Selasa, 10 November 2009
Abdul Rozak Tanjung
Siala Sampagul Agricultural Group
Arabic has been a main language yet has not been medium of instruction within a lot of Islamic Schools in Mandailing Natal,--a regency in North Sumatra Province, Indonesia which is the region always associated and called as little Mecca. All literatures as well as its scripts are in Arabic, except for some subjects at the first year where were written in Malay Arabic meaning that the scripts is Arabic and the sentences is in Malay. It is quite interesting that there are plenty Islamic scholars within the region who master Arabic grammatically much better than Arabian themselves.
Mustafawiyah Islamic school has been the main school and educational institution within the region for about one hundred years. Most of local folks in the very beginning spent their time to take up Islamic courses in the school and this situation is kept maintained nowadays. It is quite common that most of Islamic clerics in villages within the region graduated from the school and they are always the Islamic law counselors in their own village. Since most of their theoretical books written and passed in Arabic, They are master the language grammatically and are able to translate word-by-word of Koran as the holy book and main reference for Islamic law.
Does the use of Arabic within Islamic schools in Mandailing Natal work effectively? It is an interesting question to be answered. It is for some extends very effective where they can catch up all subjects in its original language. However, the failure of placing Arabic as the medium of instruction made them impossible to be part of such bigger seminaries conducted overseas. As I said earlier, they obviously master Arabic grammatically but being a speaker in a seminar overseas particularly in Arabic speaking countries requires them to master Arabic conversation.
What is else the missing opportunity of them by this situation?. It is like most of Indonesians knowing English grammatically yet failure to communicate with the language. The most important part which is missing is their chance to start making and building networks which enable them to join into bigger international communities. They will not be part of international seminars conducted in Arabic though they must be able to be speakers or at least be participants.
To prepare the school's disciples to be able to be part of such academic and counseling forums in the future, the school management along with the government permission must start placing Arabic as medium of instruction in the school though must be firstly implemented in the second or third year of their course in the school. This is the idea of this article writer to make much profits can be gained by the school disciples in the future.
Senin, 09 November 2009
Sekelumit Pesan Buat Pemilih Bupati Madina Periode 2010-2015
Abdul Rozak Tanjung
(Anggota Kelompok Tani Siala Sampagul)
Pesta demokrasi; mulai dari pemilihan Legislatif, Bupati, Gubernur sampai Presiden, bukan menjadi hal baru bagi warga Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Malah mereka sudah terbiasa dengan aturan teknis pencoblosan dan penconterengan nama atau gambar pilihan mereka pada setiap pelaksanaan pemilihan. Tambahan lagi, tidak sedikit diantara mereka yang telah sekian lama menjadi pengurus partai politik atau organisasi underbow calon yang mereka usung buat suatu pemilihan.
Apa sebenarnya dampak positif dari realitas itu semua?. Hal yang pertama dan utama adalah bahwa mereka telah melek (minded) dengan semua jenis pemilihan umum dan telah biasa membaca permainan politik menjelang pemilihan. Hal yang kedua adalah, bahwa mereka saat ini sudah menjadi subjek penentu dalam setiap pemilihan dan bukan semata menjadi objek lagi seperti pemilihan umum yang dilangsungkan semasa pemerintahan Orde Baru. Hal yang ketiga adalah, bahwa mereka telah memiliki posisi tawar yang cukup penting untuk dipertimbangkan para calon yang ingin bertanding dalam kontes politik tersebut.
Menjelang pemilihan Bupati (Pilkada) kali ini (2010), situasi politik dan proses awal (preliminary process) menjelang pesta demokrasi di tingkat kabupaten ini tidak jauh berbeda dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya. Sejumlah bakal calon (balon) telah mulai tebar pesona dan distribusi pamphlet yang nadanya “saya merupakan orang yang tepat menjadi Bupati Madina periode berikutnya”. Sekalipun kampanye formal dan penetapan para calon belum diumumkan oleh institusi pelaksana pemilu (KPU), tidak sedikit tim sukses di tingkat desa telah terbentuk sekalipun secara formal belum juga mendapatkan keputusan resmi dari calon yang akan diusung.
Madina saat ini masih merupakan kabupaten terbelakang dalam pengembangan sumber daya manusia diantara kabupaten lain di Propinsi Sumatera Utara. Beberapa indikator atau benchmarking bisa kita tentukan untuk menilainya. Salah satunya adalah tingkat partisipasi warga yang terlembaga dalam mengawal proses-proses pemerintahan. Kita bisa menyaksikan bagaimana minimnya kehadiran Civil Society Institution (CSI) yang berperan menjadi organisasi pengontrol efektif bagi pengembangan daerah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kapasitas sumberdaya manusia masih relative rendah. Hampir semua CSI efektif di kabupaten ini merupakan institusi sub ordinate dari level yang lebih tinggi. Ini membuktikan juga bahwa daerah masih gagal untuk memberdayakan warganya untuk membentuk sendiri lembaga CSI yang dapat membangun kabupaten bersama pemerintahnya. Kita barangkali pernah mendengar adanya The Madina Center, namun penulis belum melihat bukti kinerja real dari lembaga ini. Malah website lembaga sebesar itupun belum berhasil penulis temukan dalam situs pencari dalam internet.
Tentunya beberapa poin tersebut hanya merupakan issu utama yang dapat penulis gambarkan melalui artikel singkat ini. Perlu melakukan kajian yang lebih dalam untuk mengevalusi pengembangan kabupaten dalam sepuluh tahun terakhir dan menyajikannya lebih detail, transparent dan ilmiah. Disamping itu, para akademisi, peneliti dan stakeholders yang peduli dengan pengembangan daerah ini.
Untuk merealisasikan ini semua, harapan penulis tentunya bagaimana para pemilih ini lebih mengedepankan hati nurani dalam Pilkada kali ini dan bukan mengedepankan rasionalitas dan pragmnatis politik semata. Membentuk pemerintahan yang kuat, bermartabat dan stabil diperlukan adanya sinergitas antara komponen civil society dimana masing-masing pihak berada pada level kapasitas yang sama. Pilihan anda tentunya menentukan masa depan kabupaten dan menentukan apakah jargon ideal “Madina yang Madani” akan dapat tercapai, bukan menjadikan kabupaten ini menjadi “Madina yang Jahili”.
Madina’s Election Countdown: Who Should Be the Next Leader?
Siala Sampagul Agricultural Group
Mandailing Natal (Madina) Regent Election Day will be held soon next year. The election will mark the end of the current regent’s mission who has been in power since the establishment of the region in 1998. He will not be legally allowed to go to the contest anymore since the latest regulation on local election stipulated that regent, governor and major must not continue their term when they have been in power for maximally two consecutive terms. The term itself is counted by the frequency of the election they have passed in at the same governmental level.
The legal regulation of establishing the district was the Law No 5 1974 and Law No 18 1998 and its commemoration was held in Panyabungan in 1998. Amru H Daulay was the first regent of the district when he assigned by former governor of the province in 1998 where he was serving as governor assistant for North Sumatra Province at Governance Area 1. The new region was solely ruled by him at the very beginning since ever he remains stand for a regent up to right now. There were obviously several regent elections occurred in the district within the last ten years. However, his political supporters and political machines always work properly so that he has been serving as the region within the last ten years as well. The main benefit of his standing in the region is the fact that the region has been staying in calm without any potential and crucial conflicts visible spreading to the public and national communities.
Madina was obviously among the first new districts within the North Sumatera Province within last ten years. The main reason of forming the area as the new district were the fact that its original district were quite big in geographical size compared to the rest districts within the province, its regional economic statistics which was sensible to be separated from its original region as well as the demands of its society and social elements to manage the region independently.
I left the region since the year of 1999; a year after the district was formally established. Some improvements have been made up particularly in the field of infrastructure development. I still remember that I couldn’t get my own village straight from the district’s capital city around the year at the time and there were no any luxurious governmental offices by the river in Panyabungan, the capital city of the district. Everything nowadays are getting much better where for instance we can easily reach governmental offices, public places as well as entertainment facilities. I must say that these kinds of stuff are the main things have been made by the regent through his efforts and his main counterpart in the legislative.
What has not been done by the regent? It is another question to be carefully answered. I am, firstly, interested in paying attention to educational sector development in which I used to focus my view in the region. I am amused that Madinians are rarely studying in the famous and prestigious universities within the country. There are actually some Madinians studying at such universities, yet to be honest, they graduated their high school education beyond the region. It is quite interesting to see also that most of Madinians studying at such universities hold a “special tickets” to enter into. I must say that this condition is actually the total failure of the regent to develop education, providing qualified schools and human resources within the region.
Education and human resources development is something must be set up by the next regent of the district immediately once he held the power. Providing new offices and education infrastructures are not enough to improve the education and human resources within the region. There must be appropriate and comprehensive steps to be taken by the new regent. Again, the regent itself must have academic honesty to start developing both sectors within the region. Is the regent must be coming from academic institution? It is not a guarantee in sense there are plenty teachers and university lecturers do not have academic honesty and they are not a techie, as the main requirement for being a future leaders.
I don’t have idea about the capacity of regent candidates spreading their vision and mission throughout the region last holiday in September 2009. But it is very important to probe them about their vision on both sectors if they win the election or hold the power. Madina have been left behind other districts within the province since the last ten years. It is a necessary that Madinian should re-think about the power succession within the region as well as the need of their engagement to be part of the region educational and human resources advocacy.
What should be done by the voters for coming election, particularly to select the new leaders who are able to help bring Madina to be a better region? There are some efforts need to be undertaken by insider and outsider who pay much their attention to the region. First of all, the first one must be conducted by academicians to start spreading their idea to the voters. The second one must be done by civil society organizations where they can do some political awareness campaign to their community. The third one must be done by political parties where they can use their political function and influence to born a best Madina Regent.
Senin, 17 Agustus 2009
Banua Bank: Looking For Space to Establish Microfinance Institution
Abdul Rozak Tanjung
The “on dream bank” will be situated in the traditional market compound in Kampung Lamo Village where the place is the melting pot of local traders and business man to do selling-buying transaction and one of educational sites within the region. Since the traditional market is just opened weekly, it is possible to the bank management opening saving and loans transaction without totally denying their main works as farmers.
Sabtu, 18 April 2009
Abdul Rozak Tanjung
Reputasi BPS sebagai ujung Tombang Penyedia Data Publik
Kutipan di atas sungguh ideal dan sempurna. Badan Pusat Statistika (BPS) tampil dengan penuh keyakinan dan menghadirkan data yang valid dan terpercaya yang potensial dijadikan sebagai informasi penting dalam perencanaan dan perumusan kebijakan serta bermanfaat bagi para peneliti dan akademisi juga. BPS memang sampai hari ini menjadi tumpuan pemerintah dalam memperoleh dan menyediakan data apa saja yang berhubungan dengan geografi, pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya. Malah BPS juga secara kontinu melakukan survey ekonomi, pertanian dan juga pendidikan yang dipublikasikan melalui buku atau dalam e-format lainnya seperti VCD. Situs online-nya pun kini telah tersedia walaupun masih lebih banyak kurangnya dari pada yang termutakhir.
Mengkritisi Sajian Data BPS Mandailing Natal : Kecamatan Tambangan 2007
Kecamatan Tambangan Dalam Angka Tahun 2007, penulis dapatkan melalui internet ini, melalui software pencari data, google. Setelah membaca sajian-sajian data dalam buku tersebut penulis selanjutnya mempertanyakan validitas data yang ditulis dalam buku tersebut. Berikut ini penulis uraikan beberapa kejanggalan dalam laporan itu.
2. Sarana Pendidikan: SLTP di Hutalombang Tidak Ada, SLTP di Sibanggor Jae Ada
Dalam laporan tersebut tertulis bahwa SLTP terdapat di desa Sibanggor Jae dan Hutanamale. Sepanjang pengetahuan penulis SLTP harusnya ada di Hutalombang, Sibanggor Julu dan Kampung Lama (ini merupakan melting pot, yang terkadang dibuat menjadi desa Hutanamale). Anehnya lagi bahwa SLTP yang negeri tidak ada di wilayah ini, padahal SLTP di Hutalombang dari awal tahun 1990-an sudah sedianya jadi SLTP negeri.
Berdasarkan laporan data itu juga, SD Inpres tidak ada di wilayah ini sekalipun kolom dalam format laporan tersedia. Sepanjang pengetahuan penulis, SD Sibanggor Tonga, SD Hutatinggi, SD Hutalombang dan SD Hutabaringin adalah SD Inpres.
3. Kesehatan: Pustu ada di Sibanggor Tonga, 97% anak bergizi baik.
Dalam laporan yang dimaksud di atas, dinyatakan bahwa terdapat Puskesmas Pembantu (Pustu) di Sibanggor Tonga, padahal sepengetahuan penulis yang ada justru Polindes seperti layaknya desa-desa yang lain.
Tentang anak kurang gizi dinyatakan bahwa 3% dari 1858 anak adalah mengalami gizi buruk sementara 97% lainnya mendapatkan gizi yang baik. Standar gizi yang baik seperti apa yang dimaksudkan oleh BPS, penulis juga tidak tahu, namun penulis dapat merasakan bahwa tetangga saya di rumah mayoritas tidak mendapatkan gizi yang cukup sebagaimana penulis ketahui waktu belajar di SD yaitu empat sehat lima sempurna.
4. Sarana Ibadah: Mesjid di Handel dan Hutabaringin Julu tidak Ada
Penulis menyoroti jumlah mesjid maupun langgar sebagaimana ditampilkan dari data di atas. Dalam laporannya disebutkan bahwa di Desa Handel dan Hutabaringin Julu tidak ada Mesjid. Saya selama dua tahun terakhir masih mengunjungi dua desa dimaksud dan mesjid terdapat di dua desa itu. Masalah langgar, penulis tidak berkomentar karena indikator langgar itu juga belum penulis ketahui defenisi pastinya.
5. Sektor Ekonomi : Kambing di Hutabaringin Maga Cuma 15 Ekor, Itik di Sibanggor Julu hanya 60 ekor.
Kambing merupakan sumber produk ternak utama di daerah ini. Namun angka yang menurut hemat penulis mencengangkan adalah bahwa di Desa Hutabaringin Maga hanya terdapat 15 ekor kambing. Penulis memang tidak mengetahui angka pastinya seperti apa, namun menurut hemat penulis, angka itu terlalu kecil. Penulis tidak tahu apakah jumlah itu merupakan jumlah kambing yang berkeliaran di desa pada saat sang mantra statistik mencacah data.
Kalau halnya dengan jumlah itik penulis menyangsikan validitas data tersebut. Yang pasti adalah di rumah orang tua penulis jumlah itik tidak kurang dari 20 ekor dan penulis yakin bukan hanya 3 rumah saia yang memiliki itik di Sibanggor Julu.
6. Demografi: Hutanamale Berpenduduk Palin g Padat
Hal lain yang menurut hemat penulis aneh adalah jumlah Rumah Tangga dan KK di setiap desa yang selanjutnya akan berdampak pada jumlah penduduk. Pada laporan itu dituliskan bahwa Hutanamale merupakan desa yang paling banyak RT-nya. Menurut hemat penulis data yang valid adalah bahwa Desa Hutatinggi yang paling banyak RT/KK-nya. Penulis tidak tahu apakah Desa Handel dan Hutabaru dimaksukkan sebagai bagian dari Desa Hutanamale dan kalau itu yang terjadi harus dicantumkan dalam laporan itu karena secara juridis kedua desa itu sudah defenitif sebelum tahun 2007.
Excuse Pegawai BPS atas Invaliditas Data
Mengapa tampilan data BPS seperti di atas masih muncul hingga kini?. Ada beberapa alasan (exuse) pegawai pencacah data untuk itu. Biasanya alasan ini juga yang menyebabkan mereka tidak merasa bersalah telah membohongi publik.
Kamis, 02 April 2009
Turning back to most of Indonesian flight companies, MAS services are quite different and much more civilized that Indonesian flight companies. The way the stewards and stewardess serve the passengers is so elegant like I was the nobleman in a royal country or prominent people in the government institution. I was actually nothing comparing to my flight mates coming for countries around the world. However, I learnt that MAS prioritize the services to the passengers regardless of nation, belief, background as well as the occupation of us.
Microfinance (baca: Simpan Pinjam Mikro) semakin mendapatkan tempat utama dalam upaya memberantas kemiskinan dan menciptakan perdamaian yang utuh dan berkesinambungan di Negara-negara dunia ketiga. Tidak mengherankan jika komite juri Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia sepakat untuk memberikan penghargaan prestisius tersebut kepada pendiri, founding father sekaligus fasilitator Grameen Bank, Muhammad Yunus, seorang Bangladesh dan dosen bersahaja di Universitas Chitatong, Bangladesh.
Apa yang menjadi pelajaran dari suksesnya Yunus dan Grameen Bank-nya yang dapat kita jadikan teladan?. Pertama, emberio Grameen Bank yang diawali pada tahun 1974 berasal dari para kaum perempuan miskin, janda, melarat dan papa di desa-desa terpencil di Bangladesh. Alasan utama Yunus menjadikan kaum perempuan sebagai entry point dalam merancang microfinance hanya karena kaum inilah yang selalu terpinggirkan dalam setiap kebijakan sektor sosial, ekonomi dan politik.
Jika dirunut mulai dari kultur dan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang mayoritas tinggal di daerah pedesaan, model microfinance yang paling layak diterapkan adalah model Grameen Bank dengan pengembangan sedikit variasi. Alasan utama pemilihan model ini didasarkan atas adanya keengganan masyarakat untuk berhubungan dengan bank konvensional ntuk menyimpan dan meminjam uang karena tertutupnya komunikasi intens antara warga desa dengan banker-bankir dan pegawai yang ada pada bank-bank konvensional. Akibatnya, tertutup kemungkinan masyarakat desa untuk memperoleh pinjaman potensial dari bank. Alasan lainnya adalah budaya menabung dalam institusi keuangan yang masih langka bagi masyarakat desa. Hal ini terjadi karena tidak adanya kemauan atau komitmen perbankan tradisional untuk menjemput bola ke tengah masyarakat desa untuk menggaet lebih banyak nasabah sehingga phobia untuk menabung atau meminjam di bank tetap ada.
Model Microfinance Pilihan Untuk Masyarakat Mandailing: Membangun Pertanian Berkelanjutan Melalui Institusi Simpan Pinjam
Apa kabar Bunda? Apa kabar juga Saudara?. Dari kawasan nun jauh di tengah Samudera Indonesia, dari kawasan Pulau terluar Indonesia di wilayah Barat, ribuan mil dari tempatmu berada Ananda dan Adindamu mau berbagi dan temu kangen lewat dunia maya ini.
Buat Bunda: Kala Aku Kecil Bunda, Aku Teringat Almarhum Ayah
Sungai itu memang indah, melenggok berliku-berkilau dari hulu sampai ke hilir. Tenang mengalir di sela-sela perdu yang mengakar di pinggirnya. Kalau lagi musim buah dadap kita bisa mendurung udang dan langsung kita makan. Udang-udang itu bersembunyi dibalik akar-akar perdu yang menyebar di pinggir sungai. Kita merasa senang dengan itu semua dan tidak pernah terusik dengan pemilihan umum tahun 80-an itu, kita tidak terusik dengan kenaikan harga BBM yang terus melonjak dan kita tidak terusik siapapun yang jadi presiden, gubernur maupun bupati kita. Sepanjang masih bisa bermain di pinggir sungai kita tidak pernah acuh dengan itu semua.
Center for Strategic Governance and Development Studies.
What was the impact of forest destruction is not a difficult question to answer. Businessmen, government and villagers had known it but they had different interests when forest destruction through illegal logging happen. Businessmen needed capital accumulation in running their business; the government official took benefit by denying illegal logging and the villages need work and money to feed and clothe their children. It seems to be an imaginary circle beginning with starting point and ending without finishing point. However we obviously know that villagers are the only stakeholder without any choice.
After the forest has been damaged the villages are the only stakeholder having loss where they cannot take wood for building home, they cannot drink fresh water or they cannot catch fish for dinner meal, they cannot have enough paddy harvests to eat, they cannot have latex to sell. Aftermath, they will economically and politically be a vulnerable society. They will try to cheat the land owner when reporting their paddy harvests; they will try to steal their neighbors’ latex when collecting their latex and will easily brave to break the law. When the general elections come, they will sell their ballot for food; they will collect their identity card for taking political party T-shirt and will take away their independence by joining the richest leader candidate.
Selasa, 24 Maret 2009
Tarlola Sibanggor dan Warung Kopi
Intermezzo
Sampai penulis menamatkan pendidikan SLTP, penulis hidup dan tinggal dalam cengkeraman budaya keluarga yang traditional paternalistic yang kuat dimana peran Ayah sebagai kepala keluarga dan sebagai fully decision maker pada semua sektor kehidupan. Ayah berperan sebagai kepala perusahaan keluarga (sawah dan kebun) dan sekaligus bertindak sebagai finance coordinator-nya. Aktifitasnya dimulai pasca sholat subuh dan akan berakhir menjelang pukul 11 tengah malam. Sebagai kepala keluarga yang super sibuk itu, kami anak-anaknya bisa saja tidak bertemu satu sampai dua hari walaupun makan pagi dan sore serta tidur di bawah atap rumah yang sama. Apa sebernya aktifitas yang sibuk dari sang “manager” itu sehingga waktunya dengan anak-anakpun hampir tiada?.
Belum terang betul hari itu, beliau berangkat ke perusahaan yang jarak tempuhnya sekitar 45 menit jalan kaki dari desa. Karena sudah sarapan dengan menu parmanen di warungi: kopi kental, setapak ketan dan sepotong pisang goreng, dia tidak sarapan lagi di rumah melainkan hanya membawa menu makan siangnya yang dibungkus dalam tas yang terbuat dari baren/semacam tas pandan yang disiapkan Ibunda.
Di tempat kerja, ia mengerjakan semua sektor dan unit usaha perusahaan tanpa asisten dan buruh. Dia menderes pokok karet dan ia kumpulkan sendiri hasilnya, demikian juga dia akan menyadap aren serta ia tuangkan niranya untuk selanjutnya ia tanak menjadi gula merah. Menjelang sholat Isya ia baru tiba di rumah dimana kami anak-anaknya telah berangkat belajar baca Alquran/mengaji ke rumah Ustads yang lumayan jauh dari rumah.
Pasca makan malam bersama ibunda, ia kembali menjumpai koleganya di forum “terhormat” warung kopi. Dia terkadang menjadi nara sumber walaiupun lebih sering menjadi pendengan dan peserta budiman. Karena waktunya forumnya lumayan panjang, mereka membahas beragam topik, tanpa moderator dan rekomendasi. Forum itu secara informal ditutup pukul 10 malam setelah beberapa kali tambah air putih yang dituangkan ke dalam gelas yang sebelumya telah diisi kopi.
Kepala Rumah Tangga (KRT) memiliki peran paling utama dalam sektor ekonomi keluarga. Hampir mayoritas keluarga yang ada secara ekonomi tergantung kepada KRT yang berarti asap dapur terus mengepul banyak bergantung pada okupasi si KRT.
KRT ini memulai aktifitasnya dengan ibadah sholat subuh yang dilanjutkan dengan sarapan pagi dan persiapan berangkat ke tempat kerja. Sebelum surya menampakkan sinarnya, mereka telah raib dari rumah menuju tempat kerja. Karena aktifitas sholat siang hari dan makan siang sering dilakukan di lingkungan tempat kerja, mereka akan selalu absen untuk beribadah dan makan siang bersama dengan keluarganya di rumah.
Sebelum matahari terbenam mereka telah berlabuh kembali ke rumah dan keluarga masing-masing. Sembari menunggu waktu sholat Magrib, mereka menghabiskan waktu untuk mendengar berita melalui pesawat televisi. Mereka keluar rumah untuk melakukan sholat jamaah Magrib atau Isya atau juga melaksanakan sholat di rumah masing-masing.
Menjelang tengah hari, mereka belanja untuk persiapan makan siang, mulai dari membeli bahan pokok dan bumbu masakan sampai menyajikan makanan lengkap di meja makan. Menonton sinetron atau sekedar mendengarkan musik yang disiarkan televisi merupakan hiburan ketika menyiapkan makanan siang untuk keluarga ini. Bercengkerama dengan tetangga, mengikuti arisan atau menghabiskan waktu menonton reality show dan infotainment seleberitis merupakan aktifitas rutin sore hari yang sering mereka habiskan.
Anak merupakan harta paling berharga bagi keluarga mereka. Jumlah anak dalam satu keluarga relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah anak dalam satu keluarga pada Masyarakat Mandailing. Mayoritas memiliki dua sampai empat anak saja. Fakta ini terjadi bukan karena potensi fertilitas yang kecil melainkan perencanaan keluarga yang cukup matang apalagi didukung oleh kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat setempat yang sudah menganggap bahwa keluarga berkualitas adalah sebuah tujuan bukan keluarga besar yang kaya momongan.
Anak-anak memulai aktifitas paginya dengan mandi dan sholat Subuh bagi yang sudah mulai berusia 10 tahun. Mereka sarapan pagi dengan kedua orang tuanya yang juga akan segera melakukan aktifitasnya masing-masing pagi itu. Anak-anak yang masih TK dan SD biasanya diantar dan dijemput Ibundanya menuju dan pulang sekolah. Anak-anak SMP biasanya berjalan atau naik angkutan umum menuju sekolah. Demikian halnya dengan anak-anak yang menempuh pendidikan di SMA atau di Universitas—kecuali keluarga yang sedikit lebih sejahtera yang memberikan sepeda motor bagi anaknya yang sudah sampai pada level pendidikan seperti itu.
Setelah pulang sekolah mereka langsung makan siang bersama anggota keluarga lainnya kecuali kepala keluarga. Untuk anak-anak yang masih usia TK, SD dan SMP mereka mengalokasikan waktu tidur sore yang bisa mereka lakukan dalam satu atau dua jam. Selebihnya, waktu sore dihabiskan untuk bermain dengan anak-anak lainnya atau menghabiskan waktu menonton sajian animasi di televisi. Anak-anak yang berusia SMA dan Universitas biasanya lebih banyak menggunakan waktunya di sekolah atau kampus masing-masing untuk kegiatan ekstra kurikuler seperti Pramuka, seni maupun berorganisasi. Kebanyakan anak-anak usia SD akan belajar mengaji/agama dua sampai tiga jam sore hari pada TPA yang jaraknya tidak jauh dari rumah ---bisa di mesjid atau tempat khusus yang dipersiapkan untuk itu.
Warung Kopi & Masyarakat Tarlola-Sibanggor: Budaya yang Sulit direformasi.
Selasa, 10 Maret 2009
Pelajaran Berharga Dari Negeri Seberang
(Ditulis Dalam Rangka Launching Kursus Bahasa Inggris di Kelompok Tani Siala Sampagul
Abdul Rozak Tanjung
Pengantar
Malaysia bagi penulis adalah semacam kampung halaman ketiga setelah Sibanggor Julu dan Kota Medan। Saudara semarga penulis, keturunan-keturunan dari moyang banyak bermukim dan telah menjadi warga Negara itu pasca kemerdekaan Malaysia tahun 1957. Mereka memperlakukan penulis sebagai saudara dekat dan kita sepertinya tidak hidup dalam dua negara yang berbeda. Penulis lebih beruntung dari saudara-saudara semarga penulis di kampung halaman karena penulis telah menginjakkan kaki di Negara itu sebanyak empat kali sampai Januari 2009. Untungnya lagi, ketika menyelesaikan skripsi S-1 di Universitas Sumatera Utara, penulis telah meneliti sistem pemerintahan lokal negara itu sehingga dalam ranah akademis sekalipun penulis telah bersentuhan dan menorehkan sesuatu yang berharga buat sudara-sudara yang ada di sana. Konsul Malaysia di Medan ketika itu langsung menjadikan skripsi penulis sebagai bahan bacaan di perpustakaan konsulat Malaysia di Jalan Diponegoro, Medan.
Sebelum menginjakkan kaki di ranah Melayu itu, saudara-saudara penulis telah rutin berkunjung ke kampung halaman dan telah membuat sesuatu yang berharga bagi warga dan umat Islam yang bermukin di sana। Sepertinya, orang Mandailing tidak akan protes kalau penulis nyatakan bahwa mesjid terbesar dan termegah dari sisi bangunan dan arsitekturnya di Kabupaten Mandailing ada di kampung penulis. Lebih dari itu, mereka sedang membangun gedung Madrasah di kampung halaman penulis yang nantinya akan dilanjutkan dengan pembukaan sentra-sentra akademika. Rutinitas mereka mengunjungi kampung halaman, membuat penulis punya kesempatan banyak untuk berkomunikasi dan belajar dari perilaku dan pola pikir mereka. Untungnya lagi, karena hanya penulis satu-satunya anggota keluarga besar yang sarjana, penulis kerap dijadikan referensi untuk mendapatkan informasi dan perkembangan daerah untuk mereka.
Pertualangan penulis ke negara itu pada tahun 2007 telah menambah cakrawala baru bagi penulis dan menjadi motivasi yang sangat berharga untuk lebih banyak belajar dari mereka। Mereka telah menunjukkan sentra-sentra industri, akademika, pemerintahan dan bahkan sentra wisata di sana kepada penulis ketika berkunjung ke sana.
Ketika pertama menginap di rumah mereka di Klang, penulis rasanya bagai orang kampung yang baru melihat megahnya kota Jakarta, semuanya serba aneh dan membuat kita salah tingkah, malu dan berkecil hati। Apa yang membuat penulis berlagak seperti itu?. Pertama, bahwa mereka berbahasa Melayu lima menit pertama dan akan berbahasa Inggris sampai minit terakhir perbincangan itu. Mereka bertanya pada penulis dalam bahasa Melayu dan mendiskusikan jawaban penulis dalam bahasa Inggris. Penulis juga melihat bahwa tidak satu halamanpun surat kabar berbahasa Melayu di atas meja keluarga dan tamu—yang menunjukkan kalau bahasa Inggris sudah menjadi bahasa resmi di dalam rumah. Kakek dan nenek penulis yang sudah mencapai umur 80 tahunpun sudah lebih senang menggunakan bahasa internasional itu dalam perbincangan apapun di rumah—mulai dari urusan tadi sore di kantor, urusan memperbaiki mobil, memotong rumput taman sampai jumlah kiloan bawang yang akan dibeli besok pagi.
Kedua, mereka membawa penulis ke beberapa mall di sekitar Kuala Lumpur dan juga ke menara kembar Petronas dan menara KL yang dikunjungi berbagai bangsa dari seantero dunia। Tak satupun penulis dengar para pelayan toko dan restoran yang menggunakan bahasa Melayu melayani pengunjungnya. Malah tukang parkiran sekalipun lebih suka menggunakan bahasa itu dari pada bahasa aslinya sendiri. Ketiga, mereka membawa penulis ke klinik milik mereka yang mempekerjakan tiga suku bangsa utama sekaligus di Malaysia yakni Melayu, China dan India. Mereka juga secara konsiten berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Semua brosus, papan absen, profil perusahaan sampai surat-surat formal ditulis dalam bahasa inggris yang baku dan apik.
Keempat, mereka membawa penulis ke rumah saudara lainnya yang tinggal di wilayah pedesaan di daerah Hulu Langat। Mereka sebenarnya menggunakan bahasa Melayu di kampung ini yang bunyi dan pelafalannya tidak jauh berbeda dengan pelafalan bahasa Melayu di daerah Batubara, Tanjung Titam di Kabupaten Asahan. Namun demikian, mereka sepenuhnya menguasai Bahasa Inggris dan bisa larut dengan cerita Pak Cik penulis yang baru berkunjung ke Negara asing dan menceritakannya dalam bahasa Inggris yang anggun.
Dari sekelumit kisah perjalanan itu penulis menyimpulkan sendiri dalam hati bahwa bahasa Inggris telah menjadi lingua franca kontemporer di negara itu, menggantikan originalitas bahasa tradsional Melayu-nya। Bahkan penulis melihat bahwa tidak ada semacam preventive action lagi untuk menjaga bahasa Melayu Malaysia dari kepunahan. Malah Pak Cik Nazif Jaafar, yang alumni Master of Architecture dari Oxford University, UK berujar seperti ini sama penulis.
“Bang Razak harus kuasai Bahasa Inggris itu kalau mau menjadi international community member. Sekarang Malaysia mau menerapkan revitalisasi bahasa Melayu sebagai lingua franca di Negara ini. Tapi ini tentunya kebijakan seperti ini cukup disesalkan karena, mengurangi kurikulum bahasa Inggris saja di sekolah saat ini telah menuai hasil yang tidak menggembirakan. Tidak banyak lagi pelajar Malaysia yang langsung diterima kuliah di English speaking countries karena lemahnya penguasaan bahasa itu. Bahasa itu bisa diproteksi, dilindungi dan dikembangkan kalau dia bisa mengikuti perkembangan zaman atau paling tidak Negara itu bisa mandiri tanpa terlalu banyak adopsi bahasa asing internasional seperti Jepang”.
Satu sisi penulis setuju dengan pandangan Pak Cik ini, bahwa bahasa Inggris itu harus dikuasai dan dikembangkan। Namun penulis tidak sependapat dengan pernyataan beliau yang menyatakan bahwa bahasa lokal itu tidak perlu dikembangkan kalau dia tidak bisa mengikuti perkembangan zaman। Penulis masih berpikir tentang yang namanya politik bahasa dimana jika teknologi, teori ilmiah dan inovasi yang bisa menyumbangkan kesejahteraan Negara dihasilkan anak-anak bangsa perlu dibuat dalam bahasa originalitas Negara itu sendiri sehingga bangsa asing banyak belajar dan bergantung pada bahasa Negara produsennya। Tentunya akan banyak manfaat ekonomi dan turunannya yang akan diraih dikemudian hari dengan menerapkan politik bahasa seperti ini. Alangkah bagusnya tentunya jika bahasa tersebut diikuti dengan aksara khusus seperti banyak kita kenal ketika belajar tentang asal muasal aksara dan angka. Indonesia termasuk Negara yang kaya aksara yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah suku bangsa utama di negeri ini. Sayangnya, penulis secara pribadi tak menguasai satupun diantara banyak aksara itu.
Output SDM Malaysia di Kancah Pertarungan Kehidupan Regional dan Internasional.
Kita wajib berbangga sekaligus menyesal merenungi capaian bangsa kita pada semua sektor dan lini kehidupan dalam persahabatan kita dengan mereka dalam wadah Negara dan bangsa serumpun. Gelar saudara tua masih melekat sampai hari ini dengan mereka dan kedua Negara selalu hati-hati dalam menjaga hubungan baik antara saudara tua dan saudara muda itu. Kita bangga bahwa generasi pemimpin sekarang di Malaysia adalah “sedikit-banyak” didikan guru-guru kita; bahwa perusahaan lumbung Negara itu, Petronas, belajar dahulu ke Pertamina; dan banyak lagi tentunya. Tapi saudara tuanya sekarang sudah harus mengakui kebolehan adindanya dan tidak sembarangan lagi memperlakukan adindanya itu. Sang adinda sudah terlalu jauh melampaui kemampuan sang kakanda.
Secara pribadi, penulis hanya bisa menyatakan bahwa saat ini saudara tua tetap tiga kali lebih maju dari saudara muda dalam bidang implementasi politik makro-mikro dan kreasi dunia musik dan entertainment। Selainnya saudara tua telah sangat jauh dalam ketertinggalan.
SDM Malaysia saat ini telah menjadi SDM yang paling bisa diandalkan oleh Negara mayoritas muslim yang ada di dunia. Kita tentunya masih ingat yang namanya Tan Razali Ismail, mantan ketua majelis umum PBB yang piawai dalam berdiplomasi dan sekian lama menjadi special envoy Sekjen PBB untuk demokrasi di Myanmar. Kita juga kenal mantan dan incumbent perdana menterinya, Dr. Mahathir dan Tuan Badawi, yang menjadi rujukan dunia internasional untuk kasus-kasus HAM, kemiskinan dan pembangunan di Negara-negara muslim. World Economic Forum yang setiap tahunnya diadakan di Davos, Switzerland selalu menampilkan mereka sebai panelis utam. Hal yang langka untuk dilakukan pemimpin tertinggi dari Negara kita.
Dalam dunia pendidikan mereka telah jauh melampaui kita। Dahulu mereka mendatagkan guru dari Indonesia dan sekarang kita berguru pada mereka. Kita tentunya tahu bagaimana kiprah IIU (International Islamic University) di Kuala Lumpur yang saat ini telah menjadi rujukan Timur Tengah untuk menimba ilmu atau sekedar mengambil short course. Teman skype penulis dari Bosnia Hersegovina, Miss Jasna memberitahu kepada penulis bahwa Negara-negara Almarhum Yugoslavia menjadikan Malaysia sebagai tempat pendidikan berskala internasional pertama.
Dalam dunia ekonomi mereka juga telah jauh melampaui kita। Dengan capaian produksi minyak sawitnya mereka telah menjadi produsen nomor satu di dunia. Demikian halnya dengan produki karet dan kokoa. Jika dibandingkan dengan luas areal wilayahnya yang tidak sampai 1/3 dari wilayah kita seharusnya kita mampu melampaui capaian mereka. Untuk sektor pertambangan dan mineral walaupun mereka tidak memproduksi minyak atau barang tambang lainnya sehebat Indonesia, namun mereka jauh mendapatkan keuntungan ekonomi yang jauh lebih besar dari kita.
Dalam dunia pariwisa dan komponen penunjang usahanya mereka telah menata dengan bagus dan capaian prestasinya lagi-lagi jauh dari negara kita। Dengan program MH (Malaysia Hospitality) mereka telah membuat dunia terbelabak mata untuk segera mengunjungi Negara mereka। Dukungan transportasi udaranya melalui Malaysia Airlines (MAS) telah menjadi nilai tambah pendukung sektor tersebut. Waktu mengunjungi Colombo, Sri Lanka November 2008, penulis tidak melihat Garuda Indonesia ada dalam rute Kuala Lumpur-Male-Colombo, namun Malaysia Airlines rutin setiap hari menghadirkan penerbangannya di rute tersebut. Sama halnya dengan teman penulis, Februati Tambunan yang pulang dari Wellington, New Zealand menuju kota Medan. Belia harus menaiki MAS dari Wellington ke Kuala Lumpur dan kemudian mendarat di Polonia Medan. Penguasaan rute-rute penerbangan internasional inilah yang membuahkan banyaknya pelancong yang hadir di Malaysia.
Dalam dunia profesi internasional dan global mereka jauh melampaui kita juga। Jika kita cacah jumlah tenaga professional di lembaga-lembaga internasional mereka sudah terlalu banyak untuk kita saingi. Mereka berpencar di organisasi PBB, Kemanusiaan Internasional dan tentunya bisnis internasional. Ketika beranjak dari Colombo menuju Kuala Lumpur, penulis berkenalan dengan seorang gadis Malaysia yang bekerja untuk UNDP di Sri Lanka. Alumni Amerika ini kurang lebih sama usianya dengan penulis. Karena sama-sama bekerja untuk organisasi kemanusiaan, cerita dan obrolan kami ketemu dan kami habiskan waktu tunggu boarding yang hampir satu jam tersebut di Airport. Gadis ini bercerita pada penulis---seperti biasa lima menit pertama bahasa Melayu dan sampai menit terakhir menjelang obrolan selesai pakai bahasa Inggris—bahwa beliau telah melakukan perjalanan misi kemanusiaan ke Afrika dan sebagian Timur Tengah. Beliau sekarang putar-balik pada poros Kuala Lumpur-Bangkok-Sri Lanka dan Washington. Penulis termenung, pastinya income beliau tidak kurang dari angka IDR. 100 juta. Terus penulis bayangkan kalau ada sepuluh orang dari desa penulis yang bekerja seperti beliau, akan sangat banyak yang bisa dibuat untuk kampung halaman.
Dalam dunia profesi penulis, yang bekerja untuk Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, mereka menjadi sangat penting artinya bagi kawasan Asia Tenggara। Walaupun Bulan Sabit Merah Malaysia jauh lebih muda dari Palang Merah Indonesia, faktanya pusat logistic federasi ada di Negara tersebut. Kepercayaan dunia internasional akan keamanan, keselamatan dan juga kemampuan untuk mengelola logistik korban bencana, perang dan konflik serta kesehatan berada di Negara itu.
Benang Merah Dari Suksesnya Saudara Muda
Kalau dirunut dari potensi alam dan budaya kerja Negara itu tentunya salah besar kita menilainya, apalagi kalau kita kaitkan dengan tingkat inteligensi warganya। Fakta mencatat bahwa melalaui TOFI-nya Johannes Surya anak-anak Indonesia bisa mengukir prestasi bergengsi di tingkat dunia. Penulis belum mendengar kalau wakil Negara itu pernah menorehkan prestasi yang sama dengan anak bangsa. Namun semua kesuksesan tersebut hanyalah kemampuan menguasai bahasa internasional, bahasa Inggris tersebut, yang memberikan akses yang sangat luas bagi mereka untuk studi dan bekerja di Negara maju.
Sekedar informasi bagi kita bahwa alumni universitas di Malaysia tidak susah-susah perbaiki TOEFL maupun IELTS untuk mendapatkan beasiswa Erasmus Mundus, Norway Scholarship dan tentunya beasiswa commonwealth lainnya। Pak Cik Najib, hanya perlu waktu satu jam wawancara untuk memasuki kuliahnya di Master Arsitektur di Oxford University UK demikian juga dengan abangnya yang kuliah di Universitas yang sama serta kedua adindanya yang kuliah dahulunya di Amerika dan di Australia.
Penulis mengintip kurikulum di sekolah dasar di Malaysia। Adalah Diana, teman skype penulis datu Batu Feringghi, Penang menjelaskan kalau sejak masuk sekolah mereka telah memiliki subject bahasa Inggris. Didukung dengan, academic environment-nya mereka sudah menguasai bahasa itu sebelum memasuki universitas. Akhirnya, penulis juga tidak heran jika Anwar Ibrahim--produk universitas lokal--bisa mengajar sebagai visiting lecturer di salah satu universitas papan atas di Amerika.
Selanjutnya, menjelang tidur di tempat penulis bekerja, ribuan mil laut dari kampung halaman penulis, penulis tanamkan niat untuk mengawali kursus bahasa Inggris sejak dini untuk para generasi junior penulis di kampung halaman. Penulis mengharapkan mereka-mereka nantinya akan bisa seperti teman Malaysia penulis yang bekerja untuk UNDP atau Pak Cik penulis yang melanglang buana studi di Eropa. Penulis hanya bisa berharap kalau nantinya mereka tetap memperhatikan kampung halaman di manapun mereka berada. Karena penulis juga sudah berumur, langkah juga mulai dibatasi, variabel-variabel pengganggu bermunculan, penulis hanya bisa menambah kapasitas penulis menguasai bahasa tersebut kalau ada biaya yang harus ditinggalkan buat keluarga. Namun, generasi junior penulis harus bermandi keringat untuk belajar bahasa itu sejak dini dan tidak ada kata untuk menunda atau lebih parah lagi mengabaikan. Akhirnya tulisan ini penulis tutup dengan doa dan harapan sederhana: berikan Tuhan rezeki untuk biaya kursus mereka di kampung halaman melalui tangan penulis atau tangan sahabat dan orang kami yang perduli dengan kemajuan anak bangsa.