengan menyatakan bahwa : “sekalipun data BPS banyak kekurangannya, tetapi sampai hari ini data mereka yang dijadikan sebagai rujukan resmi pemerintah. Penulispun akhirnya mengikuti saran kepala tersebut.

Kini, sejumlah issue menjelang dan pasca pemilu 2009, isu tentang validitas data pemilih baik itu berdasarkan jumlah, syarat punya hak sebagai pemilih dan sebaginya kembali mencuat di permukaan. Karena tulisan ini tidak akan difokuskan pada masalah BPS dan Pemilu 2009, penulis menyimpan dulu topik tersebut. Hal yang menarik bagi penulis untuk dicermati saat ini adalah data BPS tentang Kecamatan Tambangan 2007, di mana pada kurun waktu tesebut desa penulis, Sibanggor Julu dan sembilan desa tetangganya yang saat ini telah menjadi kecamatan baru dengan nama Kecamatan Puncak Sorik Marapi. Data BPS 2008 untuk wilayah tersebut belum didapatkan penulis, atau kemungkinan juga belum naik cetak. Oleh karenanya, data 2007 merupakan data yang paling tepat untuk dijadikan penulis sebagai bahan untuk dicermati.

Mengkritisi Sajian Data BPS Mandailing Natal : Kecamatan Tambangan 2007

Kecamatan Tambangan Dalam Angka Tahun 2007, penulis dapatkan melalui internet ini, melalui software pencari data, google. Setelah membaca sajian-sajian data dalam buku tersebut penulis selanjutnya mempertanyakan validitas data yang ditulis dalam buku tersebut. Berikut ini penulis uraikan beberapa kejanggalan dalam laporan itu.


1. Luas Wilayah: Purbajulu Desa Terluas dan Hutatinggi Tersempit
Dalam data laporan di atas penulis tidak habis pikir mengapa Desa Purbajulu dinyatakan sebagai desa terluas di kawasan Sibanggor Tarlola padahal desa itu merupakan yang paling sedikit penduduknya di wilayah ini. Kalau luas yang dimaksud dalam laporan itu termasuk wilayah sawah dan perkebunan, seharusnya Sibanggor Jae akan lebih luas. Hutatinggi dinyatakan sebagai desa paling sempit wilayahnya walaupun menurut asumsi penulis baik luas wilayah pemukiman maupun wilayah sawah dan perkebunan harusnya desa inilah yang paling luas, bukan Purba Julu sebagaimana pada laporan tersebut.

2. Sarana Pendidikan: SLTP di Hutalombang Tidak Ada, SLTP di Sibanggor Jae Ada
Dalam laporan tersebut tertulis bahwa SLTP terdapat di desa Sibanggor Jae dan Hutanamale. Sepanjang pengetahuan penulis SLTP harusnya ada di Hutalombang, Sibanggor Julu dan Kampung Lama (ini merupakan melting pot, yang terkadang dibuat menjadi desa Hutanamale). Anehnya lagi bahwa SLTP yang negeri tidak ada di wilayah ini, padahal SLTP di Hutalombang dari awal tahun 1990-an sudah sedianya jadi SLTP negeri.

Berdasarkan laporan data itu juga, SD Inpres tidak ada di wilayah ini sekalipun kolom dalam format laporan tersedia. Sepanjang pengetahuan penulis, SD Sibanggor Tonga, SD Hutatinggi, SD Hutalombang dan SD Hutabaringin adalah SD Inpres.

3. Kesehatan: Pustu ada di Sibanggor Tonga, 97% anak bergizi baik.

Dalam laporan yang dimaksud di atas, dinyatakan bahwa terdapat Puskesmas Pembantu (Pustu) di Sibanggor Tonga, padahal sepengetahuan penulis yang ada justru Polindes seperti layaknya desa-desa yang lain.

Tentang anak kurang gizi dinyatakan bahwa 3% dari 1858 anak adalah mengalami gizi buruk sementara 97% lainnya mendapatkan gizi yang baik. Standar gizi yang baik seperti apa yang dimaksudkan oleh BPS, penulis juga tidak tahu, namun penulis dapat merasakan bahwa tetangga saya di rumah mayoritas tidak mendapatkan gizi yang cukup sebagaimana penulis ketahui waktu belajar di SD yaitu empat sehat lima sempurna.

4. Sarana Ibadah: Mesjid di Handel dan Hutabaringin Julu tidak Ada

Penulis menyoroti jumlah mesjid maupun langgar sebagaimana ditampilkan dari data di atas. Dalam laporannya disebutkan bahwa di Desa Handel dan Hutabaringin Julu tidak ada Mesjid. Saya selama dua tahun terakhir masih mengunjungi dua desa dimaksud dan mesjid terdapat di dua desa itu. Masalah langgar, penulis tidak berkomentar karena indikator langgar itu juga belum penulis ketahui defenisi pastinya.

5. Sektor Ekonomi : Kambing di Hutabaringin Maga Cuma 15 Ekor, Itik di Sibanggor Julu hanya 60 ekor.

Kambing merupakan sumber produk ternak utama di daerah ini. Namun angka yang menurut hemat penulis mencengangkan adalah bahwa di Desa Hutabaringin Maga hanya terdapat 15 ekor kambing. Penulis memang tidak mengetahui angka pastinya seperti apa, namun menurut hemat penulis, angka itu terlalu kecil. Penulis tidak tahu apakah jumlah itu merupakan jumlah kambing yang berkeliaran di desa pada saat sang mantra statistik mencacah data.

Kalau halnya dengan jumlah itik penulis menyangsikan validitas data tersebut. Yang pasti adalah di rumah orang tua penulis jumlah itik tidak kurang dari 20 ekor dan penulis yakin bukan hanya 3 rumah saia yang memiliki itik di Sibanggor Julu.

6. Demografi: Hutanamale Berpenduduk Palin g Padat

Hal lain yang menurut hemat penulis aneh adalah jumlah Rumah Tangga dan KK di setiap desa yang selanjutnya akan berdampak pada jumlah penduduk. Pada laporan itu dituliskan bahwa Hutanamale merupakan desa yang paling banyak RT-nya. Menurut hemat penulis data yang valid adalah bahwa Desa Hutatinggi yang paling banyak RT/KK-nya. Penulis tidak tahu apakah Desa Handel dan Hutabaru dimaksukkan sebagai bagian dari Desa Hutanamale dan kalau itu yang terjadi harus dicantumkan dalam laporan itu karena secara juridis kedua desa itu sudah defenitif sebelum tahun 2007.

Excuse Pegawai BPS atas Invaliditas Data

Mengapa tampilan data BPS seperti di atas masih muncul hingga kini?. Ada beberapa alasan (exuse) pegawai pencacah data untuk itu. Biasanya alasan ini juga yang menyebabkan mereka tidak merasa bersalah telah membohongi publik.

Keterbatasan Dana: Untuk melakukan pencacahan data yang valid, akurat dan terpercaya membutuhkan dana yang besar. Namun menurut hemat penulis alasan ini merupakan alasan klasik yang tidak perlu dikembangkan lagi. Bekerja sebagai mantra statistik tentunya punya gaji. Gaji itulah yang mengharuskan mereka untuk bekerja berdasarkan tufoksinya.

Gaji yang sedikit: Mantri statistik terkadang malas ke lapangan untuk mencacah data karena barangkali uang transportasi, SPPD tidak ada. Namun menerut hemat penulis gaji kecil tidak boleh menjadi alasan karena faktanya gaji mantri statistik pasti di atas UMR dan juga pendapatan rata-rata petani desa. Penulis yakin, jika BPS menenderkan proyek itu kepada mahasiswa gaji PNS bulanan tersebut melebihi cukup bagi mereka untuk melakukan penelitian seperti laporan statistik di atas.

Kemampuan akademis yang minim: Banyak mantra statistik yang menyatakan bahwa mereka tidak memahami metode penelitian karena kurang pembekalan dan capacity building. Alasan ini juga bagi penulis tidak dapat diterima karena dengan mempelajari buku metode survey seharga Ro. 50.000 mereka akan dapat memahami penelitian itu.

Mungkinkah data tahun 2008 yang akan segera keluar akan lebih baik?.Penulis mengharapkan seperti itu. Penulis sudah siap-siap menanti data tahun 2008 untuk memuji dan atau mengkritisi kembali BPS.