Selasa, 10 November 2009
Abdul Rozak Tanjung
Siala Sampagul Agricultural Group
Arabic has been a main language yet has not been medium of instruction within a lot of Islamic Schools in Mandailing Natal,--a regency in North Sumatra Province, Indonesia which is the region always associated and called as little Mecca. All literatures as well as its scripts are in Arabic, except for some subjects at the first year where were written in Malay Arabic meaning that the scripts is Arabic and the sentences is in Malay. It is quite interesting that there are plenty Islamic scholars within the region who master Arabic grammatically much better than Arabian themselves.
Mustafawiyah Islamic school has been the main school and educational institution within the region for about one hundred years. Most of local folks in the very beginning spent their time to take up Islamic courses in the school and this situation is kept maintained nowadays. It is quite common that most of Islamic clerics in villages within the region graduated from the school and they are always the Islamic law counselors in their own village. Since most of their theoretical books written and passed in Arabic, They are master the language grammatically and are able to translate word-by-word of Koran as the holy book and main reference for Islamic law.
Does the use of Arabic within Islamic schools in Mandailing Natal work effectively? It is an interesting question to be answered. It is for some extends very effective where they can catch up all subjects in its original language. However, the failure of placing Arabic as the medium of instruction made them impossible to be part of such bigger seminaries conducted overseas. As I said earlier, they obviously master Arabic grammatically but being a speaker in a seminar overseas particularly in Arabic speaking countries requires them to master Arabic conversation.
What is else the missing opportunity of them by this situation?. It is like most of Indonesians knowing English grammatically yet failure to communicate with the language. The most important part which is missing is their chance to start making and building networks which enable them to join into bigger international communities. They will not be part of international seminars conducted in Arabic though they must be able to be speakers or at least be participants.
To prepare the school's disciples to be able to be part of such academic and counseling forums in the future, the school management along with the government permission must start placing Arabic as medium of instruction in the school though must be firstly implemented in the second or third year of their course in the school. This is the idea of this article writer to make much profits can be gained by the school disciples in the future.
Senin, 09 November 2009
Sekelumit Pesan Buat Pemilih Bupati Madina Periode 2010-2015
Abdul Rozak Tanjung
(Anggota Kelompok Tani Siala Sampagul)
Pesta demokrasi; mulai dari pemilihan Legislatif, Bupati, Gubernur sampai Presiden, bukan menjadi hal baru bagi warga Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Malah mereka sudah terbiasa dengan aturan teknis pencoblosan dan penconterengan nama atau gambar pilihan mereka pada setiap pelaksanaan pemilihan. Tambahan lagi, tidak sedikit diantara mereka yang telah sekian lama menjadi pengurus partai politik atau organisasi underbow calon yang mereka usung buat suatu pemilihan.
Apa sebenarnya dampak positif dari realitas itu semua?. Hal yang pertama dan utama adalah bahwa mereka telah melek (minded) dengan semua jenis pemilihan umum dan telah biasa membaca permainan politik menjelang pemilihan. Hal yang kedua adalah, bahwa mereka saat ini sudah menjadi subjek penentu dalam setiap pemilihan dan bukan semata menjadi objek lagi seperti pemilihan umum yang dilangsungkan semasa pemerintahan Orde Baru. Hal yang ketiga adalah, bahwa mereka telah memiliki posisi tawar yang cukup penting untuk dipertimbangkan para calon yang ingin bertanding dalam kontes politik tersebut.
Menjelang pemilihan Bupati (Pilkada) kali ini (2010), situasi politik dan proses awal (preliminary process) menjelang pesta demokrasi di tingkat kabupaten ini tidak jauh berbeda dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya. Sejumlah bakal calon (balon) telah mulai tebar pesona dan distribusi pamphlet yang nadanya “saya merupakan orang yang tepat menjadi Bupati Madina periode berikutnya”. Sekalipun kampanye formal dan penetapan para calon belum diumumkan oleh institusi pelaksana pemilu (KPU), tidak sedikit tim sukses di tingkat desa telah terbentuk sekalipun secara formal belum juga mendapatkan keputusan resmi dari calon yang akan diusung.
Madina saat ini masih merupakan kabupaten terbelakang dalam pengembangan sumber daya manusia diantara kabupaten lain di Propinsi Sumatera Utara. Beberapa indikator atau benchmarking bisa kita tentukan untuk menilainya. Salah satunya adalah tingkat partisipasi warga yang terlembaga dalam mengawal proses-proses pemerintahan. Kita bisa menyaksikan bagaimana minimnya kehadiran Civil Society Institution (CSI) yang berperan menjadi organisasi pengontrol efektif bagi pengembangan daerah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kapasitas sumberdaya manusia masih relative rendah. Hampir semua CSI efektif di kabupaten ini merupakan institusi sub ordinate dari level yang lebih tinggi. Ini membuktikan juga bahwa daerah masih gagal untuk memberdayakan warganya untuk membentuk sendiri lembaga CSI yang dapat membangun kabupaten bersama pemerintahnya. Kita barangkali pernah mendengar adanya The Madina Center, namun penulis belum melihat bukti kinerja real dari lembaga ini. Malah website lembaga sebesar itupun belum berhasil penulis temukan dalam situs pencari dalam internet.
Tentunya beberapa poin tersebut hanya merupakan issu utama yang dapat penulis gambarkan melalui artikel singkat ini. Perlu melakukan kajian yang lebih dalam untuk mengevalusi pengembangan kabupaten dalam sepuluh tahun terakhir dan menyajikannya lebih detail, transparent dan ilmiah. Disamping itu, para akademisi, peneliti dan stakeholders yang peduli dengan pengembangan daerah ini.
Untuk merealisasikan ini semua, harapan penulis tentunya bagaimana para pemilih ini lebih mengedepankan hati nurani dalam Pilkada kali ini dan bukan mengedepankan rasionalitas dan pragmnatis politik semata. Membentuk pemerintahan yang kuat, bermartabat dan stabil diperlukan adanya sinergitas antara komponen civil society dimana masing-masing pihak berada pada level kapasitas yang sama. Pilihan anda tentunya menentukan masa depan kabupaten dan menentukan apakah jargon ideal “Madina yang Madani” akan dapat tercapai, bukan menjadikan kabupaten ini menjadi “Madina yang Jahili”.
Madina’s Election Countdown: Who Should Be the Next Leader?
Siala Sampagul Agricultural Group
Mandailing Natal (Madina) Regent Election Day will be held soon next year. The election will mark the end of the current regent’s mission who has been in power since the establishment of the region in 1998. He will not be legally allowed to go to the contest anymore since the latest regulation on local election stipulated that regent, governor and major must not continue their term when they have been in power for maximally two consecutive terms. The term itself is counted by the frequency of the election they have passed in at the same governmental level.
The legal regulation of establishing the district was the Law No 5 1974 and Law No 18 1998 and its commemoration was held in Panyabungan in 1998. Amru H Daulay was the first regent of the district when he assigned by former governor of the province in 1998 where he was serving as governor assistant for North Sumatra Province at Governance Area 1. The new region was solely ruled by him at the very beginning since ever he remains stand for a regent up to right now. There were obviously several regent elections occurred in the district within the last ten years. However, his political supporters and political machines always work properly so that he has been serving as the region within the last ten years as well. The main benefit of his standing in the region is the fact that the region has been staying in calm without any potential and crucial conflicts visible spreading to the public and national communities.
Madina was obviously among the first new districts within the North Sumatera Province within last ten years. The main reason of forming the area as the new district were the fact that its original district were quite big in geographical size compared to the rest districts within the province, its regional economic statistics which was sensible to be separated from its original region as well as the demands of its society and social elements to manage the region independently.
I left the region since the year of 1999; a year after the district was formally established. Some improvements have been made up particularly in the field of infrastructure development. I still remember that I couldn’t get my own village straight from the district’s capital city around the year at the time and there were no any luxurious governmental offices by the river in Panyabungan, the capital city of the district. Everything nowadays are getting much better where for instance we can easily reach governmental offices, public places as well as entertainment facilities. I must say that these kinds of stuff are the main things have been made by the regent through his efforts and his main counterpart in the legislative.
What has not been done by the regent? It is another question to be carefully answered. I am, firstly, interested in paying attention to educational sector development in which I used to focus my view in the region. I am amused that Madinians are rarely studying in the famous and prestigious universities within the country. There are actually some Madinians studying at such universities, yet to be honest, they graduated their high school education beyond the region. It is quite interesting to see also that most of Madinians studying at such universities hold a “special tickets” to enter into. I must say that this condition is actually the total failure of the regent to develop education, providing qualified schools and human resources within the region.
Education and human resources development is something must be set up by the next regent of the district immediately once he held the power. Providing new offices and education infrastructures are not enough to improve the education and human resources within the region. There must be appropriate and comprehensive steps to be taken by the new regent. Again, the regent itself must have academic honesty to start developing both sectors within the region. Is the regent must be coming from academic institution? It is not a guarantee in sense there are plenty teachers and university lecturers do not have academic honesty and they are not a techie, as the main requirement for being a future leaders.
I don’t have idea about the capacity of regent candidates spreading their vision and mission throughout the region last holiday in September 2009. But it is very important to probe them about their vision on both sectors if they win the election or hold the power. Madina have been left behind other districts within the province since the last ten years. It is a necessary that Madinian should re-think about the power succession within the region as well as the need of their engagement to be part of the region educational and human resources advocacy.
What should be done by the voters for coming election, particularly to select the new leaders who are able to help bring Madina to be a better region? There are some efforts need to be undertaken by insider and outsider who pay much their attention to the region. First of all, the first one must be conducted by academicians to start spreading their idea to the voters. The second one must be done by civil society organizations where they can do some political awareness campaign to their community. The third one must be done by political parties where they can use their political function and influence to born a best Madina Regent.
Senin, 17 Agustus 2009
Banua Bank: Looking For Space to Establish Microfinance Institution
Abdul Rozak Tanjung
The “on dream bank” will be situated in the traditional market compound in Kampung Lamo Village where the place is the melting pot of local traders and business man to do selling-buying transaction and one of educational sites within the region. Since the traditional market is just opened weekly, it is possible to the bank management opening saving and loans transaction without totally denying their main works as farmers.
Sabtu, 18 April 2009
Abdul Rozak Tanjung
Reputasi BPS sebagai ujung Tombang Penyedia Data Publik
Kutipan di atas sungguh ideal dan sempurna. Badan Pusat Statistika (BPS) tampil dengan penuh keyakinan dan menghadirkan data yang valid dan terpercaya yang potensial dijadikan sebagai informasi penting dalam perencanaan dan perumusan kebijakan serta bermanfaat bagi para peneliti dan akademisi juga. BPS memang sampai hari ini menjadi tumpuan pemerintah dalam memperoleh dan menyediakan data apa saja yang berhubungan dengan geografi, pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya. Malah BPS juga secara kontinu melakukan survey ekonomi, pertanian dan juga pendidikan yang dipublikasikan melalui buku atau dalam e-format lainnya seperti VCD. Situs online-nya pun kini telah tersedia walaupun masih lebih banyak kurangnya dari pada yang termutakhir.
Mengkritisi Sajian Data BPS Mandailing Natal : Kecamatan Tambangan 2007
Kecamatan Tambangan Dalam Angka Tahun 2007, penulis dapatkan melalui internet ini, melalui software pencari data, google. Setelah membaca sajian-sajian data dalam buku tersebut penulis selanjutnya mempertanyakan validitas data yang ditulis dalam buku tersebut. Berikut ini penulis uraikan beberapa kejanggalan dalam laporan itu.

2. Sarana Pendidikan: SLTP di Hutalombang Tidak Ada, SLTP di Sibanggor Jae Ada
Dalam laporan tersebut tertulis bahwa SLTP terdapat di desa Sibanggor Jae dan Hutanamale. Sepanjang pengetahuan penulis SLTP harusnya ada di Hutalombang, Sibanggor Julu dan Kampung Lama (ini merupakan melting pot, yang terkadang dibuat menjadi desa Hutanamale). Anehnya lagi bahwa SLTP yang negeri tidak ada di wilayah ini, padahal SLTP di Hutalombang dari awal tahun 1990-an sudah sedianya jadi SLTP negeri.
Berdasarkan laporan data itu juga, SD Inpres tidak ada di wilayah ini sekalipun kolom dalam format laporan tersedia. Sepanjang pengetahuan penulis, SD Sibanggor Tonga, SD Hutatinggi, SD Hutalombang dan SD Hutabaringin adalah SD Inpres.
3. Kesehatan: Pustu ada di Sibanggor Tonga, 97% anak bergizi baik.
Dalam laporan yang dimaksud di atas, dinyatakan bahwa terdapat Puskesmas Pembantu (Pustu) di Sibanggor Tonga, padahal sepengetahuan penulis yang ada justru Polindes seperti layaknya desa-desa yang lain.
Tentang anak kurang gizi dinyatakan bahwa 3% dari 1858 anak adalah mengalami gizi buruk sementara 97% lainnya mendapatkan gizi yang baik. Standar gizi yang baik seperti apa yang dimaksudkan oleh BPS, penulis juga tidak tahu, namun penulis dapat merasakan bahwa tetangga saya di rumah mayoritas tidak mendapatkan gizi yang cukup sebagaimana penulis ketahui waktu belajar di SD yaitu empat sehat lima sempurna.
4. Sarana Ibadah: Mesjid di Handel dan Hutabaringin Julu tidak Ada
Penulis menyoroti jumlah mesjid maupun langgar sebagaimana ditampilkan dari data di atas. Dalam laporannya disebutkan bahwa di Desa Handel dan Hutabaringin Julu tidak ada Mesjid. Saya selama dua tahun terakhir masih mengunjungi dua desa dimaksud dan mesjid terdapat di dua desa itu. Masalah langgar, penulis tidak berkomentar karena indikator langgar itu juga belum penulis ketahui defenisi pastinya.
5. Sektor Ekonomi : Kambing di Hutabaringin Maga Cuma 15 Ekor, Itik di Sibanggor Julu hanya 60 ekor.
Kambing merupakan sumber produk ternak utama di daerah ini. Namun angka yang menurut hemat penulis mencengangkan adalah bahwa di Desa Hutabaringin Maga hanya terdapat 15 ekor kambing. Penulis memang tidak mengetahui angka pastinya seperti apa, namun menurut hemat penulis, angka itu terlalu kecil. Penulis tidak tahu apakah jumlah itu merupakan jumlah kambing yang berkeliaran di desa pada saat sang mantra statistik mencacah data.
Kalau halnya dengan jumlah itik penulis menyangsikan validitas data tersebut. Yang pasti adalah di rumah orang tua penulis jumlah itik tidak kurang dari 20 ekor dan penulis yakin bukan hanya 3 rumah saia yang memiliki itik di Sibanggor Julu.
6. Demografi: Hutanamale Berpenduduk Palin g Padat
Hal lain yang menurut hemat penulis aneh adalah jumlah Rumah Tangga dan KK di setiap desa yang selanjutnya akan berdampak pada jumlah penduduk. Pada laporan itu dituliskan bahwa Hutanamale merupakan desa yang paling banyak RT-nya. Menurut hemat penulis data yang valid adalah bahwa Desa Hutatinggi yang paling banyak RT/KK-nya. Penulis tidak tahu apakah Desa Handel dan Hutabaru dimaksukkan sebagai bagian dari Desa Hutanamale dan kalau itu yang terjadi harus dicantumkan dalam laporan itu karena secara juridis kedua desa itu sudah defenitif sebelum tahun 2007.
Excuse Pegawai BPS atas Invaliditas Data
Mengapa tampilan data BPS seperti di atas masih muncul hingga kini?. Ada beberapa alasan (exuse) pegawai pencacah data untuk itu. Biasanya alasan ini juga yang menyebabkan mereka tidak merasa bersalah telah membohongi publik.
Kamis, 02 April 2009
Turning back to most of Indonesian flight companies, MAS services are quite different and much more civilized that Indonesian flight companies. The way the stewards and stewardess serve the passengers is so elegant like I was the nobleman in a royal country or prominent people in the government institution. I was actually nothing comparing to my flight mates coming for countries around the world. However, I learnt that MAS prioritize the services to the passengers regardless of nation, belief, background as well as the occupation of us.
Microfinance (baca: Simpan Pinjam Mikro) semakin mendapatkan tempat utama dalam upaya memberantas kemiskinan dan menciptakan perdamaian yang utuh dan berkesinambungan di Negara-negara dunia ketiga. Tidak mengherankan jika komite juri Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia sepakat untuk memberikan penghargaan prestisius tersebut kepada pendiri, founding father sekaligus fasilitator Grameen Bank, Muhammad Yunus, seorang Bangladesh dan dosen bersahaja di Universitas Chitatong, Bangladesh.
Apa yang menjadi pelajaran dari suksesnya Yunus dan Grameen Bank-nya yang dapat kita jadikan teladan?. Pertama, emberio Grameen Bank yang diawali pada tahun 1974 berasal dari para kaum perempuan miskin, janda, melarat dan papa di desa-desa terpencil di Bangladesh. Alasan utama Yunus menjadikan kaum perempuan sebagai entry point dalam merancang microfinance hanya karena kaum inilah yang selalu terpinggirkan dalam setiap kebijakan sektor sosial, ekonomi dan politik.
Jika dirunut mulai dari kultur dan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang mayoritas tinggal di daerah pedesaan, model microfinance yang paling layak diterapkan adalah model Grameen Bank dengan pengembangan sedikit variasi. Alasan utama pemilihan model ini didasarkan atas adanya keengganan masyarakat untuk berhubungan dengan bank konvensional ntuk menyimpan dan meminjam uang karena tertutupnya komunikasi intens antara warga desa dengan banker-bankir dan pegawai yang ada pada bank-bank konvensional. Akibatnya, tertutup kemungkinan masyarakat desa untuk memperoleh pinjaman potensial dari bank. Alasan lainnya adalah budaya menabung dalam institusi keuangan yang masih langka bagi masyarakat desa. Hal ini terjadi karena tidak adanya kemauan atau komitmen perbankan tradisional untuk menjemput bola ke tengah masyarakat desa untuk menggaet lebih banyak nasabah sehingga phobia untuk menabung atau meminjam di bank tetap ada.
Model Microfinance Pilihan Untuk Masyarakat Mandailing: Membangun Pertanian Berkelanjutan Melalui Institusi Simpan Pinjam
Apa kabar Bunda? Apa kabar juga Saudara?. Dari kawasan nun jauh di tengah Samudera Indonesia, dari kawasan Pulau terluar Indonesia di wilayah Barat, ribuan mil dari tempatmu berada Ananda dan Adindamu mau berbagi dan temu kangen lewat dunia maya ini.
Buat Bunda: Kala Aku Kecil Bunda, Aku Teringat Almarhum Ayah
Sungai itu memang indah, melenggok berliku-berkilau dari hulu sampai ke hilir. Tenang mengalir di sela-sela perdu yang mengakar di pinggirnya. Kalau lagi musim buah dadap kita bisa mendurung udang dan langsung kita makan. Udang-udang itu bersembunyi dibalik akar-akar perdu yang menyebar di pinggir sungai. Kita merasa senang dengan itu semua dan tidak pernah terusik dengan pemilihan umum tahun 80-an itu, kita tidak terusik dengan kenaikan harga BBM yang terus melonjak dan kita tidak terusik siapapun yang jadi presiden, gubernur maupun bupati kita. Sepanjang masih bisa bermain di pinggir sungai kita tidak pernah acuh dengan itu semua.