Kamis, 02 April 2009

Sepucuk Surat Buat Bunda dan Kandaku Semua

Abdul Rozak Tanjung


Apa kabar Bunda? Apa kabar juga Saudara?. Dari kawasan nun jauh di tengah Samudera Indonesia, dari kawasan Pulau terluar Indonesia di wilayah Barat, ribuan mil dari tempatmu berada Ananda dan Adindamu mau berbagi dan temu kangen lewat dunia maya ini.


Buat Bunda: Kala Aku Kecil Bunda, Aku Teringat Almarhum Ayah

Kala azan Subuh berkumandang, kala sang muazzin mendengungkan suara merdunya mengabarkan kepada semua muslim-muslimah kalau kewajiban pagi mereka telah tiba, sejenak setelah kokok ayam jantan membangunkanmu dari tidurmu yang lelap, Bunda ambil air sholat nan dingin dan suci, membasuh mukamu yang lembut tanpa noda. Bunda bacakan ayat-ayat suci dalam sholat Bunda dan Bunda doakan keselamatan Ayahanda dan Ananda dalam doa penutup sholat Bunda. Jerit tangisku menjelang pagi itu, menjadi pekikan semangat bagimu untuk membesarkanku, Bunda membuai Ananda dengan tangan Bunda yang lembut dan tulus. Ananda temani Bunda di pagi itu menanak nasi, mengasap ikan asin dan menggiling cabai merah buat bekal Ayahanda menuju puncak bukit yang penuh harapan dan tantangan.

Pagi itu Bunda relakan Ayahanda mendaki bukit yang terjal dan berbatu menggapai asa meraih masa depan yang lebih gemilang dan mengangkat harkat, martabat dan taraf hidup keluarga dari lembah kemiskinan. Bunda lepaskan pagi itu Ayahanda dengan penuh cinta dan ketulusan. Bunda relakan beliau mengitari bukit berbahaya dan penuh tantangan itu demi mendapatkan bekal untuk kita tanak besok pagi. Bunda lepaskan ia berjuang demi kita semua.

Bunda, aku teringat ketika Bunda siapkan nasinya dalam bungkusan daun pisang yang Bunda ambil sendiri pagi itu di samping rumah mungil kita, Bunda siapkan pakaian lusuhnya yang akan ia kenakan mendaki bukit nan terjal itu dan Bunda masukkan plastik tipis buat payung kalau hujan menimpanya dalam perjalanan menuju dan pulang dari bukit itu. Waktu melepaskan kepergian Ayahanda ke bukit terjal itu, Ananda lihat mata Bunda berkaca-kaca sembari Bunda peluk dan cium Ananda melampiaskan kesedihan dan kegetiran hidup yang Bunda dan Ayahanda hadapi. Belum jelas terlihat jalan menuju bukit itu, Ayahanda telah melangkahkan kakinya dengan segunung harapan. Bunda pandangi ia sampai jejak dan badannya menghilang ditelan gelapnya pagi itu.

Selepas kepergian Ayahanda, Bunda mandikan Ananda dengan air hujan yang Bunda tampung dalam tempayan malam harinya. Jeritan tangis Ananda membuat Bunda menyanyikan lagu terindah yang Ananda pernah dengar. Bunda bisikkan syair-syair lembut ke telinga Ananda yang sontak membuat Ananda tersenyum dan tertawa. Bunda keringkan badan mungil Ananda dengan handuk Bunda. Pagi itu juga, Bunda suapi Ananda dengan nasi putih yang Bunda tanak sendiri pagi itu, Bunda bubuhi ia dengan garam untuk memberi dan penambah selera bagi Ananda.

Mentari pagi telah menampakkan sinarnya, Bunda-pun bergegas menuju sawah kita di ujung desa. Bunda ambil kerudung Bunda, Bunda bungkuskan nasi buat makan siang kita di tengah ladanga, Bunda ambil selendang dan menggendongku sepanjang jalan menuju ladang kita yang luasnya kurang dari sepelemparan batu itu. Tiba di ladang Bunda ikatkan selendang itu ke tiang pondok di tengah sawah. Bunda buai Ananda sampai Ananda benar-benar tertidur lelap. Bunda-pun mulai bekerja, mengais rumput yang bertebaran di samping padi, mengangkat kiambang yang bertebaran di tengah petak sawah. Kala azan Shuhur bergema dari desa, Bundapun menuju pondok karena Ananda juga sudah menangis memekikkan telinga saudara-saudara kita yang bekerja di ladang-ladang mereka.

Menjelang azan Magrib, Bundapun bergegas menuju desa, menggendongku sepanjang pematang sawah menuju desa. Sampai di Desa Bunda tanakkan nasi buat kita sembari menunggu Ayahanda menuruni bukit terjal itu. Sambil menanak nasi, Bunda mendongengkanku, bercerita tentang kancil yang cerdik sampai cerita tentang sang Nabi yang tangguh di medan perang. Terkadang Ananda tertawa mendengarnya dan terkadang Ananda menangis mendengarnya. Azan Magrib telah berkumandang dan Ayahanda belum juga pulang. Ananda lihat terkadang Bunda mengangkat tangan memanjatkan doa sambil menangis dari sajadah Bunda. Ananda tidak tahu apakah Bunda was-was dengan Ayahanda. Apalagi teman-teman Ayahanda sering kesasar di tengah hutan dan bahkan disergap binatang buas. Bunda hanya bilang kalau Ayahanda sebentar lagi akan sampai di rumah jika Ananda terus-terus bertanya pada Bunda.

Menjelang azan Isya, Ayahanda tiba di rumah. Bunda siapkan makanan malamnya sambil menemani dan menuangkan air minumnya. Selepas makan, Ayahanda ambil sebatang rokok kreteknya sambil mengepulkan asapnya ke atas, tampak terlihat wajah kusamnya dan memikirkan sesuatu. Bunda lebih banyak diam daripada bertanya apa yang terjadi. Ayahanda memulai ceritanya.

“Jauh betul perjalanan kami tadi ke arah hulu bukit, sudah jarang rotan di sekitar itu karena desa sebelah telah juga ke sana seminggu terakhir ini. Kami hanya dapat masing-masing sekitar sepuluh kilo, besok kami agak jauh lagi biar lebih banyak rotannya”.

Ananda tidak tahu apa makna sepuluh kilo itu bagi keluarga, tapi yang jelas mimik muka Ayahanda kurang senang mengungkapkannya. Tapi tiba-tiba Ayahanda mengambil beberapa buah merah yang didapatnya dari hutan. Disodorkannya dua-tiga biji ke tangan Ananda, Ananda-pun sudah senang tanpa banyak berpikir apakah sepuluh kilo itu sudah cukup menyenangkan Ayahanda. Ananda hanya tahu kalau Ayahanda tersenyum memberikan buah itu pada Ananda. Tapi, tiba-tiba Bunda berujar kepada Ayahanda: “Iya…..bersabarlah Ayah..baru itulah rezekinya, kita kan hanya berusaha…Bunda masih simpan uang hasil yang kemarin. Masih bisa buat beli minyak tanah dan dua-tiga biji kelapa buat besok pagi.

Begitulah Bunda cerita yang dapat Ananda rekam dari kejadian seperempat abad yang lalu. Bunda masih ingatkah?. Pasti Bunda lebih ingat dari Ananda.

Buat Kakanda: Pohon Rindang dan Sungai Kecil Tempat Kita Bermain
Kakanda semua, Dinda mau cerita tentang masa kecil kita di desa. Dinda mulai dari kisah sungai kecil ya?. Kanda, kala Dinda menginjak waktu sekolah Kanda sering membawa Dinda ke sungai kecil di pinggir desa. Tempat kita berenang dan bersiram dengan airnya yang jernih. Siulan burung dari pohon-pohon di tepi sungai itu mengingatkan Dinda betapa indahnya masa kecil kita. Kadang Kanda, jika kita sudah lelah dan haus habis mandi, kita langsung minum air sungai kecil itu tanpa berpikir panjang. Tapi kenapa ya Kanda, kita nggak sakit ya?. Kadang Kanda, kita ambil juga air dan kita taruh di dalam jerigen untuk air minum di rumah kita.


Sungai itu memang indah, melenggok berliku-berkilau dari hulu sampai ke hilir. Tenang mengalir di sela-sela perdu yang mengakar di pinggirnya. Kalau lagi musim buah dadap kita bisa mendurung udang dan langsung kita makan. Udang-udang itu bersembunyi dibalik akar-akar perdu yang menyebar di pinggir sungai. Kita merasa senang dengan itu semua dan tidak pernah terusik dengan pemilihan umum tahun 80-an itu, kita tidak terusik dengan kenaikan harga BBM yang terus melonjak dan kita tidak terusik siapapun yang jadi presiden, gubernur maupun bupati kita. Sepanjang masih bisa bermain di pinggir sungai kita tidak pernah acuh dengan itu semua.

Kanda, Dinda mau cerita lagi ini tentang pohon-pohon dan pokok buah yang banyak di pinggir desa. Masih ingatkan enaknya berteduh di bawah rerimbun pohon itu. Kita perang-perangan di bawahnya. Kanda ajari Dinda bagaimana cara sembunyi, cara bertiarap jika musuh mau menembak sampai Kanda ajari Dinda bagaimana memanjat pokok kayu itu dengan cepat. Aduh Kanda, jadi teringat semua ini. Masih ingat nggak buah merah kecil sebesar kelereng yang manis yang dapat kita petik seberapapun kita mau. Kadang sampai kita lupa pulang ke rumah untuk makan siang karena sudah kenyang dibuatnya.

Terkadang Kanda, karena asiknya kita tiba di rumah sudah menjelang Magrib. Terkadang Kanda kita-pun dapat vonis dari orangtua, mulai dari cubitan di perut sampai potongan kayu bakar mendarat di betis kita. Memang kita lumayan bandel ya Kanda, sudah kena vonis seperti itu, kita pun masih mengunjungi sungai, perang-perangan di bawah pokok-pokok kayu dan memanjat pohon mangga yang lagi berbuah. Itulah Kanda indahnya alam kita waktu kita masih muda belia sehingga vonis seberat apapun diberi Ayah-Bunda kita tidak akan sanggup untuk menangkal keinginan kita mengunjungi tempat-tempat itu semua.

Bunda Kanda: Mau Kemana Kita Sekarang?

Bunda, Kanda. Ananda/Adinda kini telah sarjana. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam pikiran kita kala belia. Ananda/Adinda sekarang sudah tahu yang namanya kemiskinan, ekonomi, hukum, hak asasi manusia sampai pada politik. Sayangnya Ayahanda tidak sempat melihat keangguanan Ananda/Adinda waktu memakai toga kehormatan saat diwisuda. Kalau ia tahu mungkin jerih payah dan tantangannya mengitari, mendaki dan menuruni bukit di pinggir desa sudah semuanya terobati atas prestasi Ananda/Adinda.

Tapi Bunda/Kanda ternyata capaian Adinda yang sudah begitu besar menurut kita ternyata belum ada gaungnya dibanding dengan saudara-saudara kita yang tinggal di kota atau bahkan di desa tetangga. Ternyata Bunda/Kanda mereka telah jauh melampaui nasib dan kesejahteraan kita. Mereka Bunda/Kanda telah bisa bekerja tanpa cangkul, tanpa pupuk, tanpa pestisida bahkan sekarang Bunda/Kanda mereka bekerja hanya dengan berbekal satu komputer jinjing dan duduk santai di rumah atau di hotel berbintang. Anehnya Bunda/Kanda, mereka tak punya sebidang tanahpun untuk diolah, tak punya rumah tetap untuk dihuni dan tak perlu kerabat untuk minta tolong bekerja. Tapi Bunda/Kanda mereka setiap minggu berlibur di Pulau Penang Malaysia, di Phuket Thailand, di Disneyland Amerika , di Sydned Australia dan kalau terlalu sibuk di akhir pekan mereka masih berkunjung ke Bali. Di kala kita terbata-bata menggunakan Bahasa Indonesia karena dominannya penggunaan bahasa Mandailing mereka justru terbata-bata berbahasa Indonesia karena dominannya menggunakan bahasa Inggiris. Dinda nggak tahu siapa yang paling benar diantara kita dan mereka.

Ada sebagian lagi Bunda mereka mendapatkan miliaran rupiah dalam hitungan jam saja, ada juga yang dapat ratusan juta rupiah hanya dengan mengandalkan tanda-tangan. Kata-kata kemiskinan, keterpurukan dan keterbelakangan sudah jauh mengusik telinga mereka.

Terus Bunda/Kanda bagaimana dong dengan kita?. Apa Bunda/Kanda setuju kalau Dinda bilang kalau kemiskinan, ketertinggalan ketertinggalan masih mengakar dalam kehidupan kita. Kalau Bunda/Kanda setuju mari kita pelan-pelan menghapus tiga kata-kata itu dari kehidupan kita. Kita nggak usah mempermasalahkan bagaimana sebagian dari mereka telah menjarah hutan kita, telah merusak sungai tempat kita bermain, mengambil uang PBB kita secara illegal maupun memperoleh miliaran rupiah dari menjual kondisi kemiskinan kita kepada pemberi dana. Kita maafkan saja mereka itu semua karena bagaimanapun mereka tidak pernah tersentuh oleh hukum. Daripada harus membuang energi menuntut mereka mengembalikan hak kita lebih baik kita mempersiapkan diri membekali anak cucu kita biar mereka dapat sederajat dengan orang-orang kota tadi, dan kita bekali mereka dengan pendidikan agama yang memungkinkan mereka terlepas dari godaan kerakusan dan ketamakan.

Dari mana kita mulai memperbaiki nasib kita dan mereka Bunda/Kanda?. Menurut Dinda marilah kita siapkan bekal pendidikan anak kita sejak dini dan kita tekun serta disiplin dalam bekerja. Marilah kita gerakkan budaya menabung dan bekerja dengan ulet. Bukankah kita punya cita-cita?. Marilah kita tinggalkan budaya menghabiskan waktu yang terlalu banyak di warung kopi dan bercerita panjang lebar yang tidak perlu. Sekalipun kita tidak duduk di bangku sekolah, perlulah kita belajar apa saja sepanjang menambah wawasan dan pengetahuan kita. Buat Kanda semua, Adinda siap berjuang bersama untuk mewujudkan cita-cita kita dan Buat Bunda, berikan kami nasehat dan kasih sayang dalam membimbing anak dan cucu-cucu kami nantinya.

Demikian saja dulu Bunda ya, demikian saja dulu ya Kanda. Adinda masih ada pekerjaan sekarang. Dari ribuan mil laut di Pantai Barat Sumatera Ananda/Adinda panjatkan doa semoga kita sehat selalu dan diberi kemudahan oleh Yang Maha Kuasa.