Pelajaran Berharga Dari Negeri Seberang
(Ditulis Dalam Rangka Launching Kursus Bahasa Inggris di Kelompok Tani Siala Sampagul
Abdul Rozak Tanjung
Pengantar
Malaysia bagi penulis adalah semacam kampung halaman ketiga setelah Sibanggor Julu dan Kota Medan। Saudara semarga penulis, keturunan-keturunan dari moyang banyak bermukim dan telah menjadi warga Negara itu pasca kemerdekaan Malaysia tahun 1957. Mereka memperlakukan penulis sebagai saudara dekat dan kita sepertinya tidak hidup dalam dua negara yang berbeda. Penulis lebih beruntung dari saudara-saudara semarga penulis di kampung halaman karena penulis telah menginjakkan kaki di Negara itu sebanyak empat kali sampai Januari 2009. Untungnya lagi, ketika menyelesaikan skripsi S-1 di Universitas Sumatera Utara, penulis telah meneliti sistem pemerintahan lokal negara itu sehingga dalam ranah akademis sekalipun penulis telah bersentuhan dan menorehkan sesuatu yang berharga buat sudara-sudara yang ada di sana. Konsul Malaysia di Medan ketika itu langsung menjadikan skripsi penulis sebagai bahan bacaan di perpustakaan konsulat Malaysia di Jalan Diponegoro, Medan.
Sebelum menginjakkan kaki di ranah Melayu itu, saudara-saudara penulis telah rutin berkunjung ke kampung halaman dan telah membuat sesuatu yang berharga bagi warga dan umat Islam yang bermukin di sana। Sepertinya, orang Mandailing tidak akan protes kalau penulis nyatakan bahwa mesjid terbesar dan termegah dari sisi bangunan dan arsitekturnya di Kabupaten Mandailing ada di kampung penulis. Lebih dari itu, mereka sedang membangun gedung Madrasah di kampung halaman penulis yang nantinya akan dilanjutkan dengan pembukaan sentra-sentra akademika. Rutinitas mereka mengunjungi kampung halaman, membuat penulis punya kesempatan banyak untuk berkomunikasi dan belajar dari perilaku dan pola pikir mereka. Untungnya lagi, karena hanya penulis satu-satunya anggota keluarga besar yang sarjana, penulis kerap dijadikan referensi untuk mendapatkan informasi dan perkembangan daerah untuk mereka.
Pertualangan penulis ke negara itu pada tahun 2007 telah menambah cakrawala baru bagi penulis dan menjadi motivasi yang sangat berharga untuk lebih banyak belajar dari mereka। Mereka telah menunjukkan sentra-sentra industri, akademika, pemerintahan dan bahkan sentra wisata di sana kepada penulis ketika berkunjung ke sana.
Ketika pertama menginap di rumah mereka di Klang, penulis rasanya bagai orang kampung yang baru melihat megahnya kota Jakarta, semuanya serba aneh dan membuat kita salah tingkah, malu dan berkecil hati। Apa yang membuat penulis berlagak seperti itu?. Pertama, bahwa mereka berbahasa Melayu lima menit pertama dan akan berbahasa Inggris sampai minit terakhir perbincangan itu. Mereka bertanya pada penulis dalam bahasa Melayu dan mendiskusikan jawaban penulis dalam bahasa Inggris. Penulis juga melihat bahwa tidak satu halamanpun surat kabar berbahasa Melayu di atas meja keluarga dan tamu—yang menunjukkan kalau bahasa Inggris sudah menjadi bahasa resmi di dalam rumah. Kakek dan nenek penulis yang sudah mencapai umur 80 tahunpun sudah lebih senang menggunakan bahasa internasional itu dalam perbincangan apapun di rumah—mulai dari urusan tadi sore di kantor, urusan memperbaiki mobil, memotong rumput taman sampai jumlah kiloan bawang yang akan dibeli besok pagi.
Kedua, mereka membawa penulis ke beberapa mall di sekitar Kuala Lumpur dan juga ke menara kembar Petronas dan menara KL yang dikunjungi berbagai bangsa dari seantero dunia। Tak satupun penulis dengar para pelayan toko dan restoran yang menggunakan bahasa Melayu melayani pengunjungnya. Malah tukang parkiran sekalipun lebih suka menggunakan bahasa itu dari pada bahasa aslinya sendiri. Ketiga, mereka membawa penulis ke klinik milik mereka yang mempekerjakan tiga suku bangsa utama sekaligus di Malaysia yakni Melayu, China dan India. Mereka juga secara konsiten berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Semua brosus, papan absen, profil perusahaan sampai surat-surat formal ditulis dalam bahasa inggris yang baku dan apik.
Keempat, mereka membawa penulis ke rumah saudara lainnya yang tinggal di wilayah pedesaan di daerah Hulu Langat। Mereka sebenarnya menggunakan bahasa Melayu di kampung ini yang bunyi dan pelafalannya tidak jauh berbeda dengan pelafalan bahasa Melayu di daerah Batubara, Tanjung Titam di Kabupaten Asahan. Namun demikian, mereka sepenuhnya menguasai Bahasa Inggris dan bisa larut dengan cerita Pak Cik penulis yang baru berkunjung ke Negara asing dan menceritakannya dalam bahasa Inggris yang anggun.
Dari sekelumit kisah perjalanan itu penulis menyimpulkan sendiri dalam hati bahwa bahasa Inggris telah menjadi lingua franca kontemporer di negara itu, menggantikan originalitas bahasa tradsional Melayu-nya। Bahkan penulis melihat bahwa tidak ada semacam preventive action lagi untuk menjaga bahasa Melayu Malaysia dari kepunahan. Malah Pak Cik Nazif Jaafar, yang alumni Master of Architecture dari Oxford University, UK berujar seperti ini sama penulis.
“Bang Razak harus kuasai Bahasa Inggris itu kalau mau menjadi international community member. Sekarang Malaysia mau menerapkan revitalisasi bahasa Melayu sebagai lingua franca di Negara ini. Tapi ini tentunya kebijakan seperti ini cukup disesalkan karena, mengurangi kurikulum bahasa Inggris saja di sekolah saat ini telah menuai hasil yang tidak menggembirakan. Tidak banyak lagi pelajar Malaysia yang langsung diterima kuliah di English speaking countries karena lemahnya penguasaan bahasa itu. Bahasa itu bisa diproteksi, dilindungi dan dikembangkan kalau dia bisa mengikuti perkembangan zaman atau paling tidak Negara itu bisa mandiri tanpa terlalu banyak adopsi bahasa asing internasional seperti Jepang”.
Satu sisi penulis setuju dengan pandangan Pak Cik ini, bahwa bahasa Inggris itu harus dikuasai dan dikembangkan। Namun penulis tidak sependapat dengan pernyataan beliau yang menyatakan bahwa bahasa lokal itu tidak perlu dikembangkan kalau dia tidak bisa mengikuti perkembangan zaman। Penulis masih berpikir tentang yang namanya politik bahasa dimana jika teknologi, teori ilmiah dan inovasi yang bisa menyumbangkan kesejahteraan Negara dihasilkan anak-anak bangsa perlu dibuat dalam bahasa originalitas Negara itu sendiri sehingga bangsa asing banyak belajar dan bergantung pada bahasa Negara produsennya। Tentunya akan banyak manfaat ekonomi dan turunannya yang akan diraih dikemudian hari dengan menerapkan politik bahasa seperti ini. Alangkah bagusnya tentunya jika bahasa tersebut diikuti dengan aksara khusus seperti banyak kita kenal ketika belajar tentang asal muasal aksara dan angka. Indonesia termasuk Negara yang kaya aksara yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah suku bangsa utama di negeri ini. Sayangnya, penulis secara pribadi tak menguasai satupun diantara banyak aksara itu.
Output SDM Malaysia di Kancah Pertarungan Kehidupan Regional dan Internasional.
Kita wajib berbangga sekaligus menyesal merenungi capaian bangsa kita pada semua sektor dan lini kehidupan dalam persahabatan kita dengan mereka dalam wadah Negara dan bangsa serumpun. Gelar saudara tua masih melekat sampai hari ini dengan mereka dan kedua Negara selalu hati-hati dalam menjaga hubungan baik antara saudara tua dan saudara muda itu. Kita bangga bahwa generasi pemimpin sekarang di Malaysia adalah “sedikit-banyak” didikan guru-guru kita; bahwa perusahaan lumbung Negara itu, Petronas, belajar dahulu ke Pertamina; dan banyak lagi tentunya. Tapi saudara tuanya sekarang sudah harus mengakui kebolehan adindanya dan tidak sembarangan lagi memperlakukan adindanya itu. Sang adinda sudah terlalu jauh melampaui kemampuan sang kakanda.
Secara pribadi, penulis hanya bisa menyatakan bahwa saat ini saudara tua tetap tiga kali lebih maju dari saudara muda dalam bidang implementasi politik makro-mikro dan kreasi dunia musik dan entertainment। Selainnya saudara tua telah sangat jauh dalam ketertinggalan.
SDM Malaysia saat ini telah menjadi SDM yang paling bisa diandalkan oleh Negara mayoritas muslim yang ada di dunia. Kita tentunya masih ingat yang namanya Tan Razali Ismail, mantan ketua majelis umum PBB yang piawai dalam berdiplomasi dan sekian lama menjadi special envoy Sekjen PBB untuk demokrasi di Myanmar. Kita juga kenal mantan dan incumbent perdana menterinya, Dr. Mahathir dan Tuan Badawi, yang menjadi rujukan dunia internasional untuk kasus-kasus HAM, kemiskinan dan pembangunan di Negara-negara muslim. World Economic Forum yang setiap tahunnya diadakan di Davos, Switzerland selalu menampilkan mereka sebai panelis utam. Hal yang langka untuk dilakukan pemimpin tertinggi dari Negara kita.
Dalam dunia pendidikan mereka telah jauh melampaui kita। Dahulu mereka mendatagkan guru dari Indonesia dan sekarang kita berguru pada mereka. Kita tentunya tahu bagaimana kiprah IIU (International Islamic University) di Kuala Lumpur yang saat ini telah menjadi rujukan Timur Tengah untuk menimba ilmu atau sekedar mengambil short course. Teman skype penulis dari Bosnia Hersegovina, Miss Jasna memberitahu kepada penulis bahwa Negara-negara Almarhum Yugoslavia menjadikan Malaysia sebagai tempat pendidikan berskala internasional pertama.
Dalam dunia ekonomi mereka juga telah jauh melampaui kita। Dengan capaian produksi minyak sawitnya mereka telah menjadi produsen nomor satu di dunia. Demikian halnya dengan produki karet dan kokoa. Jika dibandingkan dengan luas areal wilayahnya yang tidak sampai 1/3 dari wilayah kita seharusnya kita mampu melampaui capaian mereka. Untuk sektor pertambangan dan mineral walaupun mereka tidak memproduksi minyak atau barang tambang lainnya sehebat Indonesia, namun mereka jauh mendapatkan keuntungan ekonomi yang jauh lebih besar dari kita.
Dalam dunia pariwisa dan komponen penunjang usahanya mereka telah menata dengan bagus dan capaian prestasinya lagi-lagi jauh dari negara kita। Dengan program MH (Malaysia Hospitality) mereka telah membuat dunia terbelabak mata untuk segera mengunjungi Negara mereka। Dukungan transportasi udaranya melalui Malaysia Airlines (MAS) telah menjadi nilai tambah pendukung sektor tersebut. Waktu mengunjungi Colombo, Sri Lanka November 2008, penulis tidak melihat Garuda Indonesia ada dalam rute Kuala Lumpur-Male-Colombo, namun Malaysia Airlines rutin setiap hari menghadirkan penerbangannya di rute tersebut. Sama halnya dengan teman penulis, Februati Tambunan yang pulang dari Wellington, New Zealand menuju kota Medan. Belia harus menaiki MAS dari Wellington ke Kuala Lumpur dan kemudian mendarat di Polonia Medan. Penguasaan rute-rute penerbangan internasional inilah yang membuahkan banyaknya pelancong yang hadir di Malaysia.
Dalam dunia profesi internasional dan global mereka jauh melampaui kita juga। Jika kita cacah jumlah tenaga professional di lembaga-lembaga internasional mereka sudah terlalu banyak untuk kita saingi. Mereka berpencar di organisasi PBB, Kemanusiaan Internasional dan tentunya bisnis internasional. Ketika beranjak dari Colombo menuju Kuala Lumpur, penulis berkenalan dengan seorang gadis Malaysia yang bekerja untuk UNDP di Sri Lanka. Alumni Amerika ini kurang lebih sama usianya dengan penulis. Karena sama-sama bekerja untuk organisasi kemanusiaan, cerita dan obrolan kami ketemu dan kami habiskan waktu tunggu boarding yang hampir satu jam tersebut di Airport. Gadis ini bercerita pada penulis---seperti biasa lima menit pertama bahasa Melayu dan sampai menit terakhir menjelang obrolan selesai pakai bahasa Inggris—bahwa beliau telah melakukan perjalanan misi kemanusiaan ke Afrika dan sebagian Timur Tengah. Beliau sekarang putar-balik pada poros Kuala Lumpur-Bangkok-Sri Lanka dan Washington. Penulis termenung, pastinya income beliau tidak kurang dari angka IDR. 100 juta. Terus penulis bayangkan kalau ada sepuluh orang dari desa penulis yang bekerja seperti beliau, akan sangat banyak yang bisa dibuat untuk kampung halaman.
Dalam dunia profesi penulis, yang bekerja untuk Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, mereka menjadi sangat penting artinya bagi kawasan Asia Tenggara। Walaupun Bulan Sabit Merah Malaysia jauh lebih muda dari Palang Merah Indonesia, faktanya pusat logistic federasi ada di Negara tersebut. Kepercayaan dunia internasional akan keamanan, keselamatan dan juga kemampuan untuk mengelola logistik korban bencana, perang dan konflik serta kesehatan berada di Negara itu.
Benang Merah Dari Suksesnya Saudara Muda
Kalau dirunut dari potensi alam dan budaya kerja Negara itu tentunya salah besar kita menilainya, apalagi kalau kita kaitkan dengan tingkat inteligensi warganya। Fakta mencatat bahwa melalaui TOFI-nya Johannes Surya anak-anak Indonesia bisa mengukir prestasi bergengsi di tingkat dunia. Penulis belum mendengar kalau wakil Negara itu pernah menorehkan prestasi yang sama dengan anak bangsa. Namun semua kesuksesan tersebut hanyalah kemampuan menguasai bahasa internasional, bahasa Inggris tersebut, yang memberikan akses yang sangat luas bagi mereka untuk studi dan bekerja di Negara maju.
Sekedar informasi bagi kita bahwa alumni universitas di Malaysia tidak susah-susah perbaiki TOEFL maupun IELTS untuk mendapatkan beasiswa Erasmus Mundus, Norway Scholarship dan tentunya beasiswa commonwealth lainnya। Pak Cik Najib, hanya perlu waktu satu jam wawancara untuk memasuki kuliahnya di Master Arsitektur di Oxford University UK demikian juga dengan abangnya yang kuliah di Universitas yang sama serta kedua adindanya yang kuliah dahulunya di Amerika dan di Australia.
Penulis mengintip kurikulum di sekolah dasar di Malaysia। Adalah Diana, teman skype penulis datu Batu Feringghi, Penang menjelaskan kalau sejak masuk sekolah mereka telah memiliki subject bahasa Inggris. Didukung dengan, academic environment-nya mereka sudah menguasai bahasa itu sebelum memasuki universitas. Akhirnya, penulis juga tidak heran jika Anwar Ibrahim--produk universitas lokal--bisa mengajar sebagai visiting lecturer di salah satu universitas papan atas di Amerika.
Selanjutnya, menjelang tidur di tempat penulis bekerja, ribuan mil laut dari kampung halaman penulis, penulis tanamkan niat untuk mengawali kursus bahasa Inggris sejak dini untuk para generasi junior penulis di kampung halaman. Penulis mengharapkan mereka-mereka nantinya akan bisa seperti teman Malaysia penulis yang bekerja untuk UNDP atau Pak Cik penulis yang melanglang buana studi di Eropa. Penulis hanya bisa berharap kalau nantinya mereka tetap memperhatikan kampung halaman di manapun mereka berada. Karena penulis juga sudah berumur, langkah juga mulai dibatasi, variabel-variabel pengganggu bermunculan, penulis hanya bisa menambah kapasitas penulis menguasai bahasa tersebut kalau ada biaya yang harus ditinggalkan buat keluarga. Namun, generasi junior penulis harus bermandi keringat untuk belajar bahasa itu sejak dini dan tidak ada kata untuk menunda atau lebih parah lagi mengabaikan. Akhirnya tulisan ini penulis tutup dengan doa dan harapan sederhana: berikan Tuhan rezeki untuk biaya kursus mereka di kampung halaman melalui tangan penulis atau tangan sahabat dan orang kami yang perduli dengan kemajuan anak bangsa.